Monday, April 11, 2016

BUDAYA DAMAI (Kebutuhan Maluku Berkelanjutan)

Belakangan ini, ada poin menarik yang mengemuka dalam beberapa forum percakapan dengan konsentrasi perdamaian di Kota Ambon. Seolah virus, poin menarik ini menyebar, menjangkiti dan mempengaruhi ruang bawah sadar dan menguji ulang cara pandang tertentu tentang pengelolaan perdamaian di Maluku. Bahkan, poin menarik ini tak pelak memicu perdebatan seru dengan tensi dan eskalasi yang relatif tidak saja ambigu, tapi juga terkadang cenderung bias. Namanya juga wacana, selalu terbuka bagi kemungkinan ataupun ketidakmungkinan perubahan pada sebuah standing point of view. Jadi, wajar adanya.
Menikmati percakapan dan berdebatan seru tersebut, paling tidak, penting digarisbawahi bahwa mengemukanya poin menarik ini menginidkasikan betapa persoalan perdamaian hingga sekarang masih menjadi concern serius masyarakat Maluku. Tema perdamaian sudah bak detak jangtung, helaan nafas kehidupan keseharian masyarakat Maluku. Dalam kalimat lain, percakapan perdamaian tidak saja telah menjadi sebuah respon atas perkembangan dan kenyataan dinamis dari fenomena sosial di Maluku yang punya pengalaman berkonflik (destructive) berikut pengelolaan untuk penyelesaiannya secara baik dan benar (constructive), tapi lebih dari pada itu, ia telah menjadi kebutuhan resolusi yang menjamin keberadaan (existence) dan keberlajutan (sustainability) Maluku dan ke-Maluku-an (pro-existence)  dalam semesta khazanah identitasnya.
Percakapan seputar poin menarik ini bertambah daya pikatnya menyusul epicentrum kritiknya berada pada status up to date kondisi peradamaian di Maluku. Dalam sederet perdebatan, mengemuka kesepahaman bahwa status up to date kondisi perdamaian praktis mempengaruhi dan sekaligus juga menentukan bangunan cara pandang (paradigm), formula capaian (outcomes), kerangka strategi proses dan model pendekatan (approaches) pengelolaan perdamaian yang akan dipakai oleh stakeholders di Maluku dalam pengelolaan pendamaian, terutama pemerintah, baik pusat maupun daerah. Sehingganya, status up to date kondisi perdamaian menjadi sangat penting dan strategis untuk “dibungkus” segera.
Poin menarik dimaksud adalah apakah status pengelolaan perdamaian di Maluku hari ini (up to date) masih berada di level pembangunan perdamaian atau sudah pada level “perawatan” perdamaian? Sepintas, pertanyaan ini menujukkan perbedaan cukup signifikan antara keduanya. Level pertama (pembangunan), perdamaian dipersepsikan sebagai berbagai usaha atau kerja-kerja pengelolaan perdamaian yang dilakukan pada masa dimana konflik sedang berlangsung dan fase transisi pasca konflik. Sedangkan, level kedua (perawatan), perdamaian dipersepsikan sebagai berbagai usaha atau kerja-kerja pengelolaan perdamaian yang dilakukan pada fase pasca transisi konflik dan dalam suasana kondusif.
Jika persepsi ini digunakan, berarti status up to date perdamaian di Maluku berada pada level kedua, yaitu perawatan perdamaian. Asumsinya sederhana, konflik sudah tidak terjadi atau selesai dan fase transisi dinilai sudah terlewati. Dan karenanya, pengelolaan perdamaian juga patut adaptif atau seiring sejalan dengan status up to date-nya pemilahan dan pemilihan paradigm, outcomes, strategi proses dan approaches yang akan digunakan.
