MENDAKU: ATAS NAMA RAGAM DIRI
(Respon Reflektif Atas Dinamika Sosial Berbangsa)
"Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi. Terkecuali mereka yang punya iman (keyakinan dan konsistensi), mengerjakan amal saleh (kebaikan, mengajak pada pemenuhan hak dan sabar", (al-Ashr).
Dari mana kita harus mulai? Pertanyaan Ali Syari'ati itu kembali menyapa kesadaran yang meruang jauh di kedalaman tak terjamah. Mengulik kuat rasa penasaran tak terhingga dalam asa. Menghentak batin, membentak nalar kritis. Menantang nurani dan mengancam eksistensi diri dalam figura makna generik.
Betapa tidak, pertanyaan hebat Ali itu kian nyata memandu, menarik dan menyita porsi perhatian lebih serius dan menuntut respon segera sekaligus cepat lantaran status kegentingannya yang menyeret bongkahan pertanyaan susulan yang mengemuka dan terus berkembang, lagi dan lagi. Tak sekadar bertubi-tubi bak bunyi rentetan petasan yang seolah tak ada habisnya. Akan tetapi, lebih dari itu, juga memiliki kadar kompleksitas yang bak ancaman "teror" mati menegakkan benang basah.
Bagaimana merespon dampak signifikan dari perang Rusia-Ukraina, yairu ancaman krisis energi, pangan hingga resesi ekonomi? Bagaimana kualitas keadilan (sosial, konimi dan hukum) diwujudkan, sementara kasus korupsi masih terus terjadi dan penegakkan hukumannya belum memberi efek jera kepada atau cenderung memanjakan pelakuknya? Bagaimana mengelola dinamika politik dengan ragam “jajanan” politik menjelang Pemilu 2024? Dan seterusnya, dan seterusnya.
Seperti yang kita tahu, pahami dan alami, bahwa lingkungan kekinian kita, tak pelak lagi, saban hari dalam hitungan sekedip mata via media sosial (daring; youtube, facebook, Twitter, IG, Telegram, blogspot, website, dll.), nyaris tanpa jedah, dibanjiri suguhan “menu” yang menawarkan "panggung-panggung" kontestasi dengan "backdrop" ragam kepentingan dalam semesta kehidupan berbangsa dan bernegara (sosial, budaya, pendidikan, agama, politik, ekonomi, hukum, lingkungan, keamanan, pangan, energi, teknologi, dll).
Sebagai contoh, lihat saja, bagaimana media sosial memotret dengan ragam perspektif dan kepentingan fenomea Citayam Fasion Week (CFW), sosok pelantun lagu Ojo Dibandingke, Farel Prayoga saat perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2022, hingga “Sambo Gate” misalnya. Ketiganya di-cover oleh media sosial dalam multi perspektif, terbuka dan telanjang (terkesan vulgar). Sehingga, tampak betapa jelas bagimana kepentinga-kepentingan bekerja dan bermain-main di altar “panggung-panggung” yang dibuat, direkayasa bahkan. Batas-batas kepentingan sosial, pendidikan, agama, politik, ekonomi dan hukum melebur dan menampakkan sebuah realitas konfisurasi sosial yang begitu kompleks, kronis dan patologis. Tak tanggung, proses diagnosa atau utopsi ketiganya pun butuh pendekatan seklas forensik.
Dalam kasus fenomena Farel misalnya kita dengan mudah dapat mengkases informasi dan membaca fakta bagaimana si anak kelas VI SD itu ditransformasi dari seorang penyanyi cilik kemudian menjadi “menu” politik yang “diburu” para pelakon politik dan partai politik (parpol). Ia tampil polos di “panggung-panggung” kontestasi kepentingan para politisi dan parpol. Bagi Farel, penampilannya selain demi karir, juga cuan. Tapi bagi para politisi dan prapol penampilan Farel adalah “cuan” (digitalisasi atau reproduksi kepentingan).
Dari jutaan "panggung" itu jargon-jargon hingga manifesto digas berseliweran. Dan tak terhindarkan, kita kemudian ikutan terpapar dan akhirnya tampak begitu akrab dengan “virus” kata-kata yang viral semisal hoax, post truth, disrupsi, revolusi industri 4.0, dan masyarakat 5.0, new world order, yang berlari sangat kencang secara simultan dengan “virus” kata-kata yang juga viral seperti ke(tidak)adilan, transpatansi, akuntabiltas, demokrasi, HAM, otonomi desa, reformasi agraria, konflik, kekerasan, populisme beragama, politisasi identitas, diskriminasi, persekusi, tagut, takfir, jihad, khilafah, hijrah, eksklusifisme, konservatisme, fundemantalisme, terorisme, ekstrimisme, inklusivisme, modernisasi, sekularisasi, pluralisme, multikulturalisme dan nusantara.
