Maulid: Arena Publik Simbolik
(Membaca Fenomena Kultural Keberagamaan)
Perayaan momen Hari Lahir Nabi Muhammad Saw, tahun ini berdasarkan penanggalan Masehi, jatuh pada tanggal 8 Oktober 2022. Momen ini dalam khazanah pemikiran umat Islam dikenal dengan "Maulid Nabi".
Dalam rangka perayaan momen historis itu, saya mencoba untuk berselancar di dunia maya guna mengeksplorasi ragam cara pandang dan ekspresi tentang "Maulid Nabi". Tentu dengan penuh harap bahwa saya nanti akan punya pengetahuan, pemahaman, referensi yang relatif memadai, dan memiliki kesadaran (baru) yang dipataskan karena menghikmai perayaan momen "Maulid Nabi".
Dan, yang saya dapati setelah hampi tiga jam berselancur adalah bahwa kajian (akademik) terhadap momen "Maulid Nabi" belumlah mendapat perhatian cukup serius, terutama secara historis, nyaris tak terjamah. Jika pun ada maka data-data yang dijumpai umumnya dipulikasi oleh sumber-sumber berita online.
Tapi, saya kemudian dapatkan informasi bernilai yang memperkaya pengetahuan dan referensi terkait ragam perayaan momen "Maulid Nabi" di banyak daerah di Indonesia. Otomatis, langsung saja saya dokmentasikan. Bagi saya, pendokumentasian ini sangat penting dan sungguh teramat sangat berharga. Setidaknya, lewat pembacaan dokumentatif terhadap ragam ekspresi umat Islam di banyak tempat di Indonesia dalam merayakan momen "Maulid Nabi", dapat menjelaskan bagimana kecintaan umat Islam Indonesia kepada Nabi Muhammad Saw dibangun atas dasar cara pandang relasi, integrasi, dan sinergi antara nilai-nilai universalitas (berbudaya dalam beragama; keislaman) dengan nilai-nilai lokalitas (beragama dalam berbudaya; keindonesiaan) yang demikian kaya; plural sekaligus multikultural.
Beberapa yang sudah terdokumentasi adalah "Maudu' Lompoa" (Cikoang, Takalar, Sulawesi Selatan); "Walima" (Gorontalo); "Munit" (Sumbawa, NTB); "Muludhen (Madura); "Festival Endhong-endhongan" (Banyuwangi, Jawa Timur); "Grebeg Maulud" (Glagah, Lamongan, Jawa Timur); "Ampyang" (Loram Kulon, Kudus, Jawa Tengah); "Saketan" (Yogyakarta); "Panjat Jimat" (di Cirebon); "Ngalungsur Pusaka" (Garut, Jawa Barat); dan "Bungo Lado" (Padang Pariaman, Sumatera Barat).
Agaknya, data-data dokumentatif di atas belumlah seberapa. Saya sangat yakin, di masih banyak daerah lain di Indonesia juga punya tradisi perayaan momen "Maulid Nabi" yang berbeda dan khas. Khazanah tradisi beragama dan berbudaya ini patut dirawat, dilestarikan, dan terus dikembangkan. Khazanah tradisi ini tidak bisa tidak terus diwariskan secara regeneratif.
Ke arah itu, menurut saya, stakeholders dan komponen strategsi yang bergaweh secara signifikan dengan kebutuhan proses pewarisan khazanah tradisi ini dituntut untuk pro aktif, berpartisipasi aktif, dan berkontribusi nyata, secara proporsional dan bertanggungjawab.
Akhirnya, bagi saya, ruang perayaan momen "Maulid Nabi" sederhananya adalah sebuah arena publik simbolik penjelas bekerjanya kekuatan cinta kepada Nabi Saw sebagai figur teladan (uswatun hasana; wainnaka la'ala khuluqin 'adzim).
