Sunday, August 18, 2019

IDENTITAS TRANSFORMATIF


Identitas Transformatif
(wajah sejati Maluku mendepan)

“Nampaknya usaha untuk menemukan identitas menjadi keprihatinan terbesar dari zaman kita, dan tentu “kebingungan identitas”, baik yang individu maupun yang kolektif, menjadi bahaya terbesarnya”. (Erik Hamburger Erikson)

Adalah aksioma, bahwa pencarian, penemuan, pemeliharaan, kegamangan, ketercerabutan berikut pencarian kembali identitas oleh setiap komunitas sudah merupakan siklus “besi” atau hukum dialektik kehidupan yang menyejarah dan akan terus mementas di atas altar waktu kapan dan ruang dimanapun. Sebuah siklus yang tidak bisa dihentikan oleh siapa saja, atas nama dan kepentinngan apapun, terkecuali dengan hadirnya armageddon. Dengan kata lain bahwa, setiap komunitas yang sudah, masih dan akan ada tidak pernah bisa menegasi siklus ini sebagai bagian sinergis dari kenyataan kehidupan mereka yang dinamis, kompleks dan selalu berubah dari waktu ke waktu.
Tesis di atas memberi spektrum betapa identitas merupakan kebutuhan dasar (basic need, fundamental need) dengan tingkat determinansi paling tinggi bagi penguatan insistensi (in-sis, segala dunia kehidupan yang sudah diterima begitu saja sebagai bagian yang utuh dalam dunia kehidupan yang menopang) dan eksistensi (ek-sis, usaha menyikapi totalitas dunia kehidupan manusia sebagai cara berada yang khas) bagi setiap komunitas. Tesis ini juga sekaligus mengindikasikan bahwa hanya dengan identitas sebuah komunitas mampu bertumbuh dan berkembang normal berikut memberikan respon proaktif, partisipatif dan konstruktif demi sustanability-nya dalam frame gesekkan dan tarik-tarikan globalisasi vis a vis identitas. Itulah sebabnya kenapa sehingga persoalan identitas selalu aktual dan menantang untuk dibincangkan oleh setiap komunitas di seantero dunia.
Dalam konteks interelasi sosial Indonesia pascamodernisme yang kian menggeliat belakangan ini, identitas menjadi barang “seksi” sekaligus “bico”. Dikatakan demikian karena pertama, identitas dalam potret kekinian tidak saja merupakan community treasure (modal sosial) yang langkah, tapi juga keberadaanya sangat kronis sebagai akibat dari modernisme dan globalisme. Kedua, identitas tengah dihadapkan pada dialektika dengan tensi dan akselerasi tinggi yang membingungkan, ambigu atau ada semacam antagonisme yang subornatif dalam istilah Mudji Sutrisno. Di satu sisi, identitas kerap diperjuangkan sebagai kompetensi dan kapsitas komunitas lokal untuk memperoleh garansi atas hak-haknya sebagai kompartemen warga bangsa bernegara. Tapi, pada sisi sebelahnya muncul pula “proyek-proyek” politik identitas yang menyeruak ke permukaan dengan “paras” oposisi biner, yaitu antara daerah dan pusat dalam urusan interst; kewenangan dan kekuasaan. Dan, antara putra daerah dan pendatang dalam urusan memperoleh perlakuan khusus (prevelage) atau prioritas dalam berbagai hal.
Walhasil, sebagai konsekuensinya, pencarian dan perumusan identitas komunitas cenderung dijadikan komuditas politik, vasted interest atau lips services (NATO: no action talk only). Bahkan, dalam batas-batas tertentu identitas kemudian menjadi kabur, nyaris tercerabut akar orisinilitasnya dan muncul kemudian sosok “wajah” identitas baru yang berseberangan atau kontra produktif dengan elan vital komunitasnya. Dan, ironinya lagi, identitas akhirnya kerap dijadikan “kuda lumping” penciptaan chaos dalam masyarakat.
Dalam setting Maluku, persolan pencarian dan perumusan identitas komunitas hari ini menjadi persoalan paling aktual, fundamental, urgen dan strategis dalam visi kebutuhan rekonstruksi tata relasi sosial Maluku mendepan. Kenapa? karena Maluku memiliki iklim sosial dengan background komunitas sangat varian, baik etnik maupun suku dalam pelno fakultas budaya dan agama. Terdapat banyak sekali identitas yang jumlahnya berbanding lurus dengan banyaknya etnik, suku, budaya dan agama di Maluku.
