Sunday, August 18, 2019

MASYARAKAT ADVOKATIF


Masyarakat Advokatif

“Menjadi atau merasa berwenag untuk berbicara tentang “rakyat” atau berbicara untuk “rakyat” (dalam pengertian kepada atau demi dari kata “untuk” ini) bisa menjadi sebuah kekuatan dalam pergulatan internal di arena-arena yang berbeda-beda seperti politik, agama, seni dan sebagainya – dan kekuatan ini makin besar jika arena terkait memiliki otonomi yang makin sedikit. Kekuatan ini mencapai tingkatnya yang makin maksimal di arena politik di mana orang bisa memainkan istilah “rakyat” dengan segenap kekaburannya (“rakyat jelata”, “kelas pekerja” atau bangsa, volk)….”
-- Pierre Bourdieu --


Tema besar partisipasi masyarakat, terutama di “arus” grass root, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara menemukan momentumnya tatkala kesadaran kebutuhan akan organized civil societies (OCS) bertransformasi dari sekedar sebuah movement (gerakan; tradisional, eksklusif, patron-klien, protektif dan reaktif) menjadi monument (terlembaga; moderen, inklusif, sistemik, independen dan responsif). Kesadaran ini, belakangan, secara bertahap terus mengalami penguatan dan menjadi fenomena yang menjelaskan dengan terang benderang sekaligus kian meneguhkan betapa proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sedang berjalan on track searah mandat konstitusi. Bahwa, kedaulatan ada di tangan rakyat, pemilik otoritas dalam (kuasa) pengelolaan negara.
Mungkin bagi sebagian atau bahkan kebanyakan kalangan adalah terlalu dini untuk membenarkan -- tesis -- proses transformasi yang sedang terjadi, sebagaimana terpapar di atas. Namun, menutup mata dari kenyataan yang sedang terjadi adalah juga sesuatu yang patut dipertimbangkan dengan sangat. Ini wajar adanya. Bahwa sebuah proses selalu dipersepsi, paling tidak, dalam tiga mainstreams; optimisme (yakin), pesimisme (tidak yakin) dan skeptisisme (ragu-ragu).
Beberapa fakta berikut ini, kiranya cukup menjadi penentu seberapa yakin, tidak yakin dan ragu-ragu seseorang atau kalangan tertentu terhadap proses transformasi dimaksud. Pertama, menjelang kejatuhan orde baru sangat sedikit OCS yang mengambil posisi tegas berseberangan dengan pemerintah, pengelola (kuasa) negara. Meski demikian, secara kualitatif OCS memiliki posisi tawar sangat kuat yang kemudian menjadi salah satu faktor penting dalam proses penggulingan orde baru. Kedua, fase awal reformasi atau fase recovery -- kurang lebih 7 tahun -- pasca keruntuhan orde baru. Pada rentang waktu ini, OCS bermunculan dalam jumlah yang gila-gilaan. Terjadi semacam euphoria OSC. Secara kuantitatif ribuan OCS bertumbuh dan beraktifitas. Akan tetapi, secara kualitatif posisi tawar mereka memprihatinkan. OCS tidak saja salaing berhadapan, tapi juga saling menjatuhkan. Itu sebab, OCS kemudian mengalami kategorisasi sebagi OCS plat merah, hitam  dan kuning. OCS plat merah adalah OCS yang dibentuk dan dimanfaatkan oleh aparat pemerintah untuk mengakses dan mengambil untung dari program-program social safety and social recovery. Sementara OCS plat hitam adalah OCS yang dibentuk oleh pribadi-pribadi demi kepentingan pribadi semata. Adapaun OCS plat kuning adalah OCS yang pembentukannya untuk pemberdayaan dan penguatan kesadaran masyarakat. Patut dan penting dicatatat bahwa OCS plat merah dan plat hitam secara keseluruhan bekerja selalu dengan mengatasnamakan masyarakat. Masyarakat oleh kedua OCS ini benar-benar menjadi obyek dan komuditas laris yang selalu dimanfaatkan untuk mengakses proyek atau program pemerintah.
