MAKNA SEJATI KONFLIK
(Jalan Merawat Sebuah Cara Pandang)
Ngopi pagi (tanpa gula) hari ini agak spesial. Sebabnya, di samping "harus" tunaikan "ritual" tradisi saban pagi, saya juga, secara moral, dituntut untuk menyiapkan beberapa hal penting untuk sebuah hajatan sangat strategis. Berbagi pengetahuan dan pengalaman bertema konflik dengan beberapa "pewaris" masa depan Maluku, Indonesia.
Yayasan Sombar Negeri Maluku (YSNM) bekerjasama dengan Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) UGM akan menggelar kegiatan Pelatihan Resolusi Konflik di Ambon. Kegiatan ini akan dikuti oleh 24 orang mahasiswa/mahasiswi dan beberapa Perguruan Tinggi (PT) di Kota Ambon.
Bagi saya pribadi, tema konflik selalu menarik dan penting dipercakapkan. Betapa tidak, secara normatif-teologis, misalnya, tema konflik diidentifikasi senbagai salah satu dari tema "drama" kehidupan umat manusia yang peling tertua (sedari manusia pertama) dan abadi (hingga manusia sekarang). Di sinilah, status menariknya isu konflik.
Well, untuk kepentingan kerjasama itulah, saya mendadak terpapar virus "sakau" untuk memeriksa rak buku di "ruang tempur", memilah berikut memilih beberapa buah, dan membacanya secara cepat. Saya butuh aksi "refresh" literatur, sentuhan khazanah akademik atau mengonfirmasi sejauhmana relasi teks (literatur) dan konteks (perubahan) wacana konflik dalam dinamika problematika kehidupan umat manusia berikut kekinian kopleksitasnya, terkhusus di Indonesia.
Dengan sebutan berbeda, boleh dibilang, kerjasama ini, menjadi momentum untuk menemukan dan mereformulasi "titik singgung" antara teks (literatur) dan konteks (perubahan di Maluku) seputar wacana potensi konflik sebagai langkah strategis untuk pengembangan cara pandang yang menjamin keberlangsungan sebuah iklim tata kehidupan berbudaya, beragama, berbangsa dan bernegara yang terintegrasi sebagai sebuah sinergi keindonesiaan.
Kembali menjamah bacaan lama seputar konflik, mengingatkan saya pada begitu banyak rangkaian kegiatan, aksi dan refleksi tentang tentang realitas kehidupan (pengelolaan dan tranformasi konflik, pembangunan perdamaian berkelanjutan, dll.) yang secara terbuka mengantar saya pada penentuan pilihan-pilihan pembentukan dan pengembangan diri. Terlalu banyak untuk dikenang. Dan saya yakin, masing-masing orang, terutama di Maluku, sedikit banyak pasti punya ingatan dan kenangan tersendiri, spesial dan unforgetable soal konflik dan perdamaian.
Tentu saja, dalam konteks ini, konflik yang saya maksud adalah dalam makna generiknya. Ini penting "distabilo" sebab kerap dijumpan pandangan yang dengan rada "genit" melakukan simplifikasi kemudian beraksi main "pukul rata" dalam memaknai terma konflik. Tak pelak, konflik dilihatnya seolah hanya identik dengan dan atau terpastikan sebagai sebuah fenomena sosial yang hanya mempertontonkan "wajah" kerusuhan dan atau kekerasan an scih. Padahal, pada sejatinya, konflik adalah sesuatu yang normal, wajar atau manusiawi, dan perlu pengelolaan secara baik dan benar, agar membawa nilai positif, produktif, inovatif dan konstruktif secara berkenlanjutan.
Dalam konteks itulah, menururt saya, penting sekali untuk memahami apa sebenarnya konflik itu, agar tidak sampai meninmbulkan pemahaman yang cenderung bias atau mengganggu. seturut itu, setidaknya ada dua pemikir yang pendangan mereka relatif cukup representatif untuk menjelaskan terma konflik, yaitu Dukes dan Coser.