Pertanyaannya sekarang adalah, adakah identitas-identitas itu bisa dikalim sebagai sebuah blessing in disguised, community treasure yang given untuk keberlainan komunitas di Maluku atau malah sebaliknya? Jawaban atas pertanyaan ini, jelas sangat ditentukan oleh bagaimana dan seberapa jauh identitas-identitas itu dioptimasi pengelolaannya. Betapa tidak, identitas-identitas itu secara fungsional potensial melahirkan dwi dampak, yaitu konstruktif dan destruktif. Jika pengeolaannya benar dan baik, maka identitas-identitas itu bisa berfungsi konstruktif bagi keberlainan komunitas di Maluku. Sebaliknya, Jika pengelolaannya salah dan buruk maka identitas-identitas itu akan berfungsi destruktif bagi keberlainan komunitas di Maluku.
Terlepas dari apapun bentuk dampak yang sudah dan akan ditimbulkan, secara jujur dan terbuka harus diakui bahwa kehadiran keberlainan identitas di Maluku praksis -- dan pasti selalu -- memberikan kontribusi signifikan bagi terciptanya kondisi tata relasi, interaksi berikut seabrek kompleksitasnya dalam kehidupan keseharian sosial Maluku. Kondisi ini, dengan demikian, memberi “lampu kuning” betapa pencarian dan perumusan identitas komunitas Maluku seyogianya dilakukan dengan men-“cupa” keberlainan identitas yang ada di Maluku.
Sungguh, dalam konteks seperti itulah, proses pencarian dan perumusan identitas Maluku tidak bisa dibilang enteng, bak membalik tapak tangan. Pencarian dan perumusan ini membutuhkan pikiran-pikiran parexcelent dan kerja cerdas dalam proses rekonstruksinya. Hal ini tak lain, disebabkan adanya kenyataan bahwa pencarian dan perumusan itu dilakukan dalam “temperatur” dimana konstruk relasi sosial Maluku sudah melewati proses inkulturasi, akulturasi dan asimilasi budaya atau persisnya proses trans primordialisme.
Proses relasi sosial dalam figura trans primordialisme ini sudah berlangsung lama. Kebersentuhan nilai-nilai dan budaya kepercayaan asli komunitas Maluku, yaitu animisme, bukan dinamisme dengan nilai-nilai dan kebudayaan Hindu, Budha, Islam, Kristen, Arab, Cina, Jawa, Sumatera, Bugis-Makassar, Buton, Kalimanta dan lain sebagainya adalah fakta historis yang menjadi alasan pembenar atas telah terjadinya proses relasi sosial di Maluku sejauh ini.  
Lebih dari pada itu, bahwa proses relasi sosial itu dalam perkembangannya kemudian telah mangalami proses institusionalisasi atau melembaga kedalam ikatan-ikatan geneologis dan emosional kekeluargaan; kawin mawin dan regenarasi lintas suku, etnik, budaya dan agama. Dalam bahasa lain, adalah mungkin ditemukan sebuah keluarga di Maluku yang memiliki multi identitas atau telah mengalami proses trans primordialisme di atas.
Tidak bisa tidak, kita akhirnya dihadapkan pada kebutuhan untuk menerjemahkan dan mengelaborasi keniscayaan relasi sosial berikut dampaknya itu kedalam sebuah paradigma baru guna merumus kembali identitas Maluku yang transformatif, sejati dan visioner.  Relasi mana, yang dimaksud adalah -- meminjam istilah Emile Durkheim -- relasi sosial organik, dan bukan relasi sosial mekanik. Sebuah relasi yang bertumbuh dan berkembang secara kultural, bukan atas dasar rekayasa atau kepentingan struktural. Cukuplah kegagalan merumuskan identitas nasional Indonesia dijadikan sebagai pelajaran paling bermakna bagi perumusan identitas Maluku.
Untuk itulah dibutuhkan ketajaman analisis dan pendekatan komprehensip sebagai kerangka konstruk identitas komunitas Maluku sejati dan visioner, dan bukan identitas Maluku “reka-bayang”, atau imagined communities dalam kamus Benedict Anderson. Analisis dan pendekatan dimaksud harus apresiatif terhadap keberadaan otoritas identitas primordialisme yang varian itu. Akan tetapi pada saat yang bersamaan, apresiasi itu harus juga bisa dirumuskan sebagai sebuah identitas bersama lintas atau trans primordialisme.
Identitas lintas atau trans primordialisme adalah identitas baru Maluku, identitas Maluku trasnformatif, identitas Maluku sejati dan visioner. Identitas ini meniscayakan nilai-nilai persaudaraan antrumat manusia lintas agama dan budaya, lintas etnik dan kultur sebagai community treasure bersama, keadilan sosio-ekonomi dan sosio-politik serta penegakkan supremasi hukum sebagai pilar kosntruksinya.

 Catatan: penulis adalah peneliti ARMC IAIN Ambon dan pendiri The Palaapa Initiative, Maluku

No comments:

Post a Comment