Ketiga, institusionalisasi kedaulatan rakyat. Proses empat kali amandemen UUD 1945 diikuti kemudian dengan sederet UU yang plus-minus mereposisi rakyat dari sekedar obyek menjadi subyek dalam tata kelola pembangunan. Dalam batas-batas tertentu, lembaga-lembaga negara seperti MK, KPK, Kepolisian, Kejaksaan, KY, MA dan lain sebagainya dari waktu ke waktu menunjukkan trend kualitas kinerja menjanjikan dan berpengharapan. Di kampus-kampus, bermunculan pusat-pusat studi yang kritis dan independen dengan konsentrasi beragam isu; konflik, perdamaian, HAM, gender, demokrasi dan sebagainya. Pada saat yang bersamaan, OCS dengan varian isu secara kuantitatif mengalami selektifikasi dan secara kualitatif kian memiliki posisi tawar yang kuat terhadap ke(kuasa)an; eksekutif plus legislatif. Sebut saja ICW, FORMAPPI, LSI, Migrant Institute, SETARA Institute, KPA sebagai contoh misalnya, dan masih banyak lagi yang tersebar di daerah-daerah di Indonesia. Media juga secara kreatif, progrsif dan transparan menyajikan informasi yang begitu memberi pengaruh signifikan terhadap pembentukan opini, persepsi dan cara pandang masyarakat dalam merespon problematika kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan. Pendek kata, fenomena institusionalisasi kedaulatan rakyat hari ini bergerak tidak saja massif, tapi juga visioner.
Memang, tidak bisa dihindari bahwa proses transformasi kesadaran yang sedang terjadi berjalan tak semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan kerja lebih keras lagi guna mengawal dan menjaga kualitas proses transformasi tersebut agar tetap on track. Kita mencatat dengan kritis bahwa sistem ketatanenegaraan Indonesia belum cukup mampu merespon kebutuhan dinamis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara hari ini. Beriringan dengan itu, kemunculan berbagai bersoalaan ketatanegaraan, solusi penyelesaian berikut perbaikan sistem keketatanagenaraan Indonesia cenderung kian membaik. Demikian pula halnya supremasi hukum, pejabat publik tidak lagi kebal hukum. Banyak anggota DPR, pejabat di tingkat kementrian, perwira kepolisian, kepala daerah dan abdi negara dipenjara akibat penyalagunaan kewenangan dan atau melanggar hukum. Ironisnya, kasus serupa masih saja terjadi sekarang. Selain itu, keputusan dan kebijakan publik juga hari ini telah menjadi perhatian serius dan pengawalan relatif ketat dari publik. Tidak sedikit UU yang kontra produktif dengan kehendak kedaulatan rakyat di-judicial review di tengah “kemandulan” produktifitas DPR dalam mengemban mandat legislasi sebagai akibat tarik ulur kuasa politik atas hukum, ekonomi (moneter, koperasi dan sumber daya alam), sosial, budaya, agama, pendidikan dan seterusnya.
Dalam potret fakta-fakta demikian, posisi masyarakat menjadi sangat determinan. Sebab, masyarakat dalam semesta kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menempati posisi stratifikasi sosial terbesar sebagai sasaran pembangunan. Artinya, jika analog piramida digunakan untuk menjelaskan stratifikasi sosial (rakyat), maka pada bagian puncaknya ditempati oleh segmen sosial elite, pemegang kendali kuasa. Pada bagian tengahnya diduduki oleh segmen sosial kelas menengah menengah, kritikus independen. Dan, pada bagian bawah adalah segmen sosial masyarakat jelata. Problemnya kemudian adalah bagaimana mengoptimasi sumber daya sosial masyarakat jelata yang besar secara kuantitatif itu sehingga juga diperhitungkan secara kualitatif? Jika jawaban atas pertanyaan ini benar, maka dapat dipastikan bahwa proses transformasi kedasaran tidak saja dapat dikawal agar tetap on track, tapi juga dapat diakselerasi perwujudannya. Sebaliknya, jika jawabannya salah maka proses transformasi kesadaran akan berjalan sangat lambat. 
Sejarah bangsa ini merekam dengan sangat baik betapa dominasi segmen sosial elite tidak saja melahirkan sentralisme kekuasaan, tapi juga otoritarianisme dan oligarki. Efek yang ditimbulkan  dominasi ini adalah ongkos sosial (social cost) yang teramat sangat mahal dan dampaknya masih sangat terasa hingga saat  ini. Bangsa ini belum memiliki segmen sosial kelas menengah yang mampu memberi jawaban yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kelas menengah Indonesia masih sedikit dan dominan cenderung terjebak dalam gray belt zone pragmatisme dan opurtunisme politik praktis. Keterjebakan ini adalah dampak ikutan logis pasca kejatuhan dominasi (kuasa politik) sosial elite orde baru. Kuatnya fatsun politik bergaya parton-klien dan tradisi politic of money pasca orde baru semakin memperparah kecenderungan pragmatisme dan opurtunisme kelas menengah. Pemenjaraan beberapa figur pemuda yang pernah ditokohkan di negeri akibat kasus korupsi adalah potert miris keterjebakan ini. Tidak menutup kemungkinan bahwa potert miris ini menjustifikasi kenyataan fenomena gunung es.