Serunya, fenomena “virus” yang viral itu secara keseluruhan diartikulasi dengan "tone" yang demikian bebas, "liar" dan cenderung ekstrim, berikut diamplifikasi dengan volume yang resonansinya sangat berdaya menabrak sekaligus melabrak batas-batas kepantasan (kedaulatan) identitas diri: pribadi, komunitas, masyarakat, bangsa, pemerintah dan negara. Dan, seolah tanpa filter dalam mempertimbangan dampak signifikan yang sifatnya pejoratif dan destruktif yang mengancam eksistensi, jati diri dan identitas.
Dari "panggung-panggung" itu kubu-kubuan hadir mendeklarasikan diri dan lelompok masing-masing, memainkan dan menanamkan stigma, mencari simpati dan memborong empati, ciptakan prejudise dan mengembangkan stereotype, berikut meyakinkan claim of truth, calim of salvetion, kepada orang lain yang berbeda secara sepihak. Yang dalam tidak sedikit kasus yang terdata dan terdokumentasi membenarkan bahwa di arena “panggung-panggung” terendus sengatan “bau” kepentingan yang condong dipaksakan secara membabi buta (tidak waras).
“Panggung-panggung” itu secara networking, lingking, sircular dan reguler tiada henti membangun benteng “tirani diri”: Who am I! Who you are! Who we are! Yang secara sengaja, terencana, sistematis dan massif diekspresikan dan diekspos dengan dalih dan dalil atas nama ini dan itu, aku dàn kamu, kami dan meraka. Dan bukan atas nama kita dan kekitaan.
Saya jadi teringat dengan sebuah pendekatan Martin Buber, yaitu I-it ("I and it"). Yang saya terjemahkan dan maknai dalam sebentuk pertanyaan untuk memperoleh gambaran penjelas tentang bagaimana seseorang (subyek) setelah mengalami rentang proses akhirnya punya kemampuan untuk secara baik dan benar memahami, menyadari, membangun, merumuskan, meyakini dan mengembanagkan sebuah cara pandang (epistem, world view, paradigma, postulat) terhadap realitas (obyek).
Tidak gampang memang untuk mempercakapkan sebuah cara pandang karena melibatkan kemacaman aspek kehidupan secara terintegrasi dan sinergis. Hadirnya teori-teori di balik isu integrasi agama dan ilmu pengetahuan yang berujung dengan gagasan tentang pentingnya dirumuskannya kerangka pendekatan dan metodologi dalam pengembangan pembelajaran multisidiplin, interdisiplin dan transdisiplin model Amin Abdullah, atau pengilmuan ajaran Islam versi Kuntowijoyo, atau sekularisasi ala Cak Nur dan pribumisasi Islam khas Gus Dur. Begitu juga dengan isu yang berada di balik UU Omni Buslaw, “pewajahan” Ibu Kota Negara (Nusantara), dan RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), ketiganya jika digeledah secara benar akan didapati keniscayaan misi integrasi dan sinergis itu dalam konteks pembangunan berbangsa dan bernegara. Sekali lagi, tidak gampang memang.
Dari mana kita harus mulai? Pertanyaan ini tidak bisa tidak dijawab sekarang. Sebab jawaban atas pertanyaan itu akan menjelaskan apakah identitas-identitas itu masih bernilai, berhaga, sehingga patut dihormati dan dijunjung setinggi-tingginya. Atau sebaliknya, sungguh identitas-identitas dimaksud tak kurang hanyalah sesuatu yang musprah (absurd) belaka. Sebab, yang tampak hanyalah kuasa-kuasa yang maujud dengan pesona paras pragmatisme, oportunisme, propaganda, agitasi dan oligarki.
"Panggung" kontestasi dengan ragam kepentingan akan terus bertumbuh, meningkat dan berkembang bak jamur di musim penghujan. Dan boleh jadi di antara kita adalah subyeknya, obyeknya atau subyek sekaligus obyeknya. Saya, kamu, kami dan mereka, secara sadar atau tidak dimungkinkan menjadi subyek, obyek atau subyek sekaligus obyek. Ironisnya, di antata saya, kamu, kami dan mereka, kerap mempertontonkan kenikmatan semu dalam ruang oposisi biner, vis avis.