Persepsi ini jelas tidaklah salah. Kenyataan sosial yang tampak hari ini memang membenarkan asumsi tersebut, bahwa perdamaian di Maluku sudah tercipta relatif baik dan kondusif; aman terkendali. Iklim ini bahkan kemudian dikliam sebagai buah dari dan manifestasi menguatnya kesadaran masyarakat Maluku atas betapa konflik memiliki daya rusak luar biasa (destructive) dan kebutuhan akan perdamaian (human basic need). Interaksi dan sosialisasi antar komunitas berbeda agama dan suku di ruang publik berlangsung baik. Searah itu, juga bertumbuh dan berkembang komunitas-komunitas kreatif baru bergendre peace lovers di lingkaran profesi maupun anak muda. Beberapa konflik atau kerusuhan sosial antar desa atau kampung yang terjadi dan memakan korban jiwa dalam beberapa tahun terakhir dapat dikanalisasi sebagai tindakan melanggar hukum, kejahatan atau kriminal sifatnya, bukan SARA. Dan yang paling anyar adalah data BPS (2014) yang memosisikan Maluku sebagai daerah dengan indeks kebahagiaan no. 2 tertinggi di Indonesia dan studi indeks kerukunan yang dilansir Kementrian Agama (2016) yang menempatkan Maluku pada urutan ke-3 sebagai daerah paling toleran di Indonesia. Pendeknya, sedang terjadi fenomena – yang oleh Fritjof Capra disebut sebagai – the turning poin. Ada semacam, renaissance Maluku.
Meski begitu, tidaklah juga dapat digunakan persepsi tunggal (merawat perdamaian an sich) dalam memotret pengelolaan perdamaian di Maluku. Dibutuhkan persepsi-persepsi lain untuk saling melengkapi. Dan, persepsi pembangunan perdamaian adalah salah satunya. Persepsi ini berasusmsi bahwa pengelolaan perdamaian adalah sebuah proses yang tidak cukup dimengerti dengan merumuskan fase-fase; konflik, transisi dan pasca konflik. Konflik adalah sebuah kompleksitas. Di dalamnya bersemayam semesta faktor kehidupan manusia (sosial, ekonomi, hukum, politik dan seterusnya) yang saling terhubung, saling terkait dan saling mempengaruhi secara signifikan dan membentuk sinergi. Maka dari itu, konflik Maluku sampai hari ini masih menyisahkan dampak yang relatif juga signifikan dan butuh kerja ekstra cerdas sekaligsu keras untuk menyelesaikannya.
Dalam beberapa sesi percakapan, terkuak secara menganga problem segregasi mindset dalam cara pandang berbudaya dan beragama. Kronisnya, segregasi mindset ini dibenarkan tida saja terjadi di arena komunitas jelata (grass root), tapi juga di arena komunitas kelas menengah (midle class) dan pengambil keputusan (policy maker). Disebut kronis, sebab komunitas kelas menengah dan pengambil kebijakan adalah komunitas berpendidikan tinggi (high-educated people). Selain itu, bahwa pewarisan khazanah local wisdom (Maluku) yang transformatif (ke-Maluku-an) juga masih sangat problematik. Upaya perumusan dan penerapan kurikulum pendidikan orang basudara (muatan lokal) berakhir nestapa dan mati suri setelah melewati masa ujinya akibat ketiadaan political will para pengambil kebijakan (eksekutif dan legislatif). Padahal, problem khazanah local wisdom atau kearifan lokal berikut kebutuhan transformasi dan kontekstualisasinya adalah problem nilai yang dibutuhkan sebagai “pagar” yang akan senantiasi menjaga kualitas berpikir, bersikap dan bertindak sesorang dengan identitas beta Maluku.
Belum lagi, bahwa proses regenerasi berikut alih generasi yang meniscayakan adanya ayunan langkah perdanan untuk bertumbuh sebelum berkembang dan akhirnya menjadi beta Maluku atau kotong Maluku membutuhkan kerja-kerja pembangunan. Ujungnya, setiap warga Maluku dipantaskan sebagai peace builder atau peace maker, paling tidak, bagi dirinya. Seturut itu, indeks kebahagian dan kerukunan di Maluku kemudian tidak lagi terkesan sekedar kontestasi angka-angka (kuantitas), tapi show force fakta sosial (kualitas).
