Saturday, October 8, 2022

MAULID: ARENA PUBLIK SIMBOLIK

Maulid: Arena Publik Simbolik

(Membaca Fenomena Kultural Keberagamaan)

 

Perayaan momen Hari Lahir Nabi Muhammad Saw, tahun ini berdasarkan penanggalan Masehi, jatuh pada tanggal 8 Oktober 2022. Momen ini dalam khazanah pemikiran umat Islam dikenal dengan "Maulid Nabi".

Dalam rangka perayaan momen historis itu, saya mencoba untuk berselancar di dunia maya guna mengeksplorasi ragam cara pandang dan ekspresi tentang "Maulid Nabi". Tentu dengan penuh harap bahwa saya nanti akan punya pengetahuan, pemahaman, referensi yang relatif memadai, dan memiliki kesadaran (baru) yang dipataskan karena menghikmai perayaan momen "Maulid Nabi".

Dan, yang saya dapati setelah hampi tiga jam berselancur adalah bahwa kajian (akademik) terhadap momen "Maulid Nabi" belumlah mendapat perhatian cukup serius, terutama secara historis, nyaris tak terjamah. Jika pun ada maka data-data yang dijumpai umumnya dipulikasi oleh sumber-sumber berita online.

Tapi, saya kemudian dapatkan informasi bernilai yang memperkaya pengetahuan dan referensi terkait ragam perayaan momen "Maulid Nabi" di banyak daerah di Indonesia. Otomatis, langsung saja saya dokmentasikan. Bagi saya, pendokumentasian ini sangat penting dan sungguh teramat sangat berharga. Setidaknya, lewat pembacaan dokumentatif terhadap ragam ekspresi umat Islam di banyak tempat di Indonesia dalam merayakan momen "Maulid Nabi", dapat menjelaskan bagimana kecintaan umat Islam Indonesia kepada Nabi Muhammad Saw dibangun atas dasar cara pandang relasi, integrasi, dan sinergi antara nilai-nilai universalitas (berbudaya dalam beragama; keislaman) dengan nilai-nilai lokalitas (beragama dalam berbudaya; keindonesiaan) yang demikian kaya; plural sekaligus multikultural.

Beberapa yang sudah terdokumentasi adalah "Maudu' Lompoa" (Cikoang, Takalar, Sulawesi Selatan); "Walima" (Gorontalo); "Munit" (Sumbawa, NTB); "Muludhen (Madura); "Festival Endhong-endhongan" (Banyuwangi, Jawa Timur); "Grebeg Maulud" (Glagah, Lamongan, Jawa Timur); "Ampyang" (Loram Kulon, Kudus, Jawa Tengah); "Saketan" (Yogyakarta); "Panjat Jimat" (di Cirebon); "Ngalungsur Pusaka" (Garut, Jawa Barat); dan "Bungo Lado" (Padang Pariaman, Sumatera Barat).

Agaknya, data-data dokumentatif di atas belumlah seberapa. Saya sangat yakin, di masih banyak daerah lain di Indonesia juga punya tradisi perayaan momen "Maulid Nabi" yang berbeda dan khas. Khazanah tradisi beragama dan berbudaya ini patut dirawat, dilestarikan, dan terus dikembangkan. Khazanah tradisi ini tidak bisa tidak terus diwariskan secara regeneratif.

Ke arah itu, menurut saya, stakeholders dan komponen strategsi yang bergaweh secara signifikan dengan kebutuhan proses pewarisan khazanah tradisi ini dituntut untuk pro aktif, berpartisipasi aktif, dan berkontribusi nyata, secara proporsional dan bertanggungjawab.

Akhirnya, bagi saya, ruang perayaan momen "Maulid Nabi" sederhananya adalah sebuah arena publik simbolik penjelas bekerjanya kekuatan cinta kepada Nabi Saw sebagai figur teladan (uswatun hasana; wainnaka la'ala khuluqin 'adzim).

Selamat merayakan momen "Maulid Nabi" 2022, semoga kita bisa menjadi sosok teladan yang dipantaskan untuk diteladani (menjadi teladan untuk diteladani).

