Sunday, August 16, 2020

TAHLILAN #IX: Glenn, Sososk Pesona Kompleks

 “TAHLILAN” #HARI 9

Glenn, Sosok Pesona Kompleks

(Kesaksian Dua Pergumulan Bersesama)

Bung Glenn, begitu saya menyapanya adalah seorang musisi berdarah kental Maluku, pencipta lagu-lagu yang hebat, memikili karakter suara khas, ketenaran bernyanyinya diakui, sudah banyak menelorkan album, dihormati, dicintai dan digilai. Setidaknya, demikianlah gambaran awal saya sebelum akhirnya dapat bertemu langsung, terlibat bersesama dalam diskusi serius, aktual, multi tema, kompleks dan visioner tentang Maluku dan Indonesia. Ringkas cerita, proses bersesama itu, membuat saya memahami lebih jauh ruang pergumulannya, mengenal lebih akrab dimensi kerjanya dan kemudian sungguh menyadari betapa bung Glenn bukan seorang musisi sekadarnya atau biasa seperti kebanyakan. Tapi, bung Glenn adalah sosok musisi dengan pesona kompleks. 

Jika saya boleh melakukan kategorisasi, maka bung Glenn dapat disebut berada satu  mazhab musik dengan Iwan Fals. Entah apalah nama mazhab musik itu. Tentu saja, kategorisasi ini tidak sama sekali dimaksudkan untuk membuat penyederhanaan, penyamaan atau perbandingan antara keduanya. Sebab karakter dan mentalitas keduanya dibentuk oleh konteks proses yang berbeda. Tapi, kategotisasi ini saya lakukan hanya unutk memotrt beberapa kemiripan yang keduanya miliki, yaitu kecenderungan kuat ideologis, komitmen dan konsistensi kerja-kerja perjuangan di arena belantara dunia seni musik Indonesia. 

Keduanya sangat kuat dan konsisiten berbicara tentang Pancasila sebagai dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang sudah final dan tidak perlu diperdebatkan lagi penggantinya. Keduanya sangat kuat dan konsisten berbicara tentang pengakuan terhadap khazanah identitas, penerimaan terhadap keberagaman bangsa sebagai kenyataan yang patut dihargai, dihormati, dijamin dan dilindungi. Dan, keduanya  juga sangat kuat dan konsisten memperjuangkan keadilan sosial (social justice) dan keseimbangan lingkungan/alam (eco justice) yang berkelanjutan.       

Setidaknya, saya punya dua pengalaman bersesama dengan bung Glenn. Meski berbeda momen, akan tetapi kedua pengalaman itu memiliki makna sangat penting dan mendasar, saling mengonfirmasi, melengkapi satu dengan lainnya dan menjadi alasan pembenar (rasion d’etre) atas imajinasi saya tentang pesona bung Glenn.

Pengalaman bersesama pertama (2017) adalah pada saat kami berdiskusi dalam ruang terbatas tentang kebutuhan pengembangan seni musik Islam di IAIN Ambon. Secara pribadi saya sunggung membuka ruang apresiatif yang terbuka terhadap wacana seni musik Islam, tapi tidak punya kecukupan gambaran tentang ke arah mana arah nanti percakapan di arena diskusi bersesama bung Glenn dan teman-temannya. Di ruang diskusi saya mencoba menyimak dengan seksama tiap point percakapan yang mengemuka, menajam dan mencerahkan. Secara khusus, saya menaruh perhatian khusus terhadap bung Glenn, saya penasaran dan seolah tak sabaran menunggunya berbicara. Apalagi, posisi duduk kami berdekatan, hanya disela bung Raden Franky Notosudirdjo (seniman dan etnomusikolog berkelas internasional).

Dan, waw! cara bung Glenn berbicara dan merespon percakapan yang mengalir  deras benar-benar “membius”, membuat saya terpana dan sangat nyaman menikamatinya. “Bung Glenn bukan musisi biasa”, saya membatin.

Benar-benar mengagumkan. Betapa bung Glenn punya perhatian teramat sangat serius terhadap pengembangan seni musik Islam di Maluku dan mendorong agar IAIN Ambon menjadi lokomotifnya. Dalam percakap itu menggelinding ide cerdas untuk memulai dengan membangun sebuah Pusat Studi Musik Islam, membuat program studi seni musik Islam  dan hingga membangun sebuah fakultas untuk kebutuhan itu. “Ini sesuatu yang tidak main-main”, saya berpikir keras dalam haru. Betapa tidak, bung Glenn tidak saja berbicara tentang seni musik Islam sebagai sesuatu yang universal, tapi juga berbicara tentang seni musik Islam sebagai sebuah representasi identitas yang pantas diapresiasi, dan memosisikan seni musik Islam sebagai media penting dan strategis untuk menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan, keberagaman, toleransi, perdamaian, keadilan sosial dan kebutuhan merawat keimbangan semesta ciptaan secara berkelanjutan.

Perhatian serius bung Glenn terhadap kebutuhan pengembangan seni musik Islam di Maluku itu kemudian mendapat respon cepat dari IAIN Ambon dan positif Kementrian Agama. Dan sekarang, sebagai langkah progresnya, IAIN Ambon kini telah memiliki Pusat Studi Musik Islam dan pengajukan permohonan untuk mendirikan Program Studi (Prodi) Seni Musik Islam sedang dalam proses. Jika usulan prodinya disetujui dan terwujud, maka IAIN Ambon akan menjadi satu-satunya PTKIN di Indonesia yang memiliki prodi Seni Musik Islam.

Menurut saya, kerja-kerja serius dan strategis yang telah dikalukan bung Glenn untuk pengembangan dan pemajuan IAIN Ambon tidak bisa tidak diteruskan. Apalagi, mimpi pengembangan seni musik Islam itu sudah jadi mimpi bersesama, mimpi bung Glenn dan mimpi IAIN Ambon. Semoga mimpi bersesama ini dapat sesegeranya diwujudnyatakan seutuhnya. Bung Glenn mungkin tidak pernah meminta kehadirannya dimonumenkan, tapi kesadaran bahwa kehadirannya adalah momentum dan milstone dalam semesta proses pengembangan, pemajuan dan sejarah perjalanan IAIN Ambon, jelas patut diapresiasi secara wajar dan proporsional.   

Pengalaman kedua (2018), yaitu saat saya diminta oleh Direktur ARMC IAIN Ambon, Abidin Wakano, untuk lakukan negosiasi dengan salah satu lembaga donor (internasional) terkait kerjasama program counter narrative terhadap fenomena violence extremism, yaitu COVEY; National Interfaith Youth Camp (NIYC). Kegiatan yang sudah tergelar sukses di Pantai Hunimua, Negeri Liang, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku ini menghadirkan 120 pemuda dan pemudi dari seluruh provinsi di Indonesia.

Salah satu mata acaranya, Makan Patita Panas Pela Pendidikan antara SMPN 9 Ambon dan SMPN 4 Salahutu. Acara yang digelar di SMPN 9 Ambon itu direncanakan menghadirkan bung Glenn sebagai inspirator dan membakar kebanggaan menjadi anak muda Maluku dan generasi muda bangsa Indonesia. Praktis, saya dituntut menego besaran biaya terkait semua kebutuhan untuk menghadirkan bung dan pendampingnya. Dalam perjalanan ke Jakarta, saya tidak punya referensi sama sekali soal besara biaya itu. Yang bisa saya pastikan adalah biaya transportasi pesawat (Garuda, ini standar donor mitra) dan biaya hotel selama di Ambon. Selebihnya, saya benar-benar blank, tidak tahu sama sekali. Saya benar-benar tidak tahu berapa honor artis sekaliber bung Glenn.

Saat nego, pihak donor menegaskan tidak bisa membayar honor artis selain menjadi narasumber dengan besaran honor yang dusah dipatok dan meminta kami (ARMC IAIN Ambon) untuk juga mempertimbangkan partisipasi dan kontribusi figur bung Glenn sebagai agen perdamaian Maluku. Dalam posisi tawar yang tidak berimbang tersebut, saya tetap berusaha meyakinkan donor bahwa bung Glenn bisa kami datangkan. Kebetulan bung Glenn juga sudah dikontak oleh Abidin Wakano sebelumnya. Memang, terjadi kenaikan biaya untuk menghadirkan bung Glenn, tapi tetap saja tidak signifikan. Dan kami harus menerima kenyataan.

Akan tetapi, saya kemudian kembali membangga dan mengharu setelah bung Glenn menyatakan kesediannya mengisi acara Makan Patita Pela Pendidikan. Oleh bung Glenn kami dicukupkan untuk menyiapkan tiket pesawat dan akomodasi selam di Ambon. Dan bung Glenn kemudian benar-benar hadir memenuhi harapan kami, memenuhi janji dan komitmennya untuk memberi inspirasi dan mutivasi kepada anak muda Maluku dan 120 orang generasi muda bangsa peserta National Interfaith Youth Camp (NIYC).

Kepada anak-anak Maluku yang menggelar acara Makan Patita Pela Pendidikan, bung Glenn berbicara dan meyakinkan mereka untuk menadari potensi yang dimiliki untuk terus dipacu dan dikembangkan. “Anak-anak Maluku tidak boleh kalah dengan anak-anak di wilayah barat Indonesia”, pesannya dengan penuh semangat. “Anak-anak Maluku adalah pencinta perdamaian”, “Beta Maluku”, pekiknya sebelum akhirnya lagu Tinggikan melengkapi provokasi damainya yang membakar.

Tak berhenti di situ, kebanggaan dan keharuan saya kembali membuncah saat mendengar bahwa bung Glenn akan bergabung dan menghibur peserta NIYC di pantai Hunimua, Liang. Dan benar saja, pada acara Malam Perayaan Keberagaman sebelum penutupan (besok paginya), bung Glenn datang, berbagi harapa dan menghibur peserta NIYC. Bung Glenn lagi dan lagi berbagi pengetahuan, pengalaman dan kerja-kerja perjuangannya, sebagaimana saya sebut di atas (paragraf ke-3) dan mengajak semua peserta NIYC mendendangkan lagu “Pancasila Rumah Kita”.

Nothing to say anymore, no words. Itu yang melintas spontan menyaksikan kehadiran bung Glenn malam itu. Betapa tidak, kedatangan bung Glenn sebelumnya hanya dimaksudkan ARMC IAIN Ambon untuk memberi inspirasi, spirit dan mutivasi tentang kebutuhan perdamaian dan toleransi, dan menghibur semua peserta dan tamu acara Makan Patita Panas Pela Pendidikan. Di titik inilah saya kemudian menyadari benar bahwa perjuangan bung Glenn memang “tak terbeli”. Kita bakal gagap paham dan gagal menilai jika hanya menakarnya dengan nalar materi an sich.

Kedua pengalam itulah yang akhirnya membathinkan diri saya berikut menyadari dengan penuh keyakinan, bahwa bung Glenn adalah pejuang sejati. Dia paham dengan sangat baik sekaligus benar makna pengorbanan. Dia paham dan mampu membuat pilahan dan pilihan tentang apa saja yang dapat, boleh dan pantas dikorbankan dalam sebuah perjuangan. Dia paham dan meyakini benar tiap keputusan yang dibutuhkan dan sesegeranya “wajib” dieksekusi demi mewujudkan cita-cita perjuangan.

Bung Glenn adalah figur fenomenal yang mengagumkan dan padat misteri. Itulah mengapa saya menyebutnya sebagai sosok pesona kompleks. Bung Glenn tidak saja melakoni dunia musiknya secara profesional, tapi pada saat yang bersamaan dia juga menggumuli agenda-agenda besar kemasyarakat (identitas lokal), kebangsaan dan kenegaraan (nasionalime), dan pewarisan kualitas lingkungan berkelanjutan (global) yang jadi concern perjuangannya.  

Danke banya paskali lai bung atas semesta pembelajaran sarat hikmah yang diwariskan. Semoga keledanan yang bung persaksikan senantiasa jadi inspirasi, spirit dan mutivasi voor ana muda Maluku dan generasi muda bangsa Indonesia. Amin.


Penulis: Zainal Arifin Sandia (Kee Enal) adalah pegiat Yayasan Sombar Negeri Maluku (YSNM), realawan ARMC IAIN Ambon bidang Penelitian dan Advokasi, dan pendiri The Core od Palaapa (The CoPa) Tulehu.

Tulisan yang dihibahkan untuk penerbitan buku: Nafas Jiwa Glenn Fredly oleh Opa Rudi Fofid dan Ihsan Tualeka (korator/editor). Tulisan diselesaikan di Tulehu dan serahkan via email pada tanggal 30 April 2020.

 

Saturday, August 15, 2020

MAMA-MAMA "PAPALELE"

 

MAMA-MAMA “PAPALELE” ITU KARTINI MALUKU

Hari-hari belakangan beberapa ibu (mama-mama) degan "aneung" dan "porteng" di kepala kerap lewat di depan rumah kami sambil menawarkan buah durian. Mereka rata-rata masih terbilang muda. Di bawah 40 tahun, menurut amatan dan perkiraan saya.

Perbuah mereka tawarkan harga antara Rp. 5.000 - Rp.10.000. Tergantung sedang dan besarnya buah (bisa nego). Harga itu jelas tidaklah mahal tentunya. Sebab, jika dibandingkan, musim durian kali ini sangat berbeda dari dua tahun lalu (2018). Dimana sebuah durian dengan ukurang sedang ditawar dengan harga benar-benar miring, Rp. 1.000 perbuah. Bayangkan, hanya dengan punya Rp. 20.000, anda bisa meikmati seikat durian sejumlah 12 buah.

Kembali ke "laptop". Menyaksikan kenyataan itu, saya tidak saja bangga, tapi juga sangat terharu. Apatah lagi, hal itu dilakukan mama-mama tersebut dalam suasan 'teror' covid-19 yang menghangat, begitu menghantu dan mengancam siapa saja tanpa pandang bulu. Di saat kampanye stay at home, work from home dan social distancing lantang dikampanyekan, mereka malah memilih keluar rumah, bekerja di ruang terbuka dan berinteraksi dengan banyak pembeli jalanan (door to door). Mereka menibggalkan rumah berjuang mencari nafkah dan tidak terjebak dengan agenda bantuan sosial yang ramai diributkan orang, baik yang berkelas paling atas, hingga kelas paling bawah seturut ragam kepentingan masing-masing mereka.

Fenomea mama-mama ini jelas bukanlah sesuatu yang tawar dalam pengalaman saya. Sejak kecil, fenomena mama-mama berjalan keliling kampung dan menawarkan gula merah, sagu dan ikan misalnya, sudah tampak. Dalam khazanah budaya Maluku, fenomena ini disebut 'papalele' (teman saya punya penelitian dan sudah dibukukan soal ini). Dengan bahasa lain, fenomena ini sudah jadi bagian dari hidup dan kehidupan yang kemudian menjadi tradisi transaksi jual-beli di masyarakat Maluku sebelum saya akhirnya kemudian mengenal istilah "jemput bola" dalam khazanah teori magemen marketing moderen.

Terlepas dari itu, saya melihat, paling tidak, ada 2 alasan yang menyebabkan fenomena 'papalele' masih mampu bertahan sampai saat ini. Pertama, perempuan secara naluriah (keibuan) memiliki kesadaran untuk ikut ambil tanggung jawab dan terlibat aktif dalam proses peningkatan kesejahteraan keluarga. Kedua, respon atas dinamika persaingan pasar yang terbuka (nalar suply and demand), sehingga pro-actiave (mendatangi pembeli) menjadi pilihan yang tidak bisa tidak dipilih.

Memang, tampak ada paradox di sana. Di satu sisi, secara konseptual, cara pandang "jemput bola" adalah cara paling efektif dalam berusaha. Hanya saja, di sisi lain, cara ini kemudian menjadi kurang efektif lantaran polanya yang tidak kontekstual dengan perkembangan zaman yang terus berubah dan "memaksa" dilakukannya usaha-usaha inovatif yang kontekstual dengan perubahan yang terjadi (keniscayaan desruption).

Dalam realitas keseharian belakangan, tradisi 'papalele' terlah mengalami transformasi cukup signifikan sebagai akiban dari perkembangan, perubahan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Tak pelak, realitas ini kemudian memicu keterbukaan ruang persaingan yang lebih kompetitif. Tidak saja karena penggunaan sarana transportasi mobil dan motor yang menjamin efektifitas dan efesiensi dalam berusaha, tapi 'paplele' juga sudah menjadi arena garapan laki-laki. Mobil dan motor dipakai berkeling kampung/negeri (dengan jarak jelajah yang sangat jauh) untuk menjaja kebutuhan sehari-hari dan perabot rumah tangga. Artinya, fenomena 'papalele' sudah memasuki sebuah trend (selera) baru, yaitu gaya jalan kaki menjadi berkendaraan. Pada saat yang bersamaan juga, fenomena ini sekaligus juga seolah telah "memindahkan" fungsi pasar tradisional.

Apa yang bisa dilihat lebih jauh adalah, bahwa dalam batas-batas tertentu, di satu sisi telah terjedi semacam pola ketergantungan (baru) antara pembeli-penjual dan di sisi lain pasar akan akhirnya juga mengalami koreksi pada fungsi (mengalami disfungsi) sebagai ruang sosialisasi dan interaksi publik antarwarga kampung, negeri. Sebab para pembeli tinggal tunggu saja di depan rumah atau bahkan mungkin juga mereka telah memiliki kontak (Hp/WA) dengan penjaja ('papalele' berkendaraan) untuk bertransaksi guna kebutuhan sehari-hari dan keluarga. Apatah lagi, para 'papalele' berbedaraan dipastikan dapat beroperasi (pelayanan) secara reguler, saban hari. Sesatu hal yang tidak mungkin dijanjikan oleh para ibu 'papalele' yang berjualan keliling dengan hanya berjalan kaki.

Mama-mama "papalele" adalah perempuan tangguh. Mereka tidaklah sepandai kartini. Tapi, apa yang mereka buktikan dalam praksis hidup keseharian mereka, yaitu berjalan keliling kampung/negeri sebagai bukti cinta pada keluarga, perjuangan untuk peningkatan kesejahteraan dan komitmen pembebasan dari penderitaan.

Sungguh, apa yang mereka buktikan sama sekali tak berbeda dengan yang telah diperjuangkan oleh Kartini.

Salam hormat dan bangga selalu buat mama-mama 'papalele', para pejuang tangguh dan pemberani yang teruji. Karena, sekali lagi, mereka berjuang dalam suasan 'teror' covid-19 yang begitu menghantu dan mengancam jiwa (nyawa; modal hidup satu-satunya) mereka dan siapa saja tanpa pandang bulu.

 Catatan:

1.   Penulis: peneliti ARMC IAIN Ambon dan pendiri The Palaapa Initiative Maluku

2.   Tulisan sudah dipublikasi di SATUMALUKU.ID, 23 April 2020.

KUASA "BALENGGANG"

 

KUASA "BALENGGANG"

 

        Dalam konteks perkembangan teknologi komunukasi dan informasi yang sungguh canggih hari ini ditambah realitas sebaran wabah covid-19 yang tiap detik masih terus mengancam jiwa dan membutuhkan (penganggaran) penanganannya secara serius, agaknya tidak ada satupun alasan yang bisa digunakan untuk membenarkan kegiatan studi banding yang dilakukan para anggota DPRD Kota Ambon. 

        Studi banding di era seperti tergambar di atas jelas memalukan dan malu-maluin atau "biking malu", kata orang Ambon. Sangat memprihatinkan dan pantas disesali. Betapa tidak, para wakil rakyat tersebut seolah sudah tidak punya rasa empati, simpati dan kepedulian yang sensitif dan reaponsif terhadap kondisi kesulitan dan penderitaan yang tengah dihadapi, dialami dan begitu mendalam dirasakan oleh warga Kota Ambon. 

Memurut saya, gaya “tongka pinggang” dan “seng ambe pusing” terhadap dan bersiul di atas kesulitas dan penderitaan rakyat tersebut adalah potret jelas yang mengonfirmasi kadar kualitas mentalitas anggota DPRD Kota Ambon.Sejatinya, untuk kepentingan rakayat, agenda-agenda "baronda" pejabat publik, termasuk seperti studi banding, sebisanya ditekan seminim mungkin untuk dilakukan. Bahkan, bila perlu untuk nomenklatur semacam kegiatan studi banding ditiadakan (dihapus dari mata anggaran). Saya yakin, bahwa dalam kondisi covid-19 DPRD Kota Ambon dapat mengambil kebijakan (pro puklik) dengan dalih kebajikan. Dengan cara itu, tunjukan kepada warga Ambon bahwa mereka benar-benar benar berada bersesama warga Ambon, memberi jaminan dan perlindungan, di masa-masa penuh kesulitan dan penderitaan selama masa covid-19.

Jila DPRD Kota Ambon hendak memberikan kado terindah kepada warga Kota Ambon dalam rangka merayakan Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2020, sementara warga Ambon sedang berjuang mati-matian untuk "merdeka" dan lepas dari "jajahan" covid-19, maka kado studi banding alias "baronda" itu sungguh tak ubahnya dengan usaha sengaja para anggota DPRD Kota Ambon untuk menambahan dosis penguat (sebaran) wabah covid-19, yang disuntikan kedalam tubuh warga Kota Ambon.

Kita jelas mengapresiasi kehendak baik DPRD Kota Ambon dalam melakukan kerja-kerja yang ujungnya akan kembali kepada pemenuhan kepentingan dan kemudian dapat dinikmati oleh warga Kota Ambon. Kita juga mendukung penuh inisiatif cerdas dan terobosan-terobosan strategis yang dibuat dan diformulasi oleh DPRD Kota Ambon dalam rangka meningkatkan kualitas tata kelola (pelayanan publik) kelembagaan dan semesta pembangunan (multi sektor) di Kota Ambon. Tapi, pada saat yang bersamaan, kita juga sangat apresitif jika para anggota DPRD Kota Ambon mampu menahan diri untuk tidak memanfaatkan kendali kuasa di tangan mereka hanya sekadar untuk memenuhi kepentingan (selera) "baronda" mereka, sementara kesulita dan penderitaan sedang mendera warga Kota Ambon.

Sungguh tampak kotras dan ironis, di saat warga Kota Ambon diminta untuk “tado” di rumah dan bekerja dari rumah, para wakil mereka justru melakukan hal sebaliknya, studi banding. Padahal, apa yang mau diperoleh dari studi banding tersebut dapat saja dilakkan secara daring. Fasilitas aplikasi seperti Google Meet, Zoom dan Cisco Webex yang sudah sangat diakrabi publik akhir-kahir ini dan trendy, sudah sangat memadai digunakan sebagai penggati kunjungan fisik studi banding.    

Tadinya, kita sungguh berharap bahwa dalam situasi covid-19, DPRD Kota Ambon dapat mengoptimasi modal sosial ke-Maluku-an kita, local wisdom atau nilai-nilai kearifan sosial lokal Maluku untuk mengembangkan dan memperkuat solidaritas dan soliditas sosial warga Kota Ambon. Maksudnya apa? Bahwa, dalam situasi covid-19, sejatinya pesan-pesan bertuah seperti "ale rasa beta rasa", "potong di kuku rasa di daging" dan "sagu salempeng pata dua" misalnya, dapat ditransformasi, dielaborasi dan kemudian "dibumuikan" dalam bentuk kerja-kerja atau usaha-usaha praksis yang memberi jaminan,  perlindungan dan ketenangan kepada warga Kota Ambon dalam menghadapi covid-19.

Lewat momen perayaan Hari Kemerdekaan RI misalnya, DPRD Kota Ambon bisa saja mendorong Pemerintah Daerah Kota Ambon dan warganya untuk “baku kele” melakukan berbagai upaya dan kegiatan penguatan kesadaran untuk bangkit bersama, mempererat ikatan solidaritas dan soliditas "melawan" covid-19. Saya sangat yakin, banyak upaya dan kerja-kerja inisiatif, kreatif, produktif dan konatruktif lainnya yang bisa dibikin. Tentu, itu semua dilakukan dengan tetap berpedoman pada protokol kesehatan.

Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Dan yang tersisa hanyalah pertanyaan: apakah para anggota DRPD Kota Ambon yang melakukan aksi "baronda" di masa covid-19 itu bisa meminta maaf kepada dan dimaafkan oleh warga Kota Ambon? Dapat dikatakan bahwa para wakil rakyat itu akan sulit mendapatkan maaf atau dimaafkan oleh warga Kota Ambon. Dan, agaknya mereka, memang tidak butuh meminta maaf atau dimaafkan oleh warga Kota Ambon. Inikah fatsun politik? Entahlah!

Mungkin, sebab itu, Lord Acton kemudian merumuskan adagium: Power tends to corrupt, and absolute power currupts absolutely. Juga Hobbes, bahwa "keserakahan (kuasa) hanya bisa dihentikan oleh kematian". Tak terkecuali, Uncle Donald (si bebek) yang memberi warning kepeada 3 kemenakanya agar menyadari betapa dalam dunia politik segalanya serba mungkin. Termasuk, mungkin menyalahgunakan kekuasaan, mungkin meminta maaf atau juga mungkin dimaafkan.

Tanpa terlalu berharap akan ada permintaan maaf dari pada wakil rakyat kepada warga Kota Ambon pasca studi banding, kita berharap ada sesuatu yang berharga yang diberikan kepada Kota Ambon dari studi banding itu. Dan karenanya, dipandang penting untuk terus mengikuti dan memantau kerja-kerja produktif dan konstruktif DRPD Kota Ambon terkait obyek studi banding dilakukan. Jika tidak, kemudian terbukti bahwa atusi banding tak berbeda dari “pi baronda”, maka adalah pantas mereka, para wakil rakyat yang terhormat itu, diberikan "sanksi sosial". Apapun bentuknya, terserah kepada warga Kota Ambon.

 Catatan:

1.      Penulis adalah pendiri The Palaapa Ivitiative, Maluku.

2.      Tulisan telah dipublikasi di SATUMALUKU.ID, tanggal 16 Agustus 2020