Lantas, dimana dan bagaimana posisi kita? Yaitu, kekitaan kita sebagai diri beridentitas sejati dalam ruang pribadi, komunitas, masyarakat, bangsa dan negara itu. Pertanyaan ini teramat sangat penting diajukan karena kita dan kekitaan adalah elemen bernilai sangat sunstansial, fundamental, urgen sekaligus strategis untuk menjelaskan dan menegaskan sebuah identas sejati. Jawaban penjelas dam penegas tentang kita dam kekitaan dalam konteks ini adalah kebutuhan. Sebab, di arena jutaan “panggung" itulah identitas-identitas kita dan kekitaan dipertaruhkan tanpa kenal "zero sum game".
Sekali lagi, dari mana kita harus mulai? Ajaran agama-agama (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Konghuchu, Bahai, dll) sesungguhnya dengan sangat jelas (eksplisit) telah mengingatkan untuk taat asas menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama (ciptaan) di atas semua represetasi identitas yang kita punya. Ajaran agama juga telah mengajak untuk sedapat mungkin menyadari dan memanfaatkan tiap detik waktu yang tersedia demi mengoptimasi kepentingan fungsional kita sebagai manusia yang bermanfaat itu. Sehingga, kita bisa menjadi manusia yang sungguh benar-benar benar bermanfaat bagi pengukuhan dan peneguhan (identitas) diri: pribadi, komunitas, masyarakat, bangsa, pemerinta dan negara dalam "gendre" sesungguhnya, dalam makna sejatinya.
Pertanyaan Ali di atas, jika disoal lebih dalam, akan menawarkan ruang yang potensial menerbangkan imajinasi -- dalam nalar Benedict Anderson -- dengan bebas, merambah misteri horizon, mencari, merengkuh hikmah dan menyatanya secara praksis dalam formula-formula hidup yang menghidupkan bagi kehidupan semesta bersesama (rahmatan lil alamin). Inilah imajinasi yang saya sebut berhologram -- terma Muhammad Iqbal -- yaitu profetik. Yang saya maknai, bahwa imajinasi punya "daya paksa" kepada siapa saja untuk menjadi sosok yang bermanfaat. Bahwa imajinasi tidal bisa tidak "dibumikan". Dalam kalimat berbeda, menjadi khalifah dengan performance ulul albab berarti memainkan peran dan tabggungjawab "membumikan" atau meruang dan mewaktulan imajinasi. Pendeknya, dari imajinasi tata keadaban dan peradaban menemukan probabilitasnya, manusia dan kemanusiaan mendapat takaran nilai harkat dan martabatnya.
Dalam konteks itu, imajinasi tentang Indonesia sebagai negara-bangsa dengan khazanah pluralitas sekaligus multikulturalitas sosial yang dipunyai sepàtutnya dapat diterjemahkan, dimaknai dan "dibumikan" demi menciptakan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam semesta ruang hidup dan kehidupannya, secara hikmat kebijaksanaan.
Kutipan surat dari ayat al-Quran di atas menegaska betapa pentingnya bangsa Indonesia untuk merumuskan peta jalan (road map) yang jelas, visible, terukur, bertarget dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual. Sebuah peta jalan yang berbasis keyakinan berbangsa dan bernagara yang kuat, bertabur kerja-kerja kebaikan untuk pemenuhan hak dan menyadari bahwa kesabaran adalah kunci perjuangan mewujudkan pesan baldatun thayyibatu marabun ghafur, yang mungkin oleh Soekarno diformulasi dalam jargon sinergis Trisakti sebagai negara-bangsa Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara berbudaya.
Bangsa Indonesia dalam kurun waktu 23 tahun ke depan akan merayakan capaian usia satu abad bernegara, usia emas (The Goldeg Age), pada 17 Agustus 2045. Tentu, sebagai bangsa yang besar, mimpi dan optimisme untuk menjadi bangsa dan negara yang dihargai, dihormati, diperhitungkan dan dibanggakan pada usia itu adalah kebutuhan. Tinggal, bagaimana kebutuhan itu secara terbuka diterjemahkan kedalam sebuah peta jalan yang jelas, visible, terukur, targeted dan dapat dipertanggungjawabkan.
--------------------------------------
Penulis: Zainal Arifin Sandia (Kee Enal) adalah pegita Yayasan Sombar Negeri Maluku (YSNM), volunteer ARMC IAIN Ambon Bidang Advokasi dan Penelitian dan pendiri The Core of Palaapa (The Copa) Tulehu.
No comments:
Post a Comment