Selamat merayakan momen "Maulid Nabi" 2022, semoga kita bisa menjadi sosok teladan yang dipantaskan untuk diteladani (menjadi teladan untuk diteladani).
Sebentar, ingatan saya memberi kode penting. Seturut itu, pandangan saya menyisir deretan buku yang "terparkir" pada rak persis di depan posisi duduk saya, di meja kerja. "Ya, bukunya Yuval Noah Harari', yakin ingatan ku. Buku yang sudah saya baca dan sungguh menikmati pikiran-pikiran yang tersaji terkhusus di Bagian III (11) tentang "Agama Data". Judul bukunya: Homo Deus Masa Depan Umat Manusia (versi terjemahan, 2019).
Harari menulis, bahwa salah satu dari tiga proses yang saling terkait dan membayangi perkembangan kehidupan umat manusia adalah "kecerdasan sedang berpisah dari kesadaran". "Apa yang lebih berharga - kecerdasan atau kesadaran"? (h. 456-567).
Pertanyaan di atas tampak jelas sangat serius dan karenanya penting sekali diberikan jawaban responsif. Pertanyaannya, meski tanpak sederhana, tapi sekaligus sungguh berat. Apatah lagi, persoalannya kemudian adalah baik kecerdasan maupun kesadaran keduanya diperlukan untuk membangun keadaban (kualitas hidup) sekaligus peradaban (kualitas kehidupan). Jadi, tidaklah enteng untuk menjawab dan atau meresponnnya. Hingga, pertanyaan ini perlu dipertanyakan (lagi). Kenapa Harari mengajukan pertanyaannya seperti itu? Di sinilah "starting point" untuk memulai menjawab dan atau respon pertanyaan Harari. Sebab, saya setuju dengan Socrates (399 SM, w), filosof Yunani, yang mengatakan bahwa dengan mengajukan pertanyaan yang benar berarti sudah ditemukan separuh dari jawabannya.
Ok, saya percaya, tiap orang akan punya jawaban responsif atas pertanyaan Harari. Ada ruang terbuka dan potensi potensi kebermacaman di sana. Dan, itu semua patut dihargai dan dihormati. Bukankah perbedaan itu indah, rahmat (hadits: ikhtilaf fi ummati rahmat).
Dalam perspektif semacam itu, menurut saya, persoalannya bukan pada keperluan kita untuk memilih menentukan status skala prioritas antara kecerdasan dan kesadaran, akan tetapi pada bagaimana mengelola keduanya secara berkualitas.
Itu sebab, menurut saya, pertanyaan Harari menjadi sangat relevan dengan kebutuhan merayakan momen "Maulid Nabi" yang menawarkan kesadaran (cinta semesta; rahmatan lil'alamin) sebagai kekuatan mengelola kecerdasan (paradigma peradaban, atau episteme dalam nalar Foucault).
Maksud saya, sejatinya, perayaan momen "Maulid Nabi" dapat dioptimasi untuk kesempatan "bercermin" untuk sebuah penampilan yang sungguh benar-benar benar mempesona, menarik dan ternikmati; mengatur "kaca spion" kendaraan secara pas agar lebih awas, terhindar dari kecelakaan, tidak merusak kepemilikan dan apalagi sampai mencederai orang lain.
Artinya apa? Saya benar-benar sulit membayangkan apa kesan yang bakal mengemukan jika seseorang mengekspresikan cara pandang beragamanya tanpa memperhatikan atau tak peduli untuk mengganti "cermin" dan "kaca spion" kendaraannya yang retak.
--------------------------------------
Penulis, Zainal Arifin Sandia (Kee Enal) adalag pegiat Yayasan Sombar Negeri Maluku (YSNM), relawan ARMC IAIN Ambon dan pendiri The Core of Palaapa (The CoPa) Tulehu. Tulisan adalah pengembangan dari positingan di FB pada tanggal 09 Oktober 2022, dengan judul yang sama.
No comments:
Post a Comment