Sebentar, ingatan saya memberi kode penting. Seturut itu, pandangan saya menyisir deretan buku yang "terparkir" pada rak persis di depan posisi duduk saya, di meja kerja. "Ya, bukunya Yuval Noah Harari', yakin ingatan ku. Buku yang sudah saya baca dan sungguh menikmati pikiran-pikiran yang tersaji terkhusus di Bagian III (11) tentang "Agama Data". Judul bukunya: Homo Deus Masa Depan Umat Manusia (versi terjemahan, 2019).

Harari menulis, bahwa salah satu dari tiga proses yang saling terkait dan membayangi perkembangan kehidupan umat manusia adalah "kecerdasan sedang berpisah dari kesadaran". "Apa yang lebih berharga - kecerdasan atau kesadaran"? (h. 456-567).

Pertanyaan di atas tampak jelas sangat serius dan karenanya penting sekali diberikan jawaban responsif. Pertanyaannya, meski tanpak sederhana, tapi sekaligus sungguh berat. Apatah lagi, persoalannya kemudian adalah baik kecerdasan maupun kesadaran keduanya diperlukan untuk membangun keadaban (kualitas hidup) sekaligus peradaban (kualitas kehidupan). Jadi, tidaklah enteng untuk menjawab dan atau meresponnnya. Hingga, pertanyaan ini perlu dipertanyakan (lagi). Kenapa Harari mengajukan pertanyaannya seperti itu? Di sinilah "starting point" untuk memulai menjawab dan atau respon pertanyaan Harari. Sebab, saya setuju dengan Socrates (399 SM, w), filosof Yunani, yang mengatakan bahwa dengan mengajukan pertanyaan yang benar berarti sudah ditemukan separuh dari jawabannya.

Ok, saya percaya, tiap orang akan punya jawaban responsif atas pertanyaan Harari. Ada ruang terbuka dan potensi potensi kebermacaman di sana. Dan, itu semua patut dihargai dan dihormati. Bukankah perbedaan itu indah, rahmat (hadits: ikhtilaf fi ummati rahmat).

Dalam perspektif semacam itu, menurut saya, persoalannya bukan pada keperluan kita untuk memilih menentukan status skala prioritas antara kecerdasan dan kesadaran, akan tetapi pada bagaimana mengelola keduanya secara berkualitas.

Itu sebab, menurut saya, pertanyaan Harari menjadi sangat relevan dengan kebutuhan merayakan momen "Maulid Nabi" yang menawarkan kesadaran (cinta semesta; rahmatan lil'alamin) sebagai kekuatan mengelola kecerdasan (paradigma peradaban, atau episteme dalam nalar Foucault).

Maksud saya, sejatinya, perayaan momen "Maulid Nabi" dapat dioptimasi untuk kesempatan "bercermin" untuk sebuah penampilan yang sungguh benar-benar benar mempesona, menarik dan ternikmati; mengatur "kaca spion" kendaraan secara pas agar lebih awas, terhindar dari kecelakaan, tidak merusak kepemilikan dan apalagi sampai mencederai orang lain.

Artinya apa? Saya benar-benar sulit membayangkan apa kesan yang bakal mengemukan jika seseorang mengekspresikan cara pandang beragamanya tanpa memperhatikan atau tak peduli untuk mengganti "cermin" dan "kaca spion" kendaraannya yang retak.

 

--------------------------------------

Penulis, Zainal Arifin Sandia (Kee Enal) adalag pegiat Yayasan Sombar Negeri Maluku (YSNM), relawan ARMC IAIN Ambon dan pendiri The Core of Palaapa (The CoPa) Tulehu. Tulisan adalah pengembangan dari positingan di FB pada tanggal 09 Oktober 2022, dengan judul yang sama.