Franklin Dukes, memandang konflik dalam masyarakat
demokratis sebagai basis untuk perubahan sosial (social change). Seturut itu, Lowis Coser melihat konflik sebagai
realitas dapat memberikan atau menunjukkan adanya "a dynamic change" dalam masyarakat. Artinya apa? Pada prinsipnya, konflik adalah sesuatu yang netral dan dibuthkan. Sebab, dari konfliklah sebuah dinamika dan perubahan sosial terjadi. Dengan kalimat lain, tanpa konflik sebuah dinamika dan perubahan sosial tidak akan pernah terjadi, atau stagnan.
Jadi teranglah bahwa konflik adalah sesuatu yang normal, wajar atau manusiawi dalam hidup dan kehidupan sehari-hari manusia. Konflik pada prinsipnya adalah netral dan dibutuhkan. Tinggal, yang penting dioptimasi adalah bagaimana agar konflik tersebut dapat dikelola secara baik dan benar sehingga berdaya fungsional dalam me(re)produksi nilai posisitf, produktif, inovatif dan konstruktif secara berkelanjutan.
Dalam pada itu, saya menilai sangat penting untuk merenungkan dalam-dalam sebuah petuah bernas dari John Galtung. "Ketiadaan kekerasan (absence of violence) tidak harus dikaburkan dengan tidak adanya konflik, kekerasan dapat terjadi tanpa konflik", pesan Galtung.
Memahami konflik hari ini menjadi sebuah kapasitas dan kompetensi yang sangat dibutuhkan untuk membaca relitas dinamika sosial secara kritis, produktif, inovatif dan konstruktif. Cara pandang seperti ini akan sangat berguna dan membantu untuk membaca berikut merespon secara proporsional persoalan seperti hoax, post-truth, Islam Transnasional, polulisme beragama, dan kekerasan ekstrimisme, sebagai ancaman bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (NKRI), yang dalam beberapa tahun teramat sangat nyata dan serius.
Pada saat yang bersamaan, cara pandang ini juga akan sangat bermanfaat untuk membaca secara proporsional dan responsif terhadap usaha-usaha penguatan kesadaran atas realitas sosiologis bangsa Indonesia yang plural sekaligus multikultural, sebagai modal strategis untuk merawat, majaga dan melestarikan keindonesiaa, kebangsaan, kenegaraan (NKRI).
Dalam perspektif itu, menurut saya, wacana seperti pribuminasi Islam, Islam Nusantara, Islam Mazhab Ambon (Maluku), dan moderasi beragama misalnya, tidak bisa tidak untuk didesiminasi, didakwahkan. atau dikhutbahkan di mimbar-mimbar atau ruang-ruang publik. Dan untuk kerja ini, dibutuhkan langkah-langkah terkoordiasi, konkrit, terukur dan targeted. Stakeholders dan atau komponen yang menaruh "Harga Mati" pada Indonesia, dalam soal ini, dituntut untuk dapat pro-aktif, berpartisipasi aktif dan berkontribusi nyata, dalam merumuskan dan mengeksekusi langkah-langkah itu secara proporsional dan bertanggungjawab.
Sebagai umat beragama, kita kerap diingatkan dengan "nada" bervolume kencang dalam urusan ekspresi keberagamaan kita. Bahkan, cara berekspresi itu diperkarakan buntut implekasinya. Boleh dikata, ini semacam kode keras atas cara pandang kita dalam beragama, bagaimana kita mengekpresikan dan mengartikulasikan cara padang itu dalam beragama, yang menurut para kritikus dinilai problematis, kompleks dan kontra produktif dengan misi suci (the secret mission) dari ajaran agama itu sendiri, yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadaban atau kemanusiaan universal.
Sydney Hook, sebagai misal, pernah bertanya: "Kalau agama itu memang benar namun tidak mamapu mempengaruhi pera pemeluknya, lalu bagaimana membuktikan kebenaran agama itu? Dan apa gunanya agama yang benar namun tidak mempengaruhi watak pemeluknya? Malah agak lebih eksrim, A. N. Wilson, seorang wartawan dan novelis, mengajak umat beragama untuk mencoba hidup tanpa agama, seperti yang jadi judul bukunya: Againts Religion: Why We Should Try to Live Without It (Melawan Agama: Mengapa Kita Harus Mencoba Hidup Tanpanya).
