Sunday, August 18, 2019

IDENTITAS TRANSFORMATIF


Identitas Transformatif
(wajah sejati Maluku mendepan)

“Nampaknya usaha untuk menemukan identitas menjadi keprihatinan terbesar dari zaman kita, dan tentu “kebingungan identitas”, baik yang individu maupun yang kolektif, menjadi bahaya terbesarnya”. (Erik Hamburger Erikson)

Adalah aksioma, bahwa pencarian, penemuan, pemeliharaan, kegamangan, ketercerabutan berikut pencarian kembali identitas oleh setiap komunitas sudah merupakan siklus “besi” atau hukum dialektik kehidupan yang menyejarah dan akan terus mementas di atas altar waktu kapan dan ruang dimanapun. Sebuah siklus yang tidak bisa dihentikan oleh siapa saja, atas nama dan kepentinngan apapun, terkecuali dengan hadirnya armageddon. Dengan kata lain bahwa, setiap komunitas yang sudah, masih dan akan ada tidak pernah bisa menegasi siklus ini sebagai bagian sinergis dari kenyataan kehidupan mereka yang dinamis, kompleks dan selalu berubah dari waktu ke waktu.
Tesis di atas memberi spektrum betapa identitas merupakan kebutuhan dasar (basic need, fundamental need) dengan tingkat determinansi paling tinggi bagi penguatan insistensi (in-sis, segala dunia kehidupan yang sudah diterima begitu saja sebagai bagian yang utuh dalam dunia kehidupan yang menopang) dan eksistensi (ek-sis, usaha menyikapi totalitas dunia kehidupan manusia sebagai cara berada yang khas) bagi setiap komunitas. Tesis ini juga sekaligus mengindikasikan bahwa hanya dengan identitas sebuah komunitas mampu bertumbuh dan berkembang normal berikut memberikan respon proaktif, partisipatif dan konstruktif demi sustanability-nya dalam frame gesekkan dan tarik-tarikan globalisasi vis a vis identitas. Itulah sebabnya kenapa sehingga persoalan identitas selalu aktual dan menantang untuk dibincangkan oleh setiap komunitas di seantero dunia.
Dalam konteks interelasi sosial Indonesia pascamodernisme yang kian menggeliat belakangan ini, identitas menjadi barang “seksi” sekaligus “bico”. Dikatakan demikian karena pertama, identitas dalam potret kekinian tidak saja merupakan community treasure (modal sosial) yang langkah, tapi juga keberadaanya sangat kronis sebagai akibat dari modernisme dan globalisme. Kedua, identitas tengah dihadapkan pada dialektika dengan tensi dan akselerasi tinggi yang membingungkan, ambigu atau ada semacam antagonisme yang subornatif dalam istilah Mudji Sutrisno. Di satu sisi, identitas kerap diperjuangkan sebagai kompetensi dan kapsitas komunitas lokal untuk memperoleh garansi atas hak-haknya sebagai kompartemen warga bangsa bernegara. Tapi, pada sisi sebelahnya muncul pula “proyek-proyek” politik identitas yang menyeruak ke permukaan dengan “paras” oposisi biner, yaitu antara daerah dan pusat dalam urusan interst; kewenangan dan kekuasaan. Dan, antara putra daerah dan pendatang dalam urusan memperoleh perlakuan khusus (prevelage) atau prioritas dalam berbagai hal.
Walhasil, sebagai konsekuensinya, pencarian dan perumusan identitas komunitas cenderung dijadikan komuditas politik, vasted interest atau lips services (NATO: no action talk only). Bahkan, dalam batas-batas tertentu identitas kemudian menjadi kabur, nyaris tercerabut akar orisinilitasnya dan muncul kemudian sosok “wajah” identitas baru yang berseberangan atau kontra produktif dengan elan vital komunitasnya. Dan, ironinya lagi, identitas akhirnya kerap dijadikan “kuda lumping” penciptaan chaos dalam masyarakat.
Dalam setting Maluku, persolan pencarian dan perumusan identitas komunitas hari ini menjadi persoalan paling aktual, fundamental, urgen dan strategis dalam visi kebutuhan rekonstruksi tata relasi sosial Maluku mendepan. Kenapa? karena Maluku memiliki iklim sosial dengan background komunitas sangat varian, baik etnik maupun suku dalam pelno fakultas budaya dan agama. Terdapat banyak sekali identitas yang jumlahnya berbanding lurus dengan banyaknya etnik, suku, budaya dan agama di Maluku.
Pertanyaannya sekarang adalah, adakah identitas-identitas itu bisa dikalim sebagai sebuah blessing in disguised, community treasure yang given untuk keberlainan komunitas di Maluku atau malah sebaliknya? Jawaban atas pertanyaan ini, jelas sangat ditentukan oleh bagaimana dan seberapa jauh identitas-identitas itu dioptimasi pengelolaannya. Betapa tidak, identitas-identitas itu secara fungsional potensial melahirkan dwi dampak, yaitu konstruktif dan destruktif. Jika pengeolaannya benar dan baik, maka identitas-identitas itu bisa berfungsi konstruktif bagi keberlainan komunitas di Maluku. Sebaliknya, Jika pengelolaannya salah dan buruk maka identitas-identitas itu akan berfungsi destruktif bagi keberlainan komunitas di Maluku.
Terlepas dari apapun bentuk dampak yang sudah dan akan ditimbulkan, secara jujur dan terbuka harus diakui bahwa kehadiran keberlainan identitas di Maluku praksis -- dan pasti selalu -- memberikan kontribusi signifikan bagi terciptanya kondisi tata relasi, interaksi berikut seabrek kompleksitasnya dalam kehidupan keseharian sosial Maluku. Kondisi ini, dengan demikian, memberi “lampu kuning” betapa pencarian dan perumusan identitas komunitas Maluku seyogianya dilakukan dengan men-“cupa” keberlainan identitas yang ada di Maluku.
Sungguh, dalam konteks seperti itulah, proses pencarian dan perumusan identitas Maluku tidak bisa dibilang enteng, bak membalik tapak tangan. Pencarian dan perumusan ini membutuhkan pikiran-pikiran parexcelent dan kerja cerdas dalam proses rekonstruksinya. Hal ini tak lain, disebabkan adanya kenyataan bahwa pencarian dan perumusan itu dilakukan dalam “temperatur” dimana konstruk relasi sosial Maluku sudah melewati proses inkulturasi, akulturasi dan asimilasi budaya atau persisnya proses trans primordialisme.
Proses relasi sosial dalam figura trans primordialisme ini sudah berlangsung lama. Kebersentuhan nilai-nilai dan budaya kepercayaan asli komunitas Maluku, yaitu animisme, bukan dinamisme dengan nilai-nilai dan kebudayaan Hindu, Budha, Islam, Kristen, Arab, Cina, Jawa, Sumatera, Bugis-Makassar, Buton, Kalimanta dan lain sebagainya adalah fakta historis yang menjadi alasan pembenar atas telah terjadinya proses relasi sosial di Maluku sejauh ini.  
Lebih dari pada itu, bahwa proses relasi sosial itu dalam perkembangannya kemudian telah mangalami proses institusionalisasi atau melembaga kedalam ikatan-ikatan geneologis dan emosional kekeluargaan; kawin mawin dan regenarasi lintas suku, etnik, budaya dan agama. Dalam bahasa lain, adalah mungkin ditemukan sebuah keluarga di Maluku yang memiliki multi identitas atau telah mengalami proses trans primordialisme di atas.
Tidak bisa tidak, kita akhirnya dihadapkan pada kebutuhan untuk menerjemahkan dan mengelaborasi keniscayaan relasi sosial berikut dampaknya itu kedalam sebuah paradigma baru guna merumus kembali identitas Maluku yang transformatif, sejati dan visioner.  Relasi mana, yang dimaksud adalah -- meminjam istilah Emile Durkheim -- relasi sosial organik, dan bukan relasi sosial mekanik. Sebuah relasi yang bertumbuh dan berkembang secara kultural, bukan atas dasar rekayasa atau kepentingan struktural. Cukuplah kegagalan merumuskan identitas nasional Indonesia dijadikan sebagai pelajaran paling bermakna bagi perumusan identitas Maluku.
Untuk itulah dibutuhkan ketajaman analisis dan pendekatan komprehensip sebagai kerangka konstruk identitas komunitas Maluku sejati dan visioner, dan bukan identitas Maluku “reka-bayang”, atau imagined communities dalam kamus Benedict Anderson. Analisis dan pendekatan dimaksud harus apresiatif terhadap keberadaan otoritas identitas primordialisme yang varian itu. Akan tetapi pada saat yang bersamaan, apresiasi itu harus juga bisa dirumuskan sebagai sebuah identitas bersama lintas atau trans primordialisme.
Identitas lintas atau trans primordialisme adalah identitas baru Maluku, identitas Maluku trasnformatif, identitas Maluku sejati dan visioner. Identitas ini meniscayakan nilai-nilai persaudaraan antrumat manusia lintas agama dan budaya, lintas etnik dan kultur sebagai community treasure bersama, keadilan sosio-ekonomi dan sosio-politik serta penegakkan supremasi hukum sebagai pilar kosntruksinya.

 Catatan: penulis adalah peneliti ARMC IAIN Ambon dan pendiri The Palaapa Initiative, Maluku

TITIK TEMU DI JIKU BAKU DAPA


Titik Temu Di Jiku Bakudapa
(Catatan ringkas pengalaman perjumpaan di Makassa)

Mujahadah
Jauh sebelum konflik berdarahan Maluku terjadi, antara tahun 1991 – 1995, “menceburkan” diri dengan ide, gagasan, pemikiran dan konsep dalam wacana persaudaraan, perdamaian, dialog lintas agama dan bahkan pencarian titik temu agama-agama sudah jadi sebuah kecenderungan kelompok-kelompok diskusi yang concern pada agenda-agenda pembaharuan pemikiran Islam. Berbagai macam literatur, buku, majalan dan opini di koran-koran seputar wacana itu tak terlewatkan dan selalu jadi “bulan-bulanan” diskusi bersesama teman-teman di kampus. Perdebatan adalah suguhan “menu” paforit yang paling kami nikmat. Sepanjang sebuah ide masuk akal dan bisa dipertanggungjawabkan secara logis sangat terterima dengan baik. Pada titik itu pemaknaan dan apresiasi terhadap apa dan bagaimana sebuah kebenaran dipertahurkan, dijunung tinggi, dihormati dan dihargai sebagai keniscayaan universal.
Tak kenal apakah sebuah gagasan itu datang dari ulama, pemikir dan intelektual berkaliber dunia yang dihormati umat Islam dan ternama, teks-teks hadits Nabi atau bahkan teks ayat-ayat al-quran, baik yang dhanni (terbuka dijamah akal) maupun yang qath’i (tertutup dijamah akal), semuanya tidak “seprotan” kritik. Pada saat yang bersamaan keterbukaan pembacaan terhadap ide-ide, gagasan dan tulisan-tulisan tokoh di luar Islam mulai diakrabi. Ini dilakukan tanpa ada sedikitpun niat (prejudice) untuk membanding-bandingkan atau mencari-cari kekurangan dan kelemahan agama lain. Sebab kami sendiri sama sekali tidak tertarik, sangat menyayangkan, menilai bahwa studi dengan tujuan membanding-bangdingkan satu agama dengan agama yang lain adalah sebagai langkah mundur dalam studi agama-agama, menutup dialog yang sehat antar umat beragama (double standard) dan hanya sangat naif bagi penciptaan ruang akseptansi beragama.
 Keterbukaan pembacaan terhadap pemikiran dan literatur dari agama-agama berbeda semakin memperkaya perspektif, cara pandang dan wacana di sekitaran tema-tema kemanusiaan, persaudaraan, perdamaian, dialog lintas agama dan pencarian titik temu agama-agama. Paling tidak, kami bisa menemukan pandangan dan memperoleh ulasan tentang konsep-konsep kunci agama berbeda dari sumber-sumber yang orisinil, berkompoten dan memiliki otoritas (in sider). Adalah menarik, karena pembacaan terhadap sumber-sember tersebut terasa lebih representatif dan dialogis dari pada membaca setumpuk literatur dengan fokus bahasan yang sama tetapi ditulis oleh orang berbeda agama (out sider). Kalaupun ada beberapa tokoh yang menulis dengan cukup baik tentang agama tertentu yang berbeda dari keyakinannya, maka di samping jumlahnya dapat dihitung jari, juga karena ruang pengembaran pemikiran dan pengalaman interaksi beragama mereka juga relatif sangat kaya, melampaui sekat-sekat perbedaan agama.
Dari situlah, hal mendasar dan paling penting yang saya sadari adalah bahwa pembacaan dan penerimaan sebuah keyakinan tidak melulu datang dari proses indoktrinasi teks-teks kitab -- yang diklaim – “suci” an sich, tapi yang lebih penting dari itu dan sangat determinan adalah proses perjalanan pengalaman sebagai manifestasi penghidupan teks-teks tersebut dalam ruang praksis sosial keseharian, baik dalam runag-ruang inter komunitas maupun antar komunitas berbeda. Dengan kata lain, sebuah keyakinan seyogianya teruji oleh ruang-ruang pengalaman berdialog; wacana, spiritual, praksis beragama dan interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Sayang sekali, ruang pembacaan secara monoton terhadap literatur-literatur  agama berbeda tersebut di atas terasa sangat pasif, hambar dan naif karena cenderung monolog itu tidak bersinggungan secara dialektis dengan pengalaman perjumpaan dalam arena dialog yang menghidupakan. Sangat disadari, bahwa terdapat jarak yang begitu signifikan untuk mengeksplorasi lebih jauh penemuan relasi antara keteguhan keyakinan seseorang beragama atas teks-teks “kitab suci” dengan pengalaman praksis kehidupan yang dijalaninya. Pertanyaan-pertanyaan seperti kenapa seseorang harus beragama? Bisakah seorang tidak perlu beragama tapi dapat menjalankan ajaran agama-agama? Bolehkah seorang beragama lebih dari satu? Apa pentingnya klaim kebenaran dan klaim keselamatan bagi mereka yang beragama? Mengapa seseorang rela terbunuh dan tega membunuh atas nama agama atau Tuhna? Dan, masih banyak lagi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus mengiang dan teramat sangat mengganggu bathin dan pikiran ketika membaca helai demi helai catatan panjang sejarah konflik berdarah umat beragama.

A blessing in disguised
            Tahun 1999, oleh AW, seorang kawan dekat, saya diperkenalkan dengan seorang pendeta protestan (selanjutnya digunakan kata Kristen), berinisial JP. Sebuah penantian begitu panjang dan melelahkan ahirnya menemukan titik terangnya. Kebahagiaan luar biasa tentunya. Perkenalan ini sangat diharapkan menjadi langkah awal untuk mengungkap “misteri” pertanyaan-pertayaan yang selama kurang lebih lima tahun mengiang dan mengganggu pikiran dan bathin. Semangat!
            JP adalah seorang dosen pada sebuah sekolah tinggi ilmu teologia di Makassar. Oleh mahasiswanya, JP adalah sosok open minded, sangat kritis dan independen. Selain aktif sebagai dosen, JP juga adalah seorang aktifis perempuan. JP cukup aktif terlibat dalam aktifitas gerakan-gerakan perempuan, baik lokal maupun nasional. Kombinasi akademisi dan aksifis ini menjadikan cara pandang JP terhadap ajaran agama yang diyakininya, sikap beragama umat dan tokoh umat maupun lembaga-lembaga gereja Kristen dalam beberapa hal terbilang khas dan kontra mainstream. Sebab itulah, JP memiliki ruang tersendiri di mata para mahasiswanya sebagai salah satu icon pembaharu Kristen di kampus karena pkiran-pikirannya. JP adalah seorang protestan yang “protestan”, nilai saya.
            Perjumpaan dengan JP, dari satu kesempatan ke kesempatan yang lain, terlewati dengan warna-warni diskusi dalam suasana santai kritis. Domain diskusinyapun sangat  komprehensip, mulai dari ajaran-ajaran pokok agama, cara pandang  beragama sampai perilaku beragama, baik dalam Islam maupun Kristen. Seluruh proses diskusi berlangsung sangat kualitatif dan produktif. Kondisi ini kemudian menyebabkan kami lebih berani melakukan kritik terhadap cara, sikap dan perilaku beragama yang konservatif, konvensional dan diklaim taken for granted. Hasilnya, pertanyaan-pertanyaan di atas akhirnya terjawab. Bahwa, persoalan agama sesungguhnya sangat persoanal. Institusionalisasi agama dengan seabrek prosedurnya justru menghilangkan sifat dasar inklusif dan akseptansi (keterbukaan dan penerimaan) semua agama dan berubah menjadi eksklusif dan resisten (tertetup dan menjaga jarak) terhadap agama lain. Dari sinilah akar persoalan klaim kebenaran dan klaim keselamatan sebagai milik umat beragama tertentu itu mengencang. Dan pada “penampakannya” paling ektrim kedua klaim ini hadir dengan mengibarkan bendera atas nama agama dan Tuhan dalam berbagai kerusuhan berdarah dan peperangan antar umat beragama.   
            Tak berhenti sampai di arena diskursus saja, kualitas dan produktifitas perjumpaan berdampak pada apresiasi terhadap keyakinan agama masing-masing. Dalam kesempatan-kesempatan diskusi di rumahnya, ajakan JP untuk menjalankan shalat pasti menguak saat azan dikumandangkan. Jp bahkan sudah menyediakan sajadah. Jika kami kecepatan shalat, JP berceloteh: “kenapa capat sekali”? Pertanyaan itu jelas sangat menggelitik sekaligus mengritik cara ibadah kami yang kayaknya analog dengan paket kirima pos; reguler, kilat atau ekspres.
Pun, pada saat bulan puasa, JP juga menyediakan makanan buka puasa. Tentang buka puasa ini, saya berkelakar kepada JP bahwa dalam hadits disebutkan “orang yang memberi makan berbuka kepada orang yang menjalankan puasa akan mendapatkan bobot pahala yang sama dengan orang yang menjalankan puasa”. Kami sontak tertawa terbahak-bahak karena JP dengan penuh kegembiraan mengatakan bahwa dia dapat pahala dari kami yang berbuka puasa di rumahnya. “Dua orang pula, jadi bobot pahalanya rangkap. Sementara, kalian berdua yang berpuasa -- AW dan saya -- Cuma dapat selipat bobot pahala saja”, tambah JP.
Kedekatan dan keprcayaan jelas tidak cukup menjelaskan proses perubahan-perubahan yang terjadi antar kami. Ya, tidak cukup. Sebab kami lebih merasa menjadi pribadi-pribadi yang sudah terjalin dalam ikatana persaudaraan meski tidak sedarah. Kami merasa kebersesamaan tersebut sudah tidak berbatas teman lagi, tapi sebagai sebuah keluarga. Sekali lagi, meski tak sedarah. Kami bisa secera terbuka berbagi cerita, curhat atau menceritekan berbagai hal meski pribadi sifatnya sekalipun.
            Dari JP saya akhirnya bisa berkenalan dengan begitu banyak pendeta kristen dan mahasiswa teologia. Kami bahkan kemudian akhirnya mampu secara bersesama menerjemahkan ide-ide, gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang lahir dari ruang-ruang perjumpaan yang dilewati dalam bentuk kerja-kerja nyata penguatan kesadaran menerima perbedaan, pembangunan perdamaian dan penegakan keadilan sosial. Lebih dari itu, ajakan tanggungjawab moral dan kegelisahan intelektual dalam pengembanngan misi kerja-kerja nyata tersebut kemudian dikanalisasi dalam ruang-ruang komunitas baru yang sedang dalam proses bertumbuh dan berkembang, yaitu Forum Dialog (Forlog) Antarkita Sulawesi Selatan.
            Forlog betul-betul, dalam perkembangannya lebih lanjut, menjadi sebuah gerakan swadaya yang bekerja sangat fungsional memfasilitasi terbukanya ruang-ruang perjumpaan komunitas antar umat beragama, baik dalam skala terbatas (internal anggota) maupun massif (simpatisan).       

Movemento
            Gairah aktifitas Forlog yang sudah tercium oleh seorang perempuan alumni program magister salah satu perguruan tinggi ternama di Chicago, Amerika, mendorongnya memberi rekomendasi kepada BC, bekas teman kuliahnya, yang akan bertugas di Indonesia.  SA, inisial perempuan dimaksud, menunjuk JP sebagai orang yang harus ditemui BC di Makassar, tempat pelayanan barunya. Via JP saya akhirnya dapat berkenalan dengan BC. BC adalah seorang pastor. Seorang Indonesia tulen, tapi menghabiskan begitu banyak usianya di luar negeri (Philiphina dan Amerika). Sah saja, dalam berkomunikasi beberapa kosa kata bahasa Indonesia cukup sulit diucapkan. Kami akhirnya harus belajar menerima kenyataan teman baru yang aktif ngobrol dalam bahasa mix, Indonesia campur (Inggris). Dampak  cross culture.
            BC adalah sosok yang rendah hati, peka, kritis dan open minded. Apresiasi dan pengalamannya dalam penguatan bangunan kesadaran pluralisme dan perdamaian selama di Philipina dan Amerika membuatnya tidak menemui kendala beradaptasi dengan konteks dinamika Forlog. Kehadiran BC memberi ruang baru bagi saya dalam pergumulan dialog lintas agama. Arena dialog mulai lebih meluas, Kristen dan Katolik. Terjadi pengayaan wacana, pun pengalaman dalam beragama. Seiring dengan itu, produktifitas dan kualitas pertemuan kami juga kian mengkristal. Mulai muncul ide-ide, gagasan dan konsep berfokus bagaimana “menularkan” pengalaman beragama berbeda dalam runag bersesama secara transformatif kepada komunitas lapisan sosial usia produktif, yaitu mahasiswa. Maka diinisiasilah kegiatan Sharing for Peace.
            Pertanyaannya adalah abagimana kegiatan itu dikelola? Beberapa kali kami melakukan pertemuan di rumah JP juga di tempat BC untuk mendiskusikannya. Sekitar tujuh kali, seingat saya,  pertemuan itu terjadi guna membincangkan tujuan, output, outcome, metode, pendekatan dan alur proses kegiatan. Intensitas dan kualitas pertemuan sangat menyita energi; tenaga dan pikiran. Betul-betul melelahkan, mungkin karena kami terlalu memimpikan sesuatu yang terbaik atau juga itu merupakan hanya bentuk lain dari sebuah ajang show force atau kontestasi pribadi masing-masing. Entahlah. Kami bahkan sampai biasanya mempertanyakan ulang apa yang sedang kami dikerjakan. Kenapa bisa seserius itu jadinya? Tidak ada sedikitpun intres (pejoratif) bertopeng misi agama; islamisasi, protestanisasi atau kotolikisasi. Di benak kami cuma ada ketulusan, kejujuran, kebaikan niat dan hasrat keyakinan yang begitu kuat untuk pembangunan perdamaian dan penguatan kesadaran menerima perbedaan. Hal paling serius dipersoalkan dan diperdebatkan adalah bahwa pengetahuan kami yang blank tentang pengalaman beragama calon peserta yang sudah pasti beragam dan memiliki unik sendiri-sendiri berikut bagaimana mengalirkan pengalaman-pengalaman tersebut secara jujur dan terbuka ke sesama calon peserta tanpa beban sedikitpun.
            Kami akhirnya menyepakati sebuah rumusan sistematika pertanyaan bertingkat dengan toleransi kontrol yang dapat dimoderasi menyangkut hal-hal yang terbilang sangat personal dan sensitif. Pertanyaan seperti bagaimana pendapat seseorang tentang fenomena mencap orang (stigmatisasi) yang berbeda agama sebagai “kafir” dan pasti akan masuk neraka misalnya. Atau juga, bagaimana pendapat seseorang tentang kerusuhan berdarah, perang dan bom bunuh diri yang dilakukan atas nama agama dan Tuhan. Atau juga, bagaimana kita bisa membenarkan