 

Tuesday, October 4, 2022

MAKNA SEJATI KONFLIK

MAKNA SEJATI KONFLIK

(Jalan Merawat Sebuah Cara Pandang)

 

Ngopi pagi (tanpa gula) hari ini agak spesial. Sebabnya, di samping "harus" tunaikan "ritual" tradisi saban pagi, saya juga, secara moral, dituntut untuk menyiapkan beberapa hal penting untuk sebuah hajatan sangat strategis. Berbagi pengetahuan dan pengalaman bertema konflik dengan beberapa "pewaris" masa depan Maluku, Indonesia.

Yayasan Sombar Negeri Maluku (YSNM) bekerjasama dengan Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) UGM akan menggelar kegiatan Pelatihan Resolusi Konflik di Ambon. Kegiatan ini akan dikuti oleh 24 orang mahasiswa/mahasiswi dan beberapa Perguruan Tinggi (PT) di Kota Ambon.

Bagi saya pribadi, tema konflik selalu menarik dan penting dipercakapkan. Betapa tidak, secara normatif-teologis, misalnya, tema konflik diidentifikasi senbagai salah satu dari tema "drama" kehidupan umat manusia yang peling tertua (sedari manusia pertama) dan abadi (hingga manusia sekarang). Di sinilah, status menariknya isu konflik.

Well, untuk kepentingan kerjasama itulah, saya mendadak terpapar virus "sakau" untuk memeriksa rak buku di "ruang tempur", memilah berikut memilih beberapa buah, dan membacanya secara cepat. Saya butuh aksi "refresh" literatur, sentuhan khazanah akademik atau mengonfirmasi sejauhmana relasi teks (literatur) dan konteks (perubahan) wacana konflik dalam dinamika problematika kehidupan umat manusia berikut kekinian kopleksitasnya, terkhusus di Indonesia.

Dengan sebutan berbeda, boleh dibilang, kerjasama ini, menjadi momentum untuk menemukan dan mereformulasi "titik singgung" antara teks (literatur) dan konteks (perubahan di Maluku) seputar wacana potensi konflik sebagai langkah strategis untuk pengembangan cara pandang yang menjamin keberlangsungan sebuah iklim tata kehidupan berbudaya, beragama, berbangsa dan bernegara yang terintegrasi sebagai sebuah sinergi keindonesiaan.

Kembali menjamah bacaan lama seputar konflik, mengingatkan saya pada begitu banyak rangkaian kegiatan, aksi dan refleksi tentang tentang realitas kehidupan (pengelolaan dan tranformasi konflik, pembangunan perdamaian berkelanjutan, dll.) yang secara terbuka mengantar saya pada penentuan pilihan-pilihan pembentukan dan pengembangan diri. Terlalu banyak untuk dikenang. Dan saya yakin, masing-masing orang, terutama di Maluku, sedikit banyak pasti punya ingatan dan kenangan tersendiri, spesial dan unforgetable soal konflik dan perdamaian.

Tentu saja, dalam konteks ini, konflik yang saya maksud adalah dalam makna generiknya. Ini penting "distabilo" sebab kerap dijumpan pandangan yang dengan rada "genit" melakukan simplifikasi kemudian beraksi main "pukul rata" dalam memaknai terma konflik. Tak pelak, konflik dilihatnya seolah hanya identik dengan dan atau terpastikan sebagai sebuah fenomena sosial yang hanya mempertontonkan "wajah" kerusuhan dan atau kekerasan an scih. Padahal, pada sejatinya, konflik adalah sesuatu yang normal, wajar atau manusiawi, dan perlu pengelolaan secara baik dan benar, agar membawa nilai positif, produktif, inovatif dan konstruktif secara berkenlanjutan.

Dalam konteks itulah, menururt saya, penting sekali untuk memahami apa sebenarnya konflik itu, agar tidak sampai meninmbulkan pemahaman yang cenderung bias atau mengganggu. seturut itu, setidaknya ada dua pemikir yang pendangan mereka relatif cukup representatif untuk menjelaskan terma konflik, yaitu Dukes dan Coser. 

