Masyarakat Advokatif
“Menjadi atau merasa berwenag untuk berbicara
tentang “rakyat” atau berbicara untuk “rakyat” (dalam pengertian kepada atau
demi dari kata “untuk” ini) bisa menjadi sebuah kekuatan dalam pergulatan internal
di arena-arena yang berbeda-beda seperti politik, agama, seni dan sebagainya –
dan kekuatan ini makin besar jika arena terkait memiliki otonomi yang makin
sedikit. Kekuatan ini mencapai tingkatnya yang makin maksimal di arena politik
di mana orang bisa memainkan istilah “rakyat” dengan segenap kekaburannya
(“rakyat jelata”, “kelas pekerja” atau bangsa, volk)….”
-- Pierre
Bourdieu --
Tema
besar partisipasi masyarakat, terutama di “arus” grass root, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara menemukan
momentumnya tatkala kesadaran kebutuhan akan organized civil societies (OCS) bertransformasi dari sekedar sebuah
movement (gerakan; tradisional,
eksklusif, patron-klien, protektif dan reaktif) menjadi monument (terlembaga; moderen, inklusif, sistemik, independen dan
responsif). Kesadaran ini, belakangan, secara bertahap terus mengalami penguatan
dan menjadi fenomena yang menjelaskan dengan terang benderang sekaligus kian meneguhkan
betapa proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sedang berjalan on track searah mandat konstitusi. Bahwa,
kedaulatan ada di tangan rakyat, pemilik otoritas dalam (kuasa) pengelolaan
negara.
Mungkin
bagi sebagian atau bahkan kebanyakan kalangan adalah terlalu dini untuk
membenarkan -- tesis -- proses transformasi yang sedang terjadi, sebagaimana
terpapar di atas. Namun, menutup mata dari kenyataan yang sedang terjadi adalah
juga sesuatu yang patut dipertimbangkan dengan sangat. Ini wajar adanya. Bahwa
sebuah proses selalu dipersepsi, paling tidak, dalam tiga mainstreams; optimisme (yakin), pesimisme (tidak yakin) dan
skeptisisme (ragu-ragu).
Beberapa
fakta berikut ini, kiranya cukup menjadi penentu seberapa yakin, tidak yakin
dan ragu-ragu seseorang atau kalangan tertentu terhadap proses transformasi
dimaksud. Pertama, menjelang
kejatuhan orde baru sangat sedikit OCS yang mengambil posisi tegas berseberangan
dengan pemerintah, pengelola (kuasa) negara. Meski demikian, secara kualitatif
OCS memiliki posisi tawar sangat kuat yang kemudian menjadi salah satu faktor
penting dalam proses penggulingan orde baru. Kedua, fase awal reformasi atau fase recovery -- kurang lebih 7 tahun -- pasca keruntuhan orde baru. Pada
rentang waktu ini, OCS bermunculan dalam jumlah yang gila-gilaan. Terjadi
semacam euphoria OSC. Secara
kuantitatif ribuan OCS bertumbuh dan beraktifitas. Akan tetapi, secara
kualitatif posisi tawar mereka memprihatinkan. OCS tidak saja salaing
berhadapan, tapi juga saling menjatuhkan. Itu sebab, OCS kemudian mengalami
kategorisasi sebagi OCS plat merah, hitam
dan kuning. OCS plat merah adalah OCS yang dibentuk dan dimanfaatkan
oleh aparat pemerintah untuk mengakses dan mengambil untung dari
program-program social safety and social recovery.
Sementara OCS plat hitam adalah OCS yang dibentuk oleh pribadi-pribadi demi
kepentingan pribadi semata. Adapaun OCS plat kuning adalah OCS yang
pembentukannya untuk pemberdayaan dan penguatan kesadaran masyarakat. Patut dan
penting dicatatat bahwa OCS plat merah dan plat hitam secara keseluruhan
bekerja selalu dengan mengatasnamakan masyarakat. Masyarakat oleh kedua OCS ini
benar-benar menjadi obyek dan komuditas laris yang selalu dimanfaatkan untuk
mengakses proyek atau program pemerintah.
