Sunday, August 18, 2019

MERUMUSKAN SEJARAH MENDEPAN MALUKU

Merumuskan Sejarah Mendepan Maluku

Adalah keharusan sejarah yang memaksa setiap masyarakat
untuk  mengejar ketertinggalannya dari masyarakat yang telah lebih dulu
maju dan moodern (Teori “N”)

Bagi sebuah komunitas atau masyarakat berbangsa sejarah dimengerti sebagai gambaran fakta dinamis dengan kecondongan mobil membuka jendela masa depan berikut menutupnya, dan hanya akan terhenti oleh kematiannya sendiri. Sejarah adalah “wangsit”, pada ekstraknya bersemayam nilai-nilai perjuangan yang senantiasa potensial mendorong pemiliknya untuk terus bertumbuh, berkembang dan mengubah. Karena itulah berkaca pada sejarah menjadi suatu kemustian bila sebuah komunitas atau masyarakat berkehendak meraih pencerahan, kecemerlangan dan kebesaran. Tak salahlah jika Sir Betrand Russell mengatakan: “the only thing that we learn from history is that we never learn form it” (adalah kecelakaan manakala yang terjadi adalah bahwa yang kita pelajari dari sejarah bahwa kita tidak pernah mempelajari sejarah).
Che Guevera, revolusioner Cuba, Fazlur Rahman, intelektual muslim Pakistan yang kontroversial dan Rendra, budayawan Indonesia ternama berpandangan menarik sekait signifikansi kontribusi sejarah dalam proses pembentukan cara pandang, pelembagaan mentalitas, independensi sikap dan kemandirian tindakan sebuah komunitas, masyarakat berbangsa. Menurut mereka, sebuah bangsa yang dijajah dalam kurun waktu relatif lama, akan mewarisi budaya menjajah kepada mereka (masyarakat atau bangsa) yang didijajah. Pewarisan ini merupakan konsekuensi dari kewajaran relasi kausalitas (reciprocal) antara penjajah dengan yang dijajah. Bahwa, secara inkulturasi (osmosis) perilaku berkuasa sekaligus menjajah praktis menjadi sebuah terra incognita bagi penguasa (pemerintah) di negara-negara eks koloni atas masyarakatnya.
Tesis ini tidak selamanya dapat dibenarkan, akan tetapi fakta juga memberikan cukup bukti dominan betapa kasus perilaku “kolonialisme” oleh pemerintah junta militer dan sipil-otoritarianisme banyak terjadi di beberapa negara belahan dunia eks koloni seperti di Amerika Selatan (latin), Afrika dan Asia. Munculnya gerakan demokratisasi dan perbebasan komunitas atau masyarakat yang ditindas dan dimiskinkan oleh kebijakan diskriminatif atau tidak berkeadilan -- yang oleh Antonio Gramsci dan Gayatri Chakravorty Spivak disebut subaltern atau sub-human oleh Dom Helder Camara  -- seperti yang hari ini terjadi di Bolivia, Rwanda dan Myanmar misalnya adalah contoh menarik untuk menjelaskan kasus pemberontakan subaltern atau sub-human vis a vis penguasa bermental kolonial. Sudah barang tentu, Indonesia dengan kehusussan problematika dan kompleksitasnya lebih menarik lagi untuk ditelusuri. Kasus penggulingan Soekarno (1965) dan Soeharto (1998) berikut  empat kali pergantian presiden dalam kurun waktu tujuh tahun (1997 – 2004) adalah fakta politik yang merepresentasikan begitu kuatnya “cakar” kolonialisame yang mencengkram mentalitas dan perilaku pemegang kekuasaan atau pemerintah dan betapa keroposnya mentalitas citizenship dan nasionalisme kita. Tidakkah yang kita wariskan adalah bahwa “kita belum merdeka di alam kemerdekaan”?
Dengan sangat menggelitik Petter L. Berger dan Theodor W. Adorno menyimpulakan bahwa sejaran hanya menjadi milik mereka yang menang (berkuasa) dan bukan mereka yang terkalahkan (dikuasai). Lebih menggelitik lagi dan seolah menjastifikasi kesimpulan Berger dan Adorno, secara kritis kasuistis Montgomery Watt mengatakan bahwa “sejak abad IX, sejarah Islam cenderung menjadi sejarah dinasti”. Pendapat-pendapat ini dengan cukup jelas menunjukan bahwa sejarah susungguhnya merupakan konstruk dominasi dan menjadi milik sebuah rezim berkuasa atau pemerintah atas rakyatnya dan bukan sebaliknya, yaitu sejarah dikonstruk sendiri oleh dan menjadi milik sebuah komunitas atau masyarakat berbangsa. Itulah sebabnya, kenapa sehingga sejarah yang lebih kita kenal adalah klaim-klaim sejarah kerajaan-kearajaan di Indonesia, sejarah orde lama atau sejarah orde baru dan bukan sejarah masyarakat berbangsa Indonesia.