Franklin Dukes,  memandang konflik dalam masyarakat demokratis sebagai basis untuk perubahan sosial (social change). Seturut itu, Lowis Coser melihat konflik sebagai realitas dapat memberikan atau menunjukkan adanya "a dynamic change" dalam masyarakat. Artinya apa? Pada prinsipnya, konflik adalah sesuatu yang netral dan dibuthkan. Sebab, dari konfliklah sebuah dinamika dan perubahan sosial terjadi. Dengan kalimat lain, tanpa konflik sebuah dinamika dan perubahan sosial tidak akan pernah terjadi, atau stagnan.

Jadi teranglah bahwa konflik adalah sesuatu yang normal, wajar atau manusiawi dalam hidup dan kehidupan sehari-hari manusia. Konflik pada prinsipnya adalah netral dan dibutuhkan. Tinggal, yang penting dioptimasi adalah bagaimana agar konflik tersebut dapat dikelola secara baik dan benar sehingga berdaya fungsional dalam me(re)produksi nilai posisitf, produktif, inovatif dan konstruktif secara berkelanjutan.

Dalam pada itu, saya menilai sangat penting untuk merenungkan dalam-dalam sebuah petuah bernas dari John Galtung. "Ketiadaan kekerasan (absence of violence) tidak harus dikaburkan dengan tidak adanya konflik, kekerasan dapat terjadi tanpa konflik", pesan Galtung.

Memahami konflik hari ini menjadi sebuah kapasitas dan kompetensi yang sangat dibutuhkan untuk membaca relitas dinamika sosial secara kritis, produktif, inovatif dan konstruktif. Cara pandang seperti ini akan sangat berguna dan membantu untuk membaca berikut merespon secara proporsional persoalan seperti hoax, post-truth, Islam Transnasional, polulisme beragama, dan kekerasan ekstrimisme, sebagai ancaman bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (NKRI), yang dalam beberapa tahun teramat sangat nyata dan serius.

Pada saat yang bersamaan, cara pandang ini juga akan sangat bermanfaat untuk membaca secara proporsional dan responsif terhadap usaha-usaha penguatan kesadaran atas realitas sosiologis bangsa Indonesia yang plural sekaligus multikultural, sebagai modal strategis untuk merawat, majaga dan melestarikan keindonesiaa, kebangsaan, kenegaraan (NKRI).

Dalam perspektif itu, menurut saya, wacana seperti pribuminasi Islam, Islam Nusantara, Islam Mazhab Ambon (Maluku), dan moderasi beragama misalnya, tidak bisa tidak untuk didesiminasi, didakwahkan. atau dikhutbahkan di mimbar-mimbar atau ruang-ruang publik. Dan untuk kerja ini, dibutuhkan langkah-langkah terkoordiasi, konkrit, terukur dan targeted. Stakeholders dan atau komponen yang menaruh "Harga Mati" pada Indonesia, dalam soal ini, dituntut untuk dapat pro-aktif, berpartisipasi aktif dan berkontribusi nyata, dalam merumuskan dan mengeksekusi langkah-langkah itu secara proporsional dan bertanggungjawab.

Sebagai umat beragama, kita kerap diingatkan dengan "nada" bervolume kencang dalam urusan ekspresi keberagamaan kita. Bahkan, cara berekspresi itu diperkarakan buntut implekasinya. Boleh dikata, ini semacam kode keras atas cara pandang kita dalam beragama, bagaimana kita mengekpresikan dan mengartikulasikan cara padang itu dalam beragama, yang menurut para kritikus dinilai problematis, kompleks dan kontra produktif dengan misi suci (the secret mission) dari ajaran agama itu sendiri, yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadaban atau kemanusiaan universal.

Sydney Hook, sebagai misal, pernah bertanya: "Kalau agama itu memang benar namun tidak mamapu mempengaruhi pera pemeluknya, lalu bagaimana membuktikan kebenaran agama itu? Dan apa gunanya agama yang benar namun tidak mempengaruhi watak pemeluknya? Malah agak lebih eksrim, A. N. Wilson, seorang wartawan dan novelis, mengajak umat beragama untuk mencoba hidup tanpa agama, seperti yang jadi judul bukunya: Againts Religion: Why We Should Try to Live Without It (Melawan Agama: Mengapa Kita Harus Mencoba Hidup Tanpanya).