Itu sebab, proses transformasi kesadaran, tidak bisa tidak, harus digerakkan oleh masyarakat. Masyarakat dalam konteks perspektif ini dipanstaskan sebagai sebuah kekuatan yang memiliki posisi tawar sejajar dan kuat secara vis a vis terhadap sosial elite dan sosial kelas menengah dalam penegakkan dan merawat kualitas kedaulatan rakyat. Masyarakat dipantaskan untuk melawan, berkata tidak dan menolak secara tegas segala bentuk realitas yang mereduksi atau mendistorsi makna dan hakikat kedaulatan rakyat.   
Untuk mewujudkan misi itu pilihannya hanya pada bagaimana masyarakat bisa didorong, diberdayakan dan diperkuat agar memiliki mentalitas, kapasitas dan kompetensi yang memadai untuk mengambil tanggungjawab secara responsif, memainkan peran proporsional dan melakukan kerja-kerja strategis pengejawantahan kedaulatan rakyat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat dalam perseperktif ini adalah masyarakat dengan kerakteristik utama, yaitu memiliki kesadaran kuat akan hak-hak kewarganegaraan secara baik dan benar, memiliki sensifitas penegakkan keadilan sosial dan memiliki visi mewujudkan Indonesia maju dan mandiri. Inilah kerakteristik masyarakat advokatif.
Masyarakat advokatif adalah kumpulan pribadi-pribadi atau individu-individu yang mampu menerjemahkan profesinya secara kontekstual untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Bahwa apa saja pekerjaan yang digumuli; buruh, petani, nelayan, pedagang kaki lima, pembantu rumah tangga, petugas kebersihan, guru dan lain sebagainya, selalu berbasis pada kesadaran memenuhi kebutuhan penegakkan kedaulatan rakyat. Masyarakat advokatif berkeyakinan bahwa kedaulatan rakyat adalah kebutuhan. Kedaulatan rakyat tidak cukup dipamahi sekedar sebagai sebuah ideology atau mitos tertentu di arena politik. Kebutuhan kedaulatan rakyat adalah syarat mutlak bagi terciptanya kebebasan, kemerdekaan, keadilan sosial, kemakmuran dan kesejahteraan sejati bagi segenap seluruh bangsa Indonesia.     
Untuk membangun dan membentuk masyarakat advokatif dibutuhkan sebuah rekayasa arena yang memungkinkan kualitas proses dan hasilnya memenuhi kriteria yang menjadi standarnya. Rekayasa arena dilakukan mulai dari arena keluarga, pendidikan, masyarakat dan lingkungan kerja. Rekayasa arena dirumuskan sebagai sebuah sistem sosial yang bekerja secara berorientasi, bertarget dan berkelanjutan. Artinya, arena keluarga dipastikan memiliki konektifitas secara konsisten dengan arena-arena yang lain. Tiap arena didesain memiliki orientasi dan target tersendiri, namun berada dalam sebuah rekayasa arena yang bekerja secara sistemik, bersinergi dan berkelanjutan. Sederhananya, rekayasa pada tiap arena secara kontekstual harus mampu menjawab pertanyaan bagaimana pribadi-pribadi atau individu-individu sebagai anggota masyarakat memiliki kesadaran akan hak-hak kewarganegaraan yang baik dan benar, memiliki sensifitas keadilan sosial dan memiliki visi mewujudkan Indonesia maju dan mandiri.
Pada titik idealnya rekayasa arena akan memproduksi apa yang Bourdieu sebagai agen. Yaitu agen-agen yang memiliki karakter masyarakat advokatif dalam semesta kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, agama, pendidikan dan lain sebagainya. Dengan kata lain, aktifitas politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, pendidikan dan lain sebagainya benar-benar benar hanya dipersembahkan untuk penegakkan kedaulatan rakyat.
Akhirnya, mengunci tulisan ini saya mengutip pesan hebat seorang sosiolog paling terkemuka di dunia, Petter L. Berger dalam Pyramids of Sacrifice Political Ethics and Sosial Change. “… semua elite, baik yang sekarang berkuasa maupun yang baru mendambakan kekuasaan, mempunyai kecenderungan yang sama kuatnya untuk menganggap diri unggul dalam mengerti masalah-masalah orang lain”.

Kapala The Palaapa Center Tulehu
The PCT (Depisit)

No comments:

Post a Comment