Rekayasa Momentum Damai
(Refleksi Hari Perdamaian Sedunia, 21 September 2022)
Itu sebab, jika ada orang yang menampakkan tanda-tanda pada pola pikir, sikap dan tindakan yang condong kontra produktif dengan kebutuhan pemenuhan akan rasa-rasa dimaksud, maka dapat diduga bahwa orang tersebut sedang dalam kondisi tidak wajar. Patut dicurigai, dihawatirkan dan memprihatinkan. Boleh jadi, yang bersangkutan sedang mengalami apa yang dalam khazanah psikososial disebut dengan disorientasi, deprivasi raltif atau disosiatif.
Secara defenitif, disorientasi adalah perubahan kondisi mental yang membuat seseorang bingung dengan lokasinya berada, identitas dirinya, maupun waktu dalam situasi tersebut. Deprivasi relatif adalah Deprivasi relatif adalah suatu kondisi yang dirasakan oleh seseorang dimana ada kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Sementara, disosiatif adalah salah satu jenis penyakit mental yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian hubungan antara pikiran, ingatan, lingkungan, tindakan, dan identitas diri.
Rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai, bukalah aneka cita rasa yang terbosai pada ruang “bilik-bilik” bersekat dinding tebal dan kokoh. Rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai, juga bukan bongkahan ragam cita “menu” yang dapat dideskpresikan atau diartikulasi sesuka selera. Akan tetapi, rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai adalah sebuah sinergi cita rasa yang meruang bebas tanpa sekat sekaligus terbebas dari selera suka-suka. Ada fatsunnya.
Artinya apa? Pada sejatinya, di dalam rasa aman ada rasa nyama dan rasa damai; di dalam rasa nyaman ada rasa damai dan rasa aman; dan di dalam rasa damai ada rasa aman dan rasa nyaman. Dalam kaliman lain, tidak ada rasa aman tanpa rasa nyaman dan rasa damai; tidak ada rasa nyaman tanpa rasa damai dan rasa aman; dan tidak ada rada damai tanpa rasa aman dan rasa nyaman. Jika tidak demikian, maka sesungguhnya rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai yang terekspresi atau terartikulasi tak kurang hanyalah sesuatu yang semu (pseudo) atau (absurd) belaka.
Seseorang dalam suasana batin yang sarat rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai, ia akan menemukan dirinya berada dalam pesona kepribadian (hallmark of personality) yang bertabur kebaikan-kebaikan, berkat dan hikmah. Ia akan menjadi pribadi yang memiliki ketulusan jiwa, ketenang dalam berpikir, bersikap dan bertindak, dapat menjaga stabilitas emosi (tebar aura dan energi positif), tidak gampang stress, open minded, bijaksana, menghargai dan menghormati perbedaan, dan mampu mengelola (potensi, sumber dan dinamika) konflik dengan benar.
Itulah mengapa sehingga pemenuhan kebutuhan rasa aman, rasa nyama dan rasa damai selamanya akan jadi kehendak “perburuan” tiap orang di belahan dunia mana pun. Itulah mengapa, penenuhan kebutuhan rasa-rasa ini selalu diperjuangkan, dipertahankan, dan dijunjung tinggi-tinggi oleh siapa pun, di mana pun dan sampai kapan pun. Oleh karena hanya dengan dipenuhinya kebutuhan rasa aman, rasa nyama dan rasa damai, maka semesta hidup dan kehidupan umat manusia (sosial, budaya, agama, pendidikan, politik, ekonomi, hukum, lingkungan, dan seterusnya) akan bekerja dan berjalan on track, berkeseimbangan, berkeadilan dan berkelanjutan.
Dalam cara pandang demikian, tulisan ini akan menggandeng Abraham Maslow (1908-1970), pelopor psikologi humanistik, yang populer dengan teori hirarki atau piramida kebutuhan manusia, sebagai pendekataan dalam pembacaan keniscayaan kehendak pemenuhan kebutuhan rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai secara berkelanjutan di Maluku.