Di dalam buku itu, Wilson menulis: "Marx described it as the opium oh the people; but it is much deadlier then opium. It does not send people to sleep. It excites them to presecute one another, to exalt their own feeling and opinions above those of others, to claim for themselves a possition of the truth”. Artinya, kurang lebih, "Marx menggambarkan agama sebagai candu, tetapi agama jauh lebih berbahaya daripada candu. Agama tidak membuat orang tidur, agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka atas perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bagi diri mereka sendiri pemilik kebenaran”.

Fakta-fakta yang tersaksikan, memang seolah, mengonfirmasi kebenaraan kritik Hook dan Wilson. Padahal, secara kritis, pendapat keduanya masih sangat terbuka untuk diperdebatkan. Sebutlah, penting untuk membedakan agama dan penganut agama; ajaran agama dan cara pandang beragama; Islam dan islamisme, sebagaimana dijelaskan Abdul Karim Soroush dan Bassam Tibi.

Akhirnya, saya hendak menyudahi wacana konflik ini dengan mengutip pendapat sangat menarik dari Marc Gopin, sebagai berikut: "agama memainkan peranan penting dalam kehidupan dan sikap sosial yang paling inti dari manusia, ... tetapi agama, sebagai sebuah ekspresi komitmen iman terhadap perdamaian adalah sebuah fenomena yang kompleks. Sementara sebagian umat secara kreatif mengintegrasikan tradisi spiritual mereka dengan usaha perdamaian, ada banyak yang lain justru berusaha melakukan tindakan kekerasan seperti yang dihadapi oleh komunitas global saat ini".

Gopin hendak mengajak umat manusia agar jangan menutup mata dari persoalan kekerasan (cara pandang) dengan segala kepentingan (politik ekonomi), berikut konflik sebagai dampak ikutan langsungnya (perang saudara, korban jiwa dan kemiskinan), yang sedang terjadi dan dihadapi oleh komunitas global. Seperti yang terjadi di Afrika (Ethiopia, Mozambik, Somalia, Sudan, dan Nigeria), Timur Tengah (Paletina-Israel, Suria) dan juga Eropa (Rusia-Ukraina, krisis enegri, pangan dan anacaman resesi ekonomi dunia 2023).

Tindakan-tindakan kekerasan itu mesti dapat dihentikan. Dan komitmen perdamaian yang berbasis pada spiritualitas ajaran agama dapat dijadikan modal untuk melakukannya. Artinya, sepanjang manusia itu beragama, maka selalu akan ada ruang untuk menegaskan sikap sosial komitmen pada perdamaian dan melawan segala bentuk tindakan kekerasan.

Memahami konflik, berikut mengelolanya secara baik dan benar, sangat ditentukan oleh sebuah cara pandang yang dipakai dalam membaca realitas konflik. Jika cara pandang yang dipakai baik dan benar maka proses pembacaan dan hasilnya akan baik dan benar pula. Demikian sebaliknya. Itu sebab, pemaknaan yang baik dan benar terhadap konflik akan sangat berpengaruh dan menentukan pilihan sebuah cara pandang dalam membaca konflik. Dan, ajaran agama-agama sesungguhnya menyediakan ruang untuk mengembangkan cara pandang yang baik dan benar itu. Persoalannya kemudian adalah apakah umat beragama sungguh-sungguh mengoptimasi ruang itu? Di sinilah duduk perkaranya.

 --------------------------------------

Penulis: Zainal Arifin Sandia (Kee Enal) adalah pegiat Yayasan Sombar Negeri Maluku (YSNM), relawan pada ARMC IAIN Ambon dan pendiri The Core of Palaapa (The CoPa) Tulehu. Tulisan ini merupakan pengembangan dari postingan di FB pada tanggal 05 Oktober 2022 dengan judul Makna Sejati Konflik.