Masyarakat Maluku sebagai obyek sejarah kolonial (outsider) dan “kolonialisme” (insider) adalah pasungan yang mematikan kesadaran dan kebebasan berkreasi merumuskan sejarah mendepan Maluku. Oleh karenanya masyarakat Maluku harus melakukan “amputasi” sejarah (discontinuous history) berikut mentransformasikan diri dari posisinya sebagai obyek an sich menjadi subyek sekaligus obyek yang menavigasi arah “mata angin” sejarahnya. Proses transformasi adalah sebuah usaha pemberdayaan kesadaran dan pencitraan masyarakat Maluku agar mampu mengkonstruksi sejarah masa depan berbasis pada kapasitas potensi dan kompetensi; sumber daya, kearakteristik (local wisdom), identitas dan tuntutan kebutuhan perubahan dalam konteks keindonesiaan.
Otonomi daerah adalah sebuah instrumen penting yang memungkinkan masyarakat Maluku mampu memainkan peran sebagai subyek sekaligus obyek sejarah masa depan Maluku. Ruang yang difasilitasi oleh undang-undang nomor 25, 32 dan 33 tahun 2004 misalnya sungguh memberikan kemungkinan itu. Menjadi pertanyaan kita sekarang adalah sejauhmana kesiapan masyarakat Maluku untuk melakukan transformasi diri dari sekedar menjadi obyek sejarah kepada subyek sekaligus obyek sejarah masa depan Maluku?
Terlepas dari urusan siap atau ketidaksiapan di atas, beberapa agenda penting yang harus dipikirkan oleh pemerintah propinsi, kota, kabupaten dan masyarakat di Maluku hari ini adalah: pertama, membuka ruang yang potensial bagi tercipnya kualitas inisiatif, sikap proaktif dan partisipasipatif masyarakat dalam setiap proses perumusan dan keputusan publik. Kedua, menumbuhkan dan mengembangkan kultur politik yang demokratis dan berkeadilan sosial. Ketiga, mengeksplorasi dan mengoptimasi potensi sumber daya Maluku untuk peningkatan kualitas hidup kesejahteraan masyarakat Maluku. Keempat, melakukan studi-studi berbasis potensi lokal bagi kebutuhan penguatan tatanan dan khazanah komunitas dan masyarakat Maluku. Dan kelima, mempersiapkan dan mempromosi sumbedaya manusia Maluku atas dasar kompetensi profesionalisme dan competitiveness (mampu bersaing) di level nasional dan internasional.
Kelima agenda tersebut di atas merupakan agenda penyangga konstruksi sejarah mendepan Maluku, yang secara strategis nantinya dikontekstualisasikan (di-breakdown) ke dalam sektor-sektor pembangunan yang adaptif terhadap ketersediaan sumber daya dan adoptif terhadap kebutuhan perubahan Maluku. Tarulah, sebagai misal, bagaimana agar Maluku mendepan dibangun berbasis pada orientasi dan optimasi komuditi unggulan Maluku, yaitu kelautan dan rempah-rempah secara swakelola, mulai dari mempersiapkan kualitas “embrio” yang hibrid, pengelolaan (pabrikasi) sampai pada pemasaran (domistik dan eksport). Dengan demikian, sejarah mendepan Maluku sangat ditentukan oleh sejauh mana masyarakat Maluku mampu mencitrakan dirinya sebagai “dewa” laut dan rempah-rempah, “dewa” yang menjadi sumber penebar pesona keadilan sosial dan kesejhteraan masyarakat Maluku.
Akhirnya, jika Hobes berpandangan bahwa “kecenderungan setiap manusia adalah hasrat akan kekuasaan abadi yang hanya dapat dihentikan oleh kematian”, maka keharusan masyarakat Maluku untuk melaksanakan kelima agenda tersebut dapat dimengerti sebagai kematian itu. Inilah transformasi yang penulis maksud yaitu terlepasnya masyarakat Maluku sebagai obyek sejarah dari dominasi kekuasaan sentralisme (“kolonialisme”, insider) dan berubah menjadi subyek sekaligus obyek sejarah yang determinan bagi perumusan sejarah mendepan Maluku.


Kapala The Palaapa Center Tulehu
The PCT (Depisit)

No comments:

Post a Comment