Merumuskan
Sejarah Mendepan Maluku
Adalah keharusan
sejarah yang memaksa setiap masyarakat
untuk mengejar ketertinggalannya dari masyarakat
yang telah lebih dulu
maju dan moodern
(Teori “N”)
Bagi sebuah komunitas atau masyarakat berbangsa sejarah
dimengerti sebagai gambaran fakta dinamis dengan kecondongan mobil membuka
jendela masa depan berikut menutupnya, dan hanya akan terhenti oleh kematiannya
sendiri. Sejarah adalah “wangsit”, pada ekstraknya bersemayam nilai-nilai
perjuangan yang senantiasa potensial mendorong pemiliknya untuk terus
bertumbuh, berkembang dan mengubah. Karena itulah berkaca pada sejarah menjadi
suatu kemustian bila sebuah komunitas atau masyarakat berkehendak meraih pencerahan,
kecemerlangan dan kebesaran. Tak salahlah jika Sir Betrand Russell mengatakan: “the only thing that we learn from history is
that we never learn form it” (adalah kecelakaan manakala yang terjadi
adalah bahwa yang kita pelajari dari sejarah bahwa kita tidak pernah
mempelajari sejarah).
Che Guevera, revolusioner Cuba, Fazlur Rahman, intelektual muslim
Pakistan yang kontroversial dan Rendra, budayawan Indonesia ternama
berpandangan menarik sekait signifikansi kontribusi sejarah dalam proses
pembentukan cara pandang, pelembagaan mentalitas, independensi sikap dan
kemandirian tindakan sebuah komunitas, masyarakat berbangsa. Menurut mereka,
sebuah bangsa yang dijajah dalam kurun waktu relatif lama, akan mewarisi budaya
menjajah kepada mereka (masyarakat atau bangsa) yang didijajah. Pewarisan ini
merupakan konsekuensi dari kewajaran relasi kausalitas (reciprocal) antara penjajah dengan yang dijajah. Bahwa, secara
inkulturasi (osmosis) perilaku
berkuasa sekaligus menjajah praktis menjadi sebuah terra incognita bagi penguasa (pemerintah) di negara-negara eks
koloni atas masyarakatnya.
Tesis ini tidak selamanya dapat dibenarkan, akan tetapi
fakta juga memberikan cukup bukti dominan betapa kasus perilaku “kolonialisme” oleh
pemerintah junta militer dan sipil-otoritarianisme banyak terjadi di beberapa negara
belahan dunia eks koloni seperti di Amerika Selatan (latin), Afrika dan Asia.
Munculnya gerakan demokratisasi dan perbebasan komunitas atau masyarakat yang
ditindas dan dimiskinkan oleh kebijakan diskriminatif atau tidak berkeadilan --
yang oleh Antonio Gramsci dan Gayatri Chakravorty Spivak disebut subaltern atau sub-human oleh Dom Helder Camara -- seperti yang hari ini terjadi di Bolivia, Rwanda
dan Myanmar misalnya adalah contoh menarik untuk menjelaskan kasus pemberontakan
subaltern atau sub-human vis a vis penguasa
bermental kolonial. Sudah barang tentu, Indonesia dengan kehusussan problematika
dan kompleksitasnya lebih menarik lagi untuk ditelusuri. Kasus penggulingan
Soekarno (1965) dan Soeharto (1998) berikut empat kali pergantian presiden dalam kurun
waktu tujuh tahun (1997 – 2004) adalah fakta politik yang merepresentasikan begitu
kuatnya “cakar” kolonialisame yang mencengkram mentalitas dan perilaku pemegang
kekuasaan atau pemerintah dan betapa keroposnya mentalitas citizenship dan nasionalisme kita. Tidakkah yang kita wariskan
adalah bahwa “kita belum merdeka di alam kemerdekaan”?
Dengan sangat menggelitik Petter L. Berger dan Theodor W.
Adorno menyimpulakan bahwa sejaran hanya menjadi milik mereka yang menang
(berkuasa) dan bukan mereka yang terkalahkan (dikuasai). Lebih menggelitik lagi
dan seolah menjastifikasi kesimpulan Berger dan Adorno, secara kritis kasuistis
Montgomery Watt mengatakan bahwa “sejak abad IX, sejarah Islam cenderung
menjadi sejarah dinasti”. Pendapat-pendapat ini dengan cukup jelas menunjukan
bahwa sejarah susungguhnya merupakan konstruk dominasi dan menjadi milik sebuah
rezim berkuasa atau pemerintah atas rakyatnya dan bukan sebaliknya, yaitu
sejarah dikonstruk sendiri oleh dan menjadi milik sebuah komunitas atau
masyarakat berbangsa. Itulah sebabnya, kenapa sehingga sejarah yang lebih kita
kenal adalah klaim-klaim sejarah kerajaan-kearajaan di Indonesia, sejarah orde
lama atau sejarah orde baru dan bukan sejarah masyarakat berbangsa Indonesia.