Saturday, October 1, 2022

"IQBAL" ALA INDONESIA

 

“IQBAL” ALA INDONESIA

(Renungan Menuju Ijtihad Konstitusional)

 

 As usual, jalani "ritual" pagi. Ngopi  (tanpa gula). Kali ini ditemani sebuah buku, lagi dan lagi, jadoel. Terbit tahun 1994. Judulnya: Rekonstruksi Pemikiran Islam Studi Tentang Kontribusi Gagasan Iqbal Dalam Pembaharuan Hukum Islam.

Walau jadoel, tapi kualitasnya abadi. Hahahahahahaha.... Kalau baca buku ini, bisa jadi "pemberontak", dalam makma positif; kerja-kerja responsif terhadap realitas sosial yang bergerak dinamis, mendorong usaha-usaha pembaharuan sebagai keniscayaan, dan menciptakan  kemajuan-kemajuan progresif dan kontekstual.

Dalam konteks itu, Iqbal memandang ijtihad sebagai kunci sekaligus jalannya. Ijtihad, jelas Iqbal, adalah "exert with a view to form an independent judjment on legal question". Artinya: ijtihad adalah bersungguh-sungguh dalam merumuskan suatu keputusan yang independen untuk menjawab permasalahan hukum". Iqbal mendasar pada QS. al-Ankabut:69: "orang-orang yang berusaha secara sungguh-sungguh di jalan Kami (Allah), pasti Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami", (h. 83).

Menariknya, Iqbal tidak langsung "full stop" pada kebutuhan kerja-kerja ijtihad an sich. Dia kemudian menapak ke depan berikut mengusulkan dibentuk sebuah lembaga ijma'. Yang tidak saja diisi oleh pakar hukum Islam (ulama dalam makna terbatas), tapi juga oleh "orang awam" yang meski tidak paham hukum Islam, tapi punya ketajamam dalam melihat permasalahan masyarakat; sosial, politik, ekonomi, budaya, kedokteran, dll., (h. 87). Usulan itu tidak hampa kritik. Rosenthal dan H.A.R. Gibb contohnya, (h. 91).

Menurut Iqbal, cara kerja ijtihad yang sifatnya personal (independen) harus ditransformasi menjadi cara kerja ijma', yaitu ijtihad kolektif. Lebih jauh, basis ruang kerja ijma' adalah kontekstualitas wilayah. Sebab, masing-masing wilayah punya problem beragam, dan karena itu repon hukumnya (ijtihad) tidak bisa tidak kontekstual, (h. 89). Yang itu berarti hasil responnya bakal beragam.

Dan, di Indonesia, lembaga seperti atau mirip lembaga jima’ ala Iqbal sudah bertumbuh dan berkembang di Indonesia. Misal, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki forum bahstu al-masail; Muhammadiyah punya manhaj tarjih; dan di Majilis Ulama Indonesia (MUI) ada Komisi Fatwa. Masih banyak organisasi sosial Islam di Indonesia yang juga memiliki ruang otoritatif untuk melakukan ijtihad.

Hal lain yang jadi perhatian saya ala "ngelantur" terhadap buku ini adalah pada judulnya. Pemikir yang ditulis adalah Iqbal, eh... si penulisnya juga Iqbal. Jadilah Iqbal menulis Iqbal. Saya baper dan curiga berat: jangan-jangan (?), jangan-jangan (?). Hahahahaha..... Boleh jadi nih ya, si penulis buku ini adah pengagum berat dari sosok yang ditulisnya. Setuju gak? Tidak setuju juga boleh. Bebas paksaan kok.   

Jadi ingat saat di Yogyakarta. Saya membaca berita di sebuah koran (maaf,  lupa namanya) yang isinya tentang satu komunitas kumpulan orang-orang yang punya kesamaan nama (persis) atau kemiripan nama (karena ada tambahan yang berbeda. Misal, Zainal Arifin dan Zainal Abidin; Muliana dan Muliana Girsang; Andi Lighad dan Andi Lau).