Di dalam buku itu, Wilson menulis: "Marx described it as the opium oh the people; but it is much deadlier then opium. It does not send people to sleep. It excites them to presecute one another, to exalt their own feeling and opinions above those of others, to claim for themselves a possition of the truth”. Artinya, kurang lebih, "Marx menggambarkan agama sebagai candu, tetapi agama jauh lebih berbahaya daripada candu. Agama tidak membuat orang tidur, agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka atas perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bagi diri mereka sendiri pemilik kebenaran”.
Fakta-fakta yang tersaksikan, memang seolah, mengonfirmasi kebenaraan kritik Hook dan Wilson. Padahal, secara kritis, pendapat keduanya masih sangat terbuka untuk diperdebatkan. Sebutlah, penting untuk membedakan agama dan penganut agama; ajaran agama dan cara pandang beragama; Islam dan islamisme, sebagaimana dijelaskan Abdul Karim Soroush dan Bassam Tibi.
Akhirnya, saya hendak menyudahi wacana konflik ini dengan mengutip pendapat sangat menarik dari Marc Gopin, sebagai berikut: "agama memainkan peranan penting dalam kehidupan dan sikap sosial yang paling inti dari manusia, ... tetapi agama, sebagai sebuah ekspresi komitmen iman terhadap perdamaian adalah sebuah fenomena yang kompleks. Sementara sebagian umat secara kreatif mengintegrasikan tradisi spiritual mereka dengan usaha perdamaian, ada banyak yang lain justru berusaha melakukan tindakan kekerasan seperti yang dihadapi oleh komunitas global saat ini".
Gopin hendak mengajak umat manusia agar jangan menutup mata dari persoalan kekerasan (cara pandang) dengan segala kepentingan (politik ekonomi), berikut konflik sebagai dampak ikutan langsungnya (perang saudara, korban jiwa dan kemiskinan), yang sedang terjadi dan dihadapi oleh komunitas global. Seperti yang terjadi di Afrika (Ethiopia, Mozambik, Somalia, Sudan, dan Nigeria), Timur Tengah (Paletina-Israel, Suria) dan juga Eropa (Rusia-Ukraina, krisis enegri, pangan dan anacaman resesi ekonomi dunia 2023).
Tindakan-tindakan kekerasan itu mesti dapat dihentikan. Dan komitmen perdamaian yang berbasis pada spiritualitas ajaran agama dapat dijadikan modal untuk melakukannya. Artinya, sepanjang manusia itu beragama, maka selalu akan ada ruang untuk menegaskan sikap sosial komitmen pada perdamaian dan melawan segala bentuk tindakan kekerasan.
Memahami konflik, berikut mengelolanya secara baik dan benar, sangat ditentukan oleh sebuah cara pandang yang dipakai dalam membaca realitas konflik. Jika cara pandang yang dipakai baik dan benar maka proses pembacaan dan hasilnya akan baik dan benar pula. Demikian sebaliknya. Itu sebab, pemaknaan yang baik dan benar terhadap konflik akan sangat berpengaruh dan menentukan pilihan sebuah cara pandang dalam membaca konflik. Dan, ajaran agama-agama sesungguhnya menyediakan ruang untuk mengembangkan cara pandang yang baik dan benar itu. Persoalannya kemudian adalah apakah umat beragama sungguh-sungguh mengoptimasi ruang itu? Di sinilah duduk perkaranya.
--------------------------------------
Penulis: Zainal Arifin Sandia (Kee Enal) adalah pegiat Yayasan Sombar Negeri Maluku (YSNM), relawan pada ARMC IAIN Ambon dan pendiri The Core of Palaapa (The CoPa) Tulehu. Tulisan ini merupakan pengembangan dari postingan di FB pada tanggal 05 Oktober 2022 dengan judul Makna Sejati Konflik.
No comments:
Post a Comment