Ketiga,
institusionalisasi kedaulatan rakyat. Proses empat kali amandemen UUD 1945
diikuti kemudian dengan sederet UU yang plus-minus mereposisi rakyat dari
sekedar obyek menjadi subyek dalam tata kelola pembangunan. Dalam batas-batas
tertentu, lembaga-lembaga negara seperti MK, KPK, Kepolisian, Kejaksaan, KY, MA
dan lain sebagainya dari waktu ke waktu menunjukkan trend kualitas kinerja menjanjikan dan berpengharapan. Di
kampus-kampus, bermunculan pusat-pusat studi yang kritis dan independen dengan konsentrasi
beragam isu; konflik, perdamaian, HAM, gender, demokrasi dan sebagainya. Pada
saat yang bersamaan, OCS dengan varian isu secara kuantitatif mengalami
selektifikasi dan secara kualitatif kian memiliki posisi tawar yang kuat terhadap
ke(kuasa)an; eksekutif plus legislatif. Sebut saja ICW, FORMAPPI, LSI, Migrant
Institute, SETARA Institute, KPA sebagai contoh misalnya, dan masih banyak lagi
yang tersebar di daerah-daerah di Indonesia. Media juga secara kreatif,
progrsif dan transparan menyajikan informasi yang begitu memberi pengaruh
signifikan terhadap pembentukan opini, persepsi dan cara pandang masyarakat
dalam merespon problematika kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan. Pendek
kata, fenomena institusionalisasi kedaulatan rakyat hari ini bergerak tidak
saja massif, tapi juga visioner.
Memang,
tidak bisa dihindari bahwa proses transformasi kesadaran yang sedang terjadi berjalan
tak semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan kerja lebih keras lagi guna
mengawal dan menjaga kualitas proses transformasi tersebut agar tetap on track. Kita mencatat dengan kritis
bahwa sistem ketatanenegaraan Indonesia belum cukup mampu merespon kebutuhan
dinamis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara hari ini. Beriringan dengan
itu, kemunculan berbagai bersoalaan ketatanegaraan, solusi penyelesaian berikut
perbaikan sistem keketatanagenaraan Indonesia cenderung kian membaik. Demikian
pula halnya supremasi hukum, pejabat publik tidak lagi kebal hukum. Banyak anggota
DPR, pejabat di tingkat kementrian, perwira kepolisian, kepala daerah dan abdi
negara dipenjara akibat penyalagunaan kewenangan dan atau melanggar hukum. Ironisnya,
kasus serupa masih saja terjadi sekarang. Selain itu, keputusan dan kebijakan
publik juga hari ini telah menjadi perhatian serius dan pengawalan relatif ketat
dari publik. Tidak sedikit UU yang kontra produktif dengan kehendak kedaulatan
rakyat di-judicial review di tengah
“kemandulan” produktifitas DPR dalam mengemban mandat legislasi sebagai akibat
tarik ulur kuasa politik atas hukum, ekonomi (moneter, koperasi dan sumber daya
alam), sosial, budaya, agama, pendidikan dan seterusnya.
Dalam
potret fakta-fakta demikian, posisi masyarakat menjadi sangat determinan.
Sebab, masyarakat dalam semesta kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara menempati posisi stratifikasi sosial terbesar sebagai sasaran
pembangunan. Artinya, jika analog piramida digunakan untuk menjelaskan
stratifikasi sosial (rakyat), maka pada bagian puncaknya ditempati oleh segmen sosial
elite, pemegang kendali kuasa. Pada bagian tengahnya diduduki oleh segmen sosial
kelas menengah menengah, kritikus independen. Dan, pada bagian bawah adalah
segmen sosial masyarakat jelata. Problemnya kemudian adalah bagaimana mengoptimasi
sumber daya sosial masyarakat jelata yang besar secara kuantitatif itu sehingga
juga diperhitungkan secara kualitatif? Jika jawaban atas pertanyaan ini benar,
maka dapat dipastikan bahwa proses transformasi kedasaran tidak saja dapat
dikawal agar tetap on track, tapi
juga dapat diakselerasi perwujudannya. Sebaliknya, jika jawabannya salah maka
proses transformasi kesadaran akan berjalan sangat lambat.
Sejarah
bangsa ini merekam dengan sangat baik betapa dominasi segmen sosial elite tidak
saja melahirkan sentralisme kekuasaan, tapi juga otoritarianisme dan oligarki. Efek
yang ditimbulkan dominasi ini adalah
ongkos sosial (social cost) yang
teramat sangat mahal dan dampaknya masih sangat terasa hingga saat ini. Bangsa ini belum memiliki segmen sosial
kelas menengah yang mampu memberi jawaban yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Kelas menengah Indonesia masih sedikit dan dominan cenderung terjebak dalam gray belt zone pragmatisme dan
opurtunisme politik praktis. Keterjebakan ini adalah dampak ikutan logis pasca
kejatuhan dominasi (kuasa politik) sosial elite orde baru. Kuatnya fatsun politik bergaya parton-klien dan tradisi politic of money pasca orde baru semakin
memperparah kecenderungan pragmatisme dan opurtunisme kelas menengah. Pemenjaraan
beberapa figur pemuda yang pernah ditokohkan di negeri akibat kasus korupsi
adalah potert miris keterjebakan ini. Tidak menutup kemungkinan bahwa potert
miris ini menjustifikasi kenyataan fenomena gunung es.
