“IQBAL” ALA INDONESIA
(Renungan Menuju Ijtihad Konstitusional)
As usual, jalani "ritual" pagi. Ngopi (tanpa gula). Kali ini ditemani sebuah buku, lagi dan lagi, jadoel. Terbit tahun 1994. Judulnya: Rekonstruksi Pemikiran Islam Studi Tentang Kontribusi Gagasan Iqbal Dalam Pembaharuan Hukum Islam.
Walau jadoel, tapi kualitasnya abadi. Hahahahahahaha.... Kalau baca buku ini, bisa jadi "pemberontak", dalam makma positif; kerja-kerja responsif terhadap realitas sosial yang bergerak dinamis, mendorong usaha-usaha pembaharuan sebagai keniscayaan, dan menciptakan kemajuan-kemajuan progresif dan kontekstual.
Dalam konteks itu, Iqbal memandang ijtihad sebagai kunci sekaligus jalannya. Ijtihad, jelas Iqbal, adalah "exert with a view to form an independent judjment on legal question". Artinya: ijtihad adalah bersungguh-sungguh dalam merumuskan suatu keputusan yang independen untuk menjawab permasalahan hukum". Iqbal mendasar pada QS. al-Ankabut:69: "orang-orang yang berusaha secara sungguh-sungguh di jalan Kami (Allah), pasti Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami", (h. 83).
Menariknya, Iqbal tidak langsung "full stop" pada kebutuhan kerja-kerja ijtihad an sich. Dia kemudian menapak ke depan berikut mengusulkan dibentuk sebuah lembaga ijma'. Yang tidak saja diisi oleh pakar hukum Islam (ulama dalam makna terbatas), tapi juga oleh "orang awam" yang meski tidak paham hukum Islam, tapi punya ketajamam dalam melihat permasalahan masyarakat; sosial, politik, ekonomi, budaya, kedokteran, dll., (h. 87). Usulan itu tidak hampa kritik. Rosenthal dan H.A.R. Gibb contohnya, (h. 91).
Menurut Iqbal, cara kerja ijtihad yang sifatnya personal (independen) harus ditransformasi menjadi cara kerja ijma', yaitu ijtihad kolektif. Lebih jauh, basis ruang kerja ijma' adalah kontekstualitas wilayah. Sebab, masing-masing wilayah punya problem beragam, dan karena itu repon hukumnya (ijtihad) tidak bisa tidak kontekstual, (h. 89). Yang itu berarti hasil responnya bakal beragam.
Dan, di Indonesia, lembaga seperti atau mirip lembaga jima’ ala Iqbal sudah bertumbuh dan berkembang di Indonesia. Misal, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki forum bahstu al-masail; Muhammadiyah punya manhaj tarjih; dan di Majilis Ulama Indonesia (MUI) ada Komisi Fatwa. Masih banyak organisasi sosial Islam di Indonesia yang juga memiliki ruang otoritatif untuk melakukan ijtihad.
Hal lain yang jadi perhatian saya ala "ngelantur" terhadap buku ini adalah pada judulnya. Pemikir yang ditulis adalah Iqbal, eh... si penulisnya juga Iqbal. Jadilah Iqbal menulis Iqbal. Saya baper dan curiga berat: jangan-jangan (?), jangan-jangan (?). Hahahahaha..... Boleh jadi nih ya, si penulis buku ini adah pengagum berat dari sosok yang ditulisnya. Setuju gak? Tidak setuju juga boleh. Bebas paksaan kok.
Jadi ingat saat di Yogyakarta. Saya membaca berita di sebuah koran (maaf, lupa namanya) yang isinya tentang satu komunitas kumpulan orang-orang yang punya kesamaan nama (persis) atau kemiripan nama (karena ada tambahan yang berbeda. Misal, Zainal Arifin dan Zainal Abidin; Muliana dan Muliana Girsang; Andi Lighad dan Andi Lau).