Prinsip komunitasnya adalah berbagi, saling bantu satu sama lain. Karena profesi mereka beragam, kalo ada transaksi di antara mereka (sesama anggota komunitas) bisa dapat diskon. Lumayan khan? Seru pokoknya. "Andai bisa digalang komunitasnya hingga ke level nasional atau international. Bisa jadi apa tuh?" Saya membatin, kala itu.

Tertarik untuk membut organisasi dengan basis komunitas seperti itu? Silahlahkan! Tidak ada yang larang. Bahkan, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara dijamin dan dilindung kok sebagai salah satu hak kontitusional. UUD 1945 Pasal 28E Ayat 3 dengan jelas menyebut: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Seturut itu, di dalam UU Nomor 33 Tahun 1999 Pasal 15 tertulis bahwa: “Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”. Lebih jaun dalam pertimbangan UU Nomor 17 Tahun 2013 (2018) dijelaskan: “bahwa kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Jadi sudah clear and clean bahwa berkumpul, mengelurkan pendapat, dan mendirikan organisasi dalah hak asasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dijamin dan dilindungi. Jadi, untuk membuat organisasi berbasis komunitas orang-orang yang punya kesamaan nama atau kemiripan nama terstempel adalah sah, sah, dan sah, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.

Sekali lagi, tertari untuk membuat organisasi komunitas berbasi kesamaan nama atau kemiripan nama? Ya, itung-itung, kan potensial dan terbuka dioptimasi sebagai "amunisi" untuk show force dalam konteks momen perhelatanan kontestasi "pesta demokrasi", 2024. Iya khan? Hahahahahaha......... Ssstttt! Teruntuk paragraf ini, ada disclaimer-nya: bukan provokasi! Hahahahahaha.........

Akhirnya, saya hendak mengatakan bahwa inisitif untuk berkumpul, membuat atau mendirikan organisasi komunitas atas dasar kesamaan nama atau kemiripan nama adalah kerja ijtihad. Apalagi, sampai kehadirannya kemudian bermanfaat bagi sesama; saling berbagi, saling membatu, gotong royong, dan seterusnya. Tidakkah dalam ajaran agama terdapat ajakan berbuat baik kepada sesama, “wat’awanu ‘ala al-bir”, (QS. al-Maidah:2)? Tidakkah dalam hadits Nabi Muhammad berpesan bahwa: “manusia yang baik adalah yang berbanfaat bagi sesamanya”, khair an-nas nan yanfa’u li an-nas (HR. al-Tabrani)? Sebuah pesan kemanusiaan universal. Siapa saja, tanpa pandang perbedaan warna kulit, bahasan, ras, suku, budaya, bangsa, dan agama, dituntun dan dibenarkan untuk berbagai kepada sesama, gotong royong, dan bekerja secara bersesama dalam urusan kebaikan. “Wat’awanu ‘alal al bir”, (QS. al-Maidah:2).

Pesan bernas Nabi itu jika ditarik dalam konteks keindonesiaan sekaitan dengan inisiatif berkumpul, membuat dan mendirikan organisasi dengan basis kesamaan atau kemiripan nama, menurut saya adalah sebuah kerja ijtihad, yaitu ijtihad konstitusional. Ijtihad yang dibuat untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara, sebaimana pesan UU di atas. Sekaligus, adalah juga ijtihad atas pesan bertuang kebangsaan, bahwa “cinta tanah air adalah sebagaian dari iman”.

Maka, jangan pernah berhenti untuk melakukan ijtihad konstitusional untuk mewujudkan “.... suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segnap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial....”, (Preambule, alinea ke-4).

 -------------------------------------

Penulis:  Zainal Arifin Sandia (Kee Enal) adalah pegiat Yayasan Sombar Negeri Maluku (YSNM), relawan ARMC IAIN Ambon Bidang Penelitian dan Advokasi, dan pendiri The Core of Palaapa (The Copa) Tulehu. Tulisan ini merupakan pengembangan dari postingan di FB pada tanggal 1 Oktober 2022 dengan tema IQBAL?