Identitas Transformatif
(wajah sejati Maluku mendepan)
“Nampaknya usaha untuk menemukan
identitas menjadi keprihatinan terbesar dari zaman kita, dan tentu “kebingungan
identitas”, baik yang individu maupun yang kolektif, menjadi bahaya terbesarnya”. (Erik Hamburger Erikson)
Tesis
di atas memberi spektrum betapa identitas merupakan kebutuhan dasar (basic need, fundamental need) dengan
tingkat determinansi paling tinggi bagi penguatan insistensi (in-sis, segala dunia kehidupan yang
sudah diterima begitu saja sebagai bagian yang utuh dalam dunia kehidupan yang
menopang) dan eksistensi (ek-sis, usaha
menyikapi totalitas dunia kehidupan manusia sebagai cara berada yang khas) bagi
setiap komunitas. Tesis ini juga sekaligus mengindikasikan bahwa hanya dengan
identitas sebuah komunitas mampu bertumbuh dan berkembang normal berikut
memberikan respon proaktif, partisipatif dan konstruktif demi sustanability-nya dalam frame gesekkan
dan tarik-tarikan globalisasi vis a vis
identitas. Itulah sebabnya kenapa sehingga persoalan identitas selalu aktual
dan menantang untuk dibincangkan oleh setiap komunitas di seantero dunia.
Dalam konteks
interelasi sosial Indonesia
pascamodernisme yang kian menggeliat
belakangan ini, identitas menjadi barang “seksi” sekaligus “bico”. Dikatakan demikian
karena pertama, identitas dalam
potret kekinian tidak saja merupakan community
treasure (modal sosial) yang langkah, tapi juga keberadaanya sangat kronis
sebagai akibat dari modernisme dan globalisme. Kedua, identitas tengah dihadapkan pada dialektika dengan tensi dan
akselerasi tinggi yang membingungkan, ambigu atau ada semacam antagonisme yang
subornatif dalam istilah Mudji Sutrisno. Di satu sisi, identitas kerap diperjuangkan
sebagai kompetensi dan kapsitas komunitas lokal untuk memperoleh garansi atas hak-haknya
sebagai kompartemen warga bangsa bernegara. Tapi, pada sisi sebelahnya muncul
pula “proyek-proyek” politik identitas yang menyeruak ke permukaan dengan “paras”
oposisi biner, yaitu antara daerah dan pusat dalam urusan interst; kewenangan dan kekuasaan. Dan, antara putra daerah dan
pendatang dalam urusan memperoleh perlakuan khusus (prevelage) atau prioritas dalam berbagai hal.
Walhasil, sebagai konsekuensinya,
pencarian dan perumusan identitas komunitas cenderung dijadikan komuditas
politik, vasted interest atau lips services (NATO: no action talk only).
Bahkan, dalam batas-batas tertentu identitas kemudian menjadi kabur, nyaris
tercerabut akar orisinilitasnya dan muncul kemudian sosok “wajah” identitas
baru yang berseberangan atau kontra produktif dengan elan vital komunitasnya. Dan,
ironinya lagi, identitas akhirnya kerap dijadikan “kuda lumping” penciptaan chaos dalam masyarakat.
Dalam setting Maluku, persolan pencarian dan
perumusan identitas komunitas hari ini menjadi persoalan paling aktual,
fundamental, urgen dan strategis dalam visi kebutuhan rekonstruksi tata relasi
sosial Maluku mendepan. Kenapa? karena Maluku memiliki iklim sosial dengan background komunitas sangat varian, baik
etnik maupun suku dalam pelno fakultas budaya dan agama. Terdapat banyak sekali
identitas yang jumlahnya berbanding lurus dengan banyaknya etnik, suku, budaya
dan agama di Maluku.
Pertanyaannya
sekarang adalah, adakah identitas-identitas itu bisa dikalim sebagai sebuah blessing in disguised, community treasure yang given untuk keberlainan komunitas di Maluku
atau malah sebaliknya? Jawaban atas pertanyaan ini, jelas sangat ditentukan
oleh bagaimana dan seberapa jauh identitas-identitas itu dioptimasi pengelolaannya.
Betapa tidak, identitas-identitas itu secara fungsional potensial melahirkan dwi
dampak, yaitu konstruktif dan destruktif. Jika pengeolaannya benar dan baik,
maka identitas-identitas itu bisa berfungsi konstruktif bagi keberlainan komunitas
di Maluku. Sebaliknya, Jika pengelolaannya salah dan buruk maka
identitas-identitas itu akan berfungsi destruktif bagi keberlainan komunitas di
Maluku.