Dalam pada itu, secara terbuka, jujur dan tulus penuh keberanian harus bisa diakui bahwa status up to date pengelolaan perdamian di Maluku membutuhkan keduanya, pembangunan perdamaian dan perawatan perdamaian. Dalam konteks persoalan tertentu pembangunan perdamaian dibutuhkan dan dalam konteks persoalan tertentu pula perawatan perdamaian dibutuhkan. Keduanya tidak patut dihadapkan secara vis a vis atau dipertentangkan secara kontra produktif. Tapi, keduanya harus disandingkan dalam kepantasan sinergi harmoni.
Damai, jelas berbeda dengan perdamaian. Tegasnya, damai bukan perdamaian. Damai adalah sebuah cita ideal, sementara perdamaian adalah sebuah proses ke arah cita ideal (damai). Namun, ini tidak lantas dengan enteng memungkinkan untuk dilakukan simplifikasi atau generalisasi atas setiap capaian perdamaian. Tidak semua perdamaian yang dilakukan berujung pada realisasi cita ideal. Dalam banyak kasus, perdamaian dicapai dengan menggunakan nalar kompromi atau trasaksionalisme sebagai konsekuensi logis dari pemufakatan bagi-bagi kepentingan. Tidak saja untuk mereka yang berkonflik secara langsung (direct conflict), tapi juga untuk mereka yang berjarak atau berada di luar konflik (indirect conflict). Slogan “atur damai” atau “ cari jalan damai” misalnya adalah model ending yang sudah jadi rahasia umum di arena politik, ekonomi dan hukum. Itu sebab, perdamaian kerap tidak saja menawarkan win-win solution (menahan diri), tapi pada saat yang bersamaan juga menawarkan lose-lose solution (mundur selangkah). Ada problem “maju kena, mundur kena” di dalamnya.
Damai sungguh menyiratkan rasa aman, nyaman, tentram, bersahaja, bijaksana, rendah hati dan sarat akan hikmah. Dalam praksisnya, damai selalu menyuratkan keterbukaan, murah senyum, canda tawanya bernas, kualitas kepekaan sosial tinggi dan empati dengan penuh kejujuran, ketulusan dan keihlasan dalam setiap pikirian, penyikapan dan tindakan. Pendek kata, manusia damai adalah sosok dengan kualifikasi kepribadian hallmark of personality, yaitu manusia yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Kehidupannya benar-benar benar dihibahkan dan diabdikan untuk kerja-kerja pelayanan demi kemanusiaan, keadilan sosial dan kesejahteraan. Pribadi ini adalah sosok yang amanah dan bertanggungjawab. Sosok yang kepribadiannya jauh dari tamak, keserakahan dan kerakusan akan kuasa.
Maluku hari ini membutuhkan sebuah arena yang memungkinkan pribadi-pribadi berkarakter cita ideal, memiliki kompetensi pendamai (peace builder, peace maker), dapat bertumbuh, berkembang dan secara wajar menjadi sosok dengan identitas beta Maluku. Selanjutnya, dari situ akan muncul dan menguat identitas katong Maluku. Arena dimaksud adalah pendidikan. Hanya arena ini -- dalam makna generiknya -- yang memungkinkan proses pembudayaan kesadaran damai dapat melembaga sebagai mentalitas, yaitu karakter budaya damai.
Budaya damai adalah sebuah cita ideal, kebutuhan dasar Maluku. Hanya budaya damai yang mampu memberi garansi bagi keberadaan (existence) dan keberlajutan (sustainability) Maluku dan ke-Maluku-an (pro-existence) dalam semesta khazanah identitasnya. Tanpa itu, Maluku sebagai sebuah semesta identitas hanyalah fatamorgana belaka,  pseudo Maluku. Dimana Maluku bukan lagi Maluku, tapi maluku (beta malu).
Memang, Maluku membutuhkan pembangunan perdamaian, juga perawatan perdamaian. Tapi, lebih dari keduanya, Maluku membutuhkan budaya damai. Sebab, di situlah Maluku benar-benar benar adalah Maluku, bukan maluku.



Penulis adalah inisiator The Pala'apa Center (The PalaTer), pemrihati masalah kebudayaan, keagamaan dan politik. Beralamat di Tulehu. 

No comments:

Post a Comment