KUASA "BALENGGANG"
Studi banding di era seperti tergambar di atas jelas memalukan dan malu-maluin atau "biking malu", kata orang Ambon. Sangat memprihatinkan dan pantas disesali. Betapa tidak, para wakil rakyat tersebut seolah sudah tidak punya rasa empati, simpati dan kepedulian yang sensitif dan reaponsif terhadap kondisi kesulitan dan penderitaan yang tengah dihadapi, dialami dan begitu mendalam dirasakan oleh warga Kota Ambon.
Memurut saya, gaya “tongka pinggang” dan “seng ambe pusing” terhadap dan bersiul di atas kesulitas dan penderitaan rakyat tersebut adalah potret jelas yang mengonfirmasi kadar kualitas mentalitas anggota DPRD Kota Ambon.Sejatinya, untuk kepentingan rakayat, agenda-agenda "baronda" pejabat publik, termasuk seperti studi banding, sebisanya ditekan seminim mungkin untuk dilakukan. Bahkan, bila perlu untuk nomenklatur semacam kegiatan studi banding ditiadakan (dihapus dari mata anggaran). Saya yakin, bahwa dalam kondisi covid-19 DPRD Kota Ambon dapat mengambil kebijakan (pro puklik) dengan dalih kebajikan. Dengan cara itu, tunjukan kepada warga Ambon bahwa mereka benar-benar benar berada bersesama warga Ambon, memberi jaminan dan perlindungan, di masa-masa penuh kesulitan dan penderitaan selama masa covid-19.
Jila DPRD Kota Ambon hendak memberikan kado terindah kepada warga Kota Ambon dalam rangka merayakan Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2020, sementara warga Ambon sedang berjuang mati-matian untuk "merdeka" dan lepas dari "jajahan" covid-19, maka kado studi banding alias "baronda" itu sungguh tak ubahnya dengan usaha sengaja para anggota DPRD Kota Ambon untuk menambahan dosis penguat (sebaran) wabah covid-19, yang disuntikan kedalam tubuh warga Kota Ambon.
Kita jelas mengapresiasi kehendak baik DPRD Kota Ambon dalam melakukan kerja-kerja yang ujungnya akan kembali kepada pemenuhan kepentingan dan kemudian dapat dinikmati oleh warga Kota Ambon. Kita juga mendukung penuh inisiatif cerdas dan terobosan-terobosan strategis yang dibuat dan diformulasi oleh DPRD Kota Ambon dalam rangka meningkatkan kualitas tata kelola (pelayanan publik) kelembagaan dan semesta pembangunan (multi sektor) di Kota Ambon. Tapi, pada saat yang bersamaan, kita juga sangat apresitif jika para anggota DPRD Kota Ambon mampu menahan diri untuk tidak memanfaatkan kendali kuasa di tangan mereka hanya sekadar untuk memenuhi kepentingan (selera) "baronda" mereka, sementara kesulita dan penderitaan sedang mendera warga Kota Ambon.
Sungguh tampak kotras dan ironis, di saat warga Kota Ambon diminta untuk “tado” di rumah dan bekerja dari rumah, para wakil mereka justru melakukan hal sebaliknya, studi banding. Padahal, apa yang mau diperoleh dari studi banding tersebut dapat saja dilakkan secara daring. Fasilitas aplikasi seperti Google Meet, Zoom dan Cisco Webex yang sudah sangat diakrabi publik akhir-kahir ini dan trendy, sudah sangat memadai digunakan sebagai penggati kunjungan fisik studi banding.
Tadinya, kita sungguh berharap bahwa dalam situasi covid-19, DPRD Kota Ambon dapat mengoptimasi modal sosial ke-Maluku-an kita, local wisdom atau nilai-nilai kearifan sosial lokal Maluku untuk mengembangkan dan memperkuat solidaritas dan soliditas sosial warga Kota Ambon. Maksudnya apa? Bahwa, dalam situasi covid-19, sejatinya pesan-pesan bertuah seperti "ale rasa beta rasa", "potong di kuku rasa di daging" dan "sagu salempeng pata dua" misalnya, dapat ditransformasi, dielaborasi dan kemudian "dibumuikan" dalam bentuk kerja-kerja atau usaha-usaha praksis yang memberi jaminan, perlindungan dan ketenangan kepada warga Kota Ambon dalam menghadapi covid-19.
Lewat momen perayaan Hari Kemerdekaan RI misalnya, DPRD Kota Ambon bisa saja mendorong Pemerintah Daerah Kota Ambon dan warganya untuk “baku kele” melakukan berbagai upaya dan kegiatan penguatan kesadaran untuk bangkit bersama, mempererat ikatan solidaritas dan soliditas "melawan" covid-19. Saya sangat yakin, banyak upaya dan kerja-kerja inisiatif, kreatif, produktif dan konatruktif lainnya yang bisa dibikin. Tentu, itu semua dilakukan dengan tetap berpedoman pada protokol kesehatan.
Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Dan yang tersisa hanyalah pertanyaan: apakah para anggota DRPD Kota Ambon yang melakukan aksi "baronda" di masa covid-19 itu bisa meminta maaf kepada dan dimaafkan oleh warga Kota Ambon? Dapat dikatakan bahwa para wakil rakyat itu akan sulit mendapatkan maaf atau dimaafkan oleh warga Kota Ambon. Dan, agaknya mereka, memang tidak butuh meminta maaf atau dimaafkan oleh warga Kota Ambon. Inikah fatsun politik? Entahlah!
Mungkin, sebab itu, Lord Acton kemudian merumuskan adagium: Power tends to corrupt, and absolute power currupts absolutely. Juga Hobbes, bahwa "keserakahan (kuasa) hanya bisa dihentikan oleh kematian". Tak terkecuali, Uncle Donald (si bebek) yang memberi warning kepeada 3 kemenakanya agar menyadari betapa dalam dunia politik segalanya serba mungkin. Termasuk, mungkin menyalahgunakan kekuasaan, mungkin meminta maaf atau juga mungkin dimaafkan.
Tanpa terlalu berharap akan ada permintaan maaf dari pada wakil rakyat kepada warga Kota Ambon pasca studi banding, kita berharap ada sesuatu yang berharga yang diberikan kepada Kota Ambon dari studi banding itu. Dan karenanya, dipandang penting untuk terus mengikuti dan memantau kerja-kerja produktif dan konstruktif DRPD Kota Ambon terkait obyek studi banding dilakukan. Jika tidak, kemudian terbukti bahwa atusi banding tak berbeda dari “pi baronda”, maka adalah pantas mereka, para wakil rakyat yang terhormat itu, diberikan "sanksi sosial". Apapun bentuknya, terserah kepada warga Kota Ambon.
Catatan:
1. Penulis adalah pendiri The Palaapa Ivitiative, Maluku.
2. Tulisan telah dipublikasi di SATUMALUKU.ID, tanggal 16 Agustus 2020
No comments:
Post a Comment