MAMA-MAMA “PAPALELE” ITU KARTINI MALUKU
Hari-hari belakangan beberapa ibu (mama-mama) degan "aneung" dan "porteng" di kepala kerap lewat di depan rumah kami sambil menawarkan buah durian. Mereka rata-rata masih terbilang muda. Di bawah 40 tahun, menurut amatan dan perkiraan saya.
Perbuah mereka tawarkan harga antara Rp. 5.000 - Rp.10.000. Tergantung sedang dan besarnya buah (bisa nego). Harga itu jelas tidaklah mahal tentunya. Sebab, jika dibandingkan, musim durian kali ini sangat berbeda dari dua tahun lalu (2018). Dimana sebuah durian dengan ukurang sedang ditawar dengan harga benar-benar miring, Rp. 1.000 perbuah. Bayangkan, hanya dengan punya Rp. 20.000, anda bisa meikmati seikat durian sejumlah 12 buah.
Kembali ke "laptop". Menyaksikan kenyataan itu, saya tidak saja bangga, tapi juga sangat terharu. Apatah lagi, hal itu dilakukan mama-mama tersebut dalam suasan 'teror' covid-19 yang menghangat, begitu menghantu dan mengancam siapa saja tanpa pandang bulu. Di saat kampanye stay at home, work from home dan social distancing lantang dikampanyekan, mereka malah memilih keluar rumah, bekerja di ruang terbuka dan berinteraksi dengan banyak pembeli jalanan (door to door). Mereka menibggalkan rumah berjuang mencari nafkah dan tidak terjebak dengan agenda bantuan sosial yang ramai diributkan orang, baik yang berkelas paling atas, hingga kelas paling bawah seturut ragam kepentingan masing-masing mereka.
Fenomea mama-mama ini jelas bukanlah sesuatu yang tawar dalam pengalaman saya. Sejak kecil, fenomena mama-mama berjalan keliling kampung dan menawarkan gula merah, sagu dan ikan misalnya, sudah tampak. Dalam khazanah budaya Maluku, fenomena ini disebut 'papalele' (teman saya punya penelitian dan sudah dibukukan soal ini). Dengan bahasa lain, fenomena ini sudah jadi bagian dari hidup dan kehidupan yang kemudian menjadi tradisi transaksi jual-beli di masyarakat Maluku sebelum saya akhirnya kemudian mengenal istilah "jemput bola" dalam khazanah teori magemen marketing moderen.
Terlepas dari itu, saya melihat, paling tidak, ada 2 alasan yang menyebabkan fenomena 'papalele' masih mampu bertahan sampai saat ini. Pertama, perempuan secara naluriah (keibuan) memiliki kesadaran untuk ikut ambil tanggung jawab dan terlibat aktif dalam proses peningkatan kesejahteraan keluarga. Kedua, respon atas dinamika persaingan pasar yang terbuka (nalar suply and demand), sehingga pro-actiave (mendatangi pembeli) menjadi pilihan yang tidak bisa tidak dipilih.
Memang, tampak ada paradox di sana.
Di satu sisi, secara konseptual, cara pandang "jemput bola" adalah
cara paling efektif dalam berusaha. Hanya saja, di sisi lain, cara ini kemudian
menjadi kurang efektif lantaran polanya yang tidak kontekstual dengan
perkembangan zaman yang terus berubah dan "memaksa" dilakukannya usaha-usaha inovatif yang kontekstual dengan perubahan yang terjadi (keniscayaan desruption).
Dalam realitas keseharian belakangan, tradisi 'papalele' terlah mengalami transformasi cukup signifikan sebagai akiban dari perkembangan, perubahan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Tak pelak, realitas ini kemudian memicu keterbukaan ruang persaingan yang lebih kompetitif. Tidak saja karena penggunaan sarana transportasi mobil dan motor yang menjamin efektifitas dan efesiensi dalam berusaha, tapi 'paplele' juga sudah menjadi arena garapan laki-laki. Mobil dan motor dipakai berkeling kampung/negeri (dengan jarak jelajah yang sangat jauh) untuk menjaja kebutuhan sehari-hari dan perabot rumah tangga. Artinya, fenomena 'papalele' sudah memasuki sebuah trend (selera) baru, yaitu gaya jalan kaki menjadi berkendaraan. Pada saat yang bersamaan juga, fenomena ini sekaligus juga seolah telah "memindahkan" fungsi pasar tradisional.
Apa yang bisa dilihat lebih jauh adalah, bahwa dalam batas-batas tertentu, di satu sisi telah terjedi semacam pola ketergantungan (baru) antara pembeli-penjual dan di sisi lain pasar akan akhirnya juga mengalami koreksi pada fungsi (mengalami disfungsi) sebagai ruang sosialisasi dan interaksi publik antarwarga kampung, negeri. Sebab para pembeli tinggal tunggu saja di depan rumah atau bahkan mungkin juga mereka telah memiliki kontak (Hp/WA) dengan penjaja ('papalele' berkendaraan) untuk bertransaksi guna kebutuhan sehari-hari dan keluarga. Apatah lagi, para 'papalele' berbedaraan dipastikan dapat beroperasi (pelayanan) secara reguler, saban hari. Sesatu hal yang tidak mungkin dijanjikan oleh para ibu 'papalele' yang berjualan keliling dengan hanya berjalan kaki.
Mama-mama "papalele" adalah perempuan tangguh. Mereka tidaklah sepandai kartini. Tapi, apa yang mereka buktikan dalam praksis hidup keseharian mereka, yaitu berjalan keliling kampung/negeri sebagai bukti cinta pada keluarga, perjuangan untuk peningkatan kesejahteraan dan komitmen pembebasan dari penderitaan.
Sungguh, apa yang mereka buktikan sama sekali tak berbeda dengan yang telah diperjuangkan oleh Kartini.
Salam hormat dan bangga selalu buat mama-mama 'papalele', para pejuang tangguh dan pemberani yang teruji. Karena, sekali lagi, mereka berjuang dalam suasan 'teror' covid-19 yang begitu menghantu dan mengancam jiwa (nyawa; modal hidup satu-satunya) mereka dan siapa saja tanpa pandang bulu.
Catatan:
1. Penulis: peneliti ARMC IAIN Ambon dan pendiri The Palaapa Initiative Maluku
2. Tulisan sudah dipublikasi di SATUMALUKU.ID, 23 April 2020.
No comments:
Post a Comment