Masyarakat Maluku sebagai obyek sejarah kolonial (outsider) dan “kolonialisme” (insider) adalah pasungan yang mematikan
kesadaran dan kebebasan berkreasi merumuskan sejarah mendepan Maluku. Oleh
karenanya masyarakat Maluku harus melakukan “amputasi” sejarah (discontinuous history) berikut mentransformasikan
diri dari posisinya sebagai obyek an sich
menjadi subyek sekaligus obyek yang menavigasi arah “mata angin” sejarahnya.
Proses transformasi adalah sebuah usaha pemberdayaan kesadaran dan pencitraan masyarakat
Maluku agar mampu mengkonstruksi sejarah masa depan berbasis pada kapasitas
potensi dan kompetensi; sumber daya, kearakteristik (local wisdom), identitas dan tuntutan kebutuhan perubahan dalam
konteks keindonesiaan.
Otonomi daerah adalah sebuah instrumen penting yang
memungkinkan masyarakat Maluku mampu memainkan peran sebagai subyek sekaligus
obyek sejarah masa depan Maluku. Ruang yang difasilitasi oleh undang-undang
nomor 25, 32 dan 33 tahun 2004 misalnya sungguh memberikan kemungkinan itu.
Menjadi pertanyaan kita sekarang adalah sejauhmana kesiapan masyarakat Maluku
untuk melakukan transformasi diri dari sekedar menjadi obyek sejarah kepada
subyek sekaligus obyek sejarah masa depan Maluku?
Terlepas dari urusan siap atau ketidaksiapan di atas, beberapa
agenda penting yang harus dipikirkan oleh pemerintah propinsi, kota, kabupaten dan
masyarakat di Maluku hari ini adalah: pertama,
membuka ruang yang potensial bagi tercipnya kualitas inisiatif, sikap proaktif
dan partisipasipatif masyarakat dalam setiap proses perumusan dan keputusan
publik. Kedua, menumbuhkan dan
mengembangkan kultur politik yang demokratis dan berkeadilan sosial. Ketiga, mengeksplorasi dan mengoptimasi
potensi sumber daya Maluku untuk peningkatan kualitas hidup kesejahteraan
masyarakat Maluku. Keempat, melakukan
studi-studi berbasis potensi lokal bagi kebutuhan penguatan tatanan dan
khazanah komunitas dan masyarakat Maluku. Dan kelima, mempersiapkan dan mempromosi sumbedaya manusia Maluku atas
dasar kompetensi profesionalisme dan competitiveness
(mampu bersaing) di level nasional dan internasional.
Kelima agenda tersebut di atas merupakan agenda penyangga konstruksi
sejarah mendepan Maluku, yang secara strategis nantinya dikontekstualisasikan (di-breakdown)
ke dalam sektor-sektor pembangunan yang adaptif terhadap ketersediaan sumber daya
dan adoptif terhadap kebutuhan perubahan Maluku. Tarulah, sebagai misal, bagaimana
agar Maluku mendepan dibangun berbasis pada orientasi dan optimasi komuditi unggulan
Maluku, yaitu kelautan dan rempah-rempah secara swakelola, mulai dari
mempersiapkan kualitas “embrio” yang hibrid, pengelolaan (pabrikasi) sampai
pada pemasaran (domistik dan eksport). Dengan demikian, sejarah mendepan Maluku
sangat ditentukan oleh sejauh mana masyarakat Maluku mampu mencitrakan dirinya
sebagai “dewa” laut dan rempah-rempah, “dewa” yang menjadi sumber penebar pesona
keadilan sosial dan kesejhteraan masyarakat Maluku.
Akhirnya, jika Hobes berpandangan bahwa “kecenderungan
setiap manusia adalah hasrat akan kekuasaan abadi yang hanya dapat dihentikan
oleh kematian”, maka keharusan masyarakat Maluku untuk melaksanakan kelima
agenda tersebut dapat dimengerti sebagai kematian itu. Inilah transformasi yang
penulis maksud yaitu terlepasnya masyarakat Maluku sebagai obyek sejarah dari dominasi
kekuasaan sentralisme (“kolonialisme”, insider)
dan berubah menjadi subyek sekaligus obyek sejarah yang determinan bagi perumusan
sejarah mendepan Maluku.
Kapala The Palaapa Center Tulehu
The PCT (Depisit)
No comments:
Post a Comment