Prinsip komunitasnya adalah berbagi, saling bantu satu sama lain. Karena profesi mereka beragam, kalo ada transaksi di antara mereka (sesama anggota komunitas) bisa dapat diskon. Lumayan khan? Seru pokoknya. "Andai bisa digalang komunitasnya hingga ke level nasional atau international. Bisa jadi apa tuh?" Saya membatin, kala itu.
Tertarik untuk membut organisasi dengan basis komunitas seperti itu? Silahlahkan! Tidak ada yang larang. Bahkan, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara dijamin dan dilindung kok sebagai salah satu hak kontitusional. UUD 1945 Pasal 28E Ayat 3 dengan jelas menyebut: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Seturut itu, di dalam UU Nomor 33 Tahun 1999 Pasal 15 tertulis bahwa: “Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”. Lebih jaun dalam pertimbangan UU Nomor 17 Tahun 2013 (2018) dijelaskan: “bahwa kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Jadi sudah clear and clean bahwa berkumpul, mengelurkan pendapat, dan mendirikan organisasi dalah hak asasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dijamin dan dilindungi. Jadi, untuk membuat organisasi berbasis komunitas orang-orang yang punya kesamaan nama atau kemiripan nama terstempel adalah sah, sah, dan sah, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.
Sekali lagi, tertari untuk membuat organisasi komunitas berbasi kesamaan nama atau kemiripan nama? Ya, itung-itung, kan potensial dan terbuka dioptimasi sebagai "amunisi" untuk show force dalam konteks momen perhelatanan kontestasi "pesta demokrasi", 2024. Iya khan? Hahahahahaha......... Ssstttt! Teruntuk paragraf ini, ada disclaimer-nya: bukan provokasi! Hahahahahaha.........
Akhirnya, saya hendak mengatakan bahwa inisitif untuk berkumpul, membuat atau mendirikan organisasi komunitas atas dasar kesamaan nama atau kemiripan nama adalah kerja ijtihad. Apalagi, sampai kehadirannya kemudian bermanfaat bagi sesama; saling berbagi, saling membatu, gotong royong, dan seterusnya. Tidakkah dalam ajaran agama terdapat ajakan berbuat baik kepada sesama, “wat’awanu ‘ala al-bir”, (QS. al-Maidah:2)? Tidakkah dalam hadits Nabi Muhammad berpesan bahwa: “manusia yang baik adalah yang berbanfaat bagi sesamanya”, khair an-nas nan yanfa’u li an-nas (HR. al-Tabrani)? Sebuah pesan kemanusiaan universal. Siapa saja, tanpa pandang perbedaan warna kulit, bahasan, ras, suku, budaya, bangsa, dan agama, dituntun dan dibenarkan untuk berbagai kepada sesama, gotong royong, dan bekerja secara bersesama dalam urusan kebaikan. “Wat’awanu ‘alal al bir”, (QS. al-Maidah:2).
Pesan bernas Nabi itu jika ditarik dalam konteks keindonesiaan sekaitan dengan inisiatif berkumpul, membuat dan mendirikan organisasi dengan basis kesamaan atau kemiripan nama, menurut saya adalah sebuah kerja ijtihad, yaitu ijtihad konstitusional. Ijtihad yang dibuat untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara, sebaimana pesan UU di atas. Sekaligus, adalah juga ijtihad atas pesan bertuang kebangsaan, bahwa “cinta tanah air adalah sebagaian dari iman”.
Maka, jangan pernah berhenti untuk melakukan ijtihad konstitusional untuk mewujudkan “.... suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segnap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial....”, (Preambule, alinea ke-4).
-------------------------------------
Penulis: Zainal Arifin Sandia (Kee Enal) adalah pegiat Yayasan Sombar Negeri Maluku (YSNM), relawan ARMC IAIN Ambon Bidang Penelitian dan Advokasi, dan pendiri The Core of Palaapa (The Copa) Tulehu. Tulisan ini merupakan pengembangan dari postingan di FB pada tanggal 1 Oktober 2022 dengan tema IQBAL?
No comments:
Post a Comment