Itu
sebab, proses transformasi kesadaran, tidak bisa tidak, harus digerakkan oleh
masyarakat. Masyarakat dalam konteks perspektif ini dipanstaskan sebagai sebuah
kekuatan yang memiliki posisi tawar sejajar dan kuat secara vis a vis terhadap sosial elite dan
sosial kelas menengah dalam penegakkan dan merawat kualitas kedaulatan rakyat.
Masyarakat dipantaskan untuk melawan, berkata tidak dan menolak secara tegas segala
bentuk realitas yang mereduksi atau mendistorsi makna dan hakikat kedaulatan
rakyat.
Untuk
mewujudkan misi itu pilihannya hanya pada bagaimana masyarakat bisa didorong,
diberdayakan dan diperkuat agar memiliki mentalitas, kapasitas dan kompetensi
yang memadai untuk mengambil tanggungjawab secara responsif, memainkan peran proporsional
dan melakukan kerja-kerja strategis pengejawantahan kedaulatan rakyat dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat dalam perseperktif
ini adalah masyarakat dengan kerakteristik utama, yaitu memiliki kesadaran kuat
akan hak-hak kewarganegaraan secara baik dan benar, memiliki sensifitas penegakkan
keadilan sosial dan memiliki visi mewujudkan Indonesia maju dan mandiri. Inilah
kerakteristik masyarakat advokatif.
Masyarakat
advokatif adalah kumpulan pribadi-pribadi atau individu-individu yang mampu
menerjemahkan profesinya secara kontekstual untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.
Bahwa apa saja pekerjaan yang digumuli; buruh, petani, nelayan, pedagang kaki
lima, pembantu rumah tangga, petugas kebersihan, guru dan lain sebagainya, selalu
berbasis pada kesadaran memenuhi kebutuhan penegakkan kedaulatan rakyat. Masyarakat
advokatif berkeyakinan bahwa kedaulatan rakyat adalah kebutuhan. Kedaulatan
rakyat tidak cukup dipamahi sekedar sebagai sebuah ideology atau mitos tertentu
di arena politik. Kebutuhan kedaulatan rakyat adalah syarat mutlak bagi
terciptanya kebebasan, kemerdekaan, keadilan sosial, kemakmuran dan
kesejahteraan sejati bagi segenap seluruh bangsa Indonesia.
Untuk
membangun dan membentuk masyarakat advokatif dibutuhkan sebuah rekayasa arena
yang memungkinkan kualitas proses dan hasilnya memenuhi kriteria yang menjadi
standarnya. Rekayasa arena dilakukan mulai dari arena keluarga, pendidikan,
masyarakat dan lingkungan kerja. Rekayasa arena dirumuskan sebagai sebuah
sistem sosial yang bekerja secara berorientasi, bertarget dan berkelanjutan. Artinya,
arena keluarga dipastikan memiliki konektifitas secara konsisten dengan arena-arena
yang lain. Tiap arena didesain memiliki orientasi dan target tersendiri, namun
berada dalam sebuah rekayasa arena yang bekerja secara sistemik, bersinergi dan
berkelanjutan. Sederhananya, rekayasa pada tiap arena secara kontekstual harus
mampu menjawab pertanyaan bagaimana pribadi-pribadi atau individu-individu
sebagai anggota masyarakat memiliki kesadaran akan hak-hak kewarganegaraan yang
baik dan benar, memiliki sensifitas keadilan sosial dan memiliki visi
mewujudkan Indonesia maju dan mandiri.
Pada
titik idealnya rekayasa arena akan memproduksi apa yang Bourdieu sebagai agen.
Yaitu agen-agen yang memiliki karakter masyarakat advokatif dalam semesta
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; politik, hukum, ekonomi, sosial,
budaya, agama, pendidikan dan lain sebagainya. Dengan kata lain, aktifitas
politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, pendidikan dan lain sebagainya
benar-benar benar hanya dipersembahkan untuk penegakkan kedaulatan rakyat.
Akhirnya,
mengunci tulisan ini saya mengutip pesan hebat seorang sosiolog paling
terkemuka di dunia, Petter L. Berger dalam Pyramids
of Sacrifice Political Ethics and Sosial Change. “… semua elite, baik yang
sekarang berkuasa maupun yang baru mendambakan kekuasaan, mempunyai
kecenderungan yang sama kuatnya untuk menganggap diri unggul dalam mengerti
masalah-masalah orang lain”.
Kapala The Palaapa Center Tulehu
The PCT (Depisit)
No comments:
Post a Comment