Terlepas
dari apapun bentuk dampak yang sudah dan akan ditimbulkan, secara jujur dan
terbuka harus diakui bahwa kehadiran keberlainan identitas di Maluku praksis --
dan pasti selalu -- memberikan kontribusi signifikan bagi terciptanya kondisi tata
relasi, interaksi berikut seabrek kompleksitasnya dalam kehidupan keseharian
sosial Maluku. Kondisi ini, dengan demikian, memberi “lampu kuning” betapa
pencarian dan perumusan identitas komunitas Maluku seyogianya dilakukan dengan men-“cupa” keberlainan identitas yang ada di
Maluku.
Sungguh,
dalam konteks seperti itulah, proses pencarian dan perumusan identitas Maluku tidak
bisa dibilang enteng, bak membalik tapak tangan. Pencarian dan perumusan ini
membutuhkan pikiran-pikiran parexcelent
dan kerja cerdas dalam proses rekonstruksinya. Hal ini tak lain, disebabkan adanya
kenyataan bahwa pencarian dan perumusan itu dilakukan dalam “temperatur” dimana
konstruk relasi sosial Maluku sudah melewati proses inkulturasi, akulturasi dan
asimilasi budaya atau persisnya proses trans primordialisme.
Proses
relasi sosial dalam figura trans primordialisme ini sudah berlangsung lama.
Kebersentuhan nilai-nilai dan budaya kepercayaan asli komunitas Maluku, yaitu animisme,
bukan dinamisme dengan nilai-nilai dan kebudayaan Hindu, Budha, Islam, Kristen,
Arab, Cina, Jawa, Sumatera, Bugis-Makassar, Buton, Kalimanta dan lain
sebagainya adalah fakta historis yang menjadi alasan pembenar atas telah
terjadinya proses relasi sosial di Maluku sejauh ini.
Lebih dari
pada itu, bahwa proses relasi sosial itu dalam perkembangannya kemudian telah
mangalami proses institusionalisasi atau melembaga kedalam ikatan-ikatan
geneologis dan emosional kekeluargaan; kawin mawin dan regenarasi lintas suku,
etnik, budaya dan agama. Dalam bahasa lain, adalah mungkin ditemukan sebuah
keluarga di Maluku yang memiliki multi identitas atau telah mengalami proses
trans primordialisme di atas.
Tidak
bisa tidak, kita akhirnya dihadapkan pada kebutuhan untuk menerjemahkan dan mengelaborasi
keniscayaan relasi sosial berikut dampaknya itu kedalam sebuah paradigma baru guna
merumus kembali identitas Maluku yang transformatif, sejati dan visioner. Relasi mana, yang dimaksud adalah -- meminjam
istilah Emile Durkheim -- relasi sosial organik, dan bukan relasi sosial
mekanik. Sebuah relasi yang bertumbuh dan berkembang secara kultural, bukan
atas dasar rekayasa atau kepentingan struktural. Cukuplah kegagalan merumuskan
identitas nasional Indonesia
dijadikan sebagai pelajaran paling bermakna bagi perumusan identitas Maluku.
Untuk
itulah dibutuhkan ketajaman analisis dan pendekatan komprehensip sebagai
kerangka konstruk identitas komunitas Maluku sejati dan visioner, dan bukan
identitas Maluku “reka-bayang”, atau imagined
communities dalam kamus Benedict Anderson. Analisis dan pendekatan dimaksud
harus apresiatif terhadap keberadaan otoritas identitas primordialisme yang
varian itu. Akan tetapi pada saat yang bersamaan, apresiasi itu harus juga bisa
dirumuskan sebagai sebuah identitas bersama lintas atau trans primordialisme.
Identitas
lintas atau trans primordialisme adalah identitas baru Maluku, identitas Maluku
trasnformatif, identitas Maluku sejati dan visioner. Identitas ini meniscayakan
nilai-nilai persaudaraan antrumat manusia lintas agama dan budaya, lintas etnik
dan kultur sebagai community treasure
bersama, keadilan sosio-ekonomi dan sosio-politik serta penegakkan supremasi hukum
sebagai pilar kosntruksinya.
Catatan: penulis adalah peneliti ARMC IAIN Ambon dan pendiri The Palaapa Initiative, Maluku
No comments:
Post a Comment