Maslow menangkap manusia sebagai sosok utuh dengan kebutuhan berjenjang (hierarchy of need) atau kerapa disebut dengan piramida kebutuhan (pyramid of needs). Pada awalanya, Maslow merumuskan teori lima jenjang kebutuhan manusia, yaitu: kebutuhan tubuh (physiological needs), kebutuhan keamanan (safety needs), kebutuhan kepemilikan dan cinta (the belongings and love) (, kebutuhan dihargai (the esteem needs), dan kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs).
Tidak berhenti pada jenjang ke-5, Maslow kemudian menambahkan lagi kebutuhan-kebutuhan lain, yaitu kebutuhan pengetahuan (cognitive needs) dan kebutuhan keindahan (aesthetic needs), sebelum pada jelang akhir hayatnya, ia kemudian menambahkan lagi satu kebutuhan, kebutuhan terakhir, puncak dan tertinggi, yaitu kebutuhan transendensi diri (self-trancendental needs). Menurut Maslow, “self-transcendence brings the individual what he termed “peak experiences” in which they transcend their own personal concerns and see from a higher perspective. These experiences often bring strong positive emotions like joy, peace, and a well-developed sense of awareness”. Terjemahan bebasnya: transendensi diri akan akan membawa seseorang menikmati pengalaman-pengalaman puncak berikut membuatnya memiliki cara pandang yang lebih menyeluruh. Pengalaman demikian akan menghadirkan atau menyebarkan emosi positif yang kuat seperti kesadaran, kebahagiaan, dan damai.
Pengembangan dan perubahan teori kebutuhan berjenjang Maslow itu secara otomatis merombak konfigurasi penjenjangan kebutuhan manusia yang dirumuskannya. Tidak saja pada jumlah tahapan penjenjangan, yaitu dari lima menjadi delapan, akan tetapi juga pada urutan penjenjangannya. Pada penjenjangan pertama uurutannya adalah (1) kebutuhan tubuh, (2) kebutuhan keamanan, (3) kebutuhan kepemilikan dan cinta, (4) kebutuhan dihargai, dan (5) kebutuhan aktualisasi diri. Maka, pada penjejangan pasca pengembangan dan perubahan adalah: (1) kebutuhan tubuh, (2) kebutuhan keamanan, (3) kebutuhan kepemilikan atau harta dan cinta, (4) kebutuhan dihargai, (5) kebutuhan pengetahuan, (6) kebutuhan keindahan, (7) kebutuhan aktualisasi diri, dan (8) transendensi diri.
Perubahan, penambahan, dan pengembangan terori kebutuhan Maslow tersebut sesungguhnya sesuatu yang wajar an sich. Kenyataan ini cukup dimengerti dan dipahami sebagai konsekuensi dari respon Maslow atas realitas dinamika lingkungannya (wacana, diskursus) yang bertumbuh dan berkembang pesat. Perjumpaannya dengan pemikiran filsafat (Plato dan Spinoa, dst.), behaviorisme (JB. Watson), antropologi (Ruth Bendict) dan psikologi (Max Whairthemer) sangant berkontribusi terhadap pengembangan teori kebutuha yang dibidaninya. Kata Maslow, tulis Frank G. Goble dalam The Third Force: The Psychology of Abraham Maslow (1970), “manusia adalah mahluk yang terintegrasi secara penuh. Ia punya potensi untuk meraih tingkat tertinggi (transendensi). Ia dapat berkembang mencari batas kreatifitasnya menuju pencapaian tertinggi dari kesadaran dan kebijaksanaan”.
Apa yang bisa dipelajari dan disadari dari “warisa” Maslow soal kebutuhan manusia adalah bahwa manusia membutuhkan rasa aman untuk memenuhi kebutuhan fisik, keamanan, kepemilikan (harta), dan aktualisasi diri; bahwa manusia membutuhkan rasa nyaman untuk memenuhi kebutuhan memiliki pengetahuan, keinahan dan dihargai; dan bahwa manusia membutuhkan rasa damai untuk memenuhi kebtuhan cinta dan transendensi (spiritualitas).
Dalam perspektif itu, saya berpikiran bahwa hari ini Maluku membutuhkan sebuah imajinasi -- ala Benedict Anderson: Imagined Community – yang dibangun lewat proses “pembatinan”, pendalaman kesadaran dan penjaman imajinasi atas realitas obyektif sejarah dan tragedi-tragedi sebagai pembelajaran (lesson learned) dan modal sosial (sacial capital) untuk membangun sejarah masa depan Maluku (The Tomorrow’s History of Maluku), yang memberikan rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai secara berkelanjutan.
Maluku memiliki pengelaman konflik destruktif berikut pergumulan konstruktif pasca konflik yang mengonfirmasi dan menjustifikasi: pertama, bagimana sebuah realitas hidup dan kehidupan dijalani dalam suasana penuh kegamangan akan rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai; kedua, betapa sungguh benar-benar benar rasa aman, rasa nyaman, dan rasa damai menjadi sesuatu yang demikian tak ternilai harganya; dan ketiga, bahwa rasa aman, rasa nyaman, dana rasa damai adalah kebutuhan dasar sehingga tidak bisa tidak dijamin, dijaga dan dilindungi.
Persoalannya kemudian adalah sejauh mama pengalaman destruktif dan konstruktif itu ditafsir kemudian menemukan ruang proporsional yang memungkinkan rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai dapat dijamin, dilindungi, dihormati, dihargai, dan dinikmati secara berkelanjutan? Pertanyaan ini penting diajukan dan mendapatkan jawaban yang benar karena dari situ harapan dan optimisme untuk terpenuhinya kebutuhan rasa aman, rasa nyaman, dan damai memungkinkan terwujud.
Dalam konteks itulah, menurut saya, setidaknya ada tiga concer yang mesti menjadi perhatian serius stakeholders pembangunan perdamaian di Maluku. Pertama, menerjemahkan pengalaman konflik destruktif dan pergumulan konstruktif pasca konflik ke dalam agenda-agenda strategis daerah seperti: membuat kebijakan publik (public policy), Peta Jalan (Road Map) dan Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk pembangunan perdamaian berkelanjutan. Kedua, melakukan monitoring dan evaluasi (monev) atas kerja-kerja implementasi agenda-agenda pembangunan perdamaian berkelanjutan secara reguler, terukur dan presisi. Dan ketiga, melakukan rekayasa momentum damai sebagai ruang “pembatinan”, pendalaman kesadaran dan penajaman imajinasi bagi masyarakat Maluku untuk berfeklesi tentang keindahan hidup dan kenikmatan kehidupan di bawah “sombar” rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai.
Rekayasa momentum damai yang saya maksud adalah usaha sengaja yang didesain secara sadar, terencana, sistematis, masif dan reguler untuk menghadirkan ruang proporsional yang memungkinkan seseorang (individu) atau sekelompok orang (komunitas atau masyarakat) dapat “bercermin diri” dan “berdandan diri”, untuk “menakar diri” dan “mengakari diri”, apakah rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai itu sudah “membumi”, bekerja dan dinikmati sebagai realitas integral dari hidup dan kehidupan keseharian masyarakat di Maluku.
Ruang proporsional dimaksud dapat dioptimasi dengan memanfaatkan momen sejarah yang menjadi momentum penting dan strategis dalam proses perdamaian di Maluku. Misal, momentum Penantanganan Piagam Perjanjian Malino pada tanggal 13 Pebruari 2002 atau momentum peresmian Gong Perdamaian Dunia (World Peace Gong) di Maluku pada 25 Nopember 2009. Jadi, yang terbayang nyata adalah bahwa saban tahun segenap komponen masyarakat Maluku secara pro aktif dan partisipasi aktif akan melakukan serangkaian kegiatan bertema perdamaian, yang diharapkan menjadi momentum bagi masyarakat Maluku untuk “membatinkan”, mendalami kesadaran dan berimajinasi tentang Maluku yang diberkati rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai.
-----------------------------------------
Penulis : Zainal Arifin Sandia (Kee Enal) adalah pegiat Yayasan Sombar Negeri Malauku (YSNM), relawan ARMC IAIN Ambon bidang Penelitian dan Advokasi, dan inisiator The Core of Palaapa (The CoPa) Tulehu.
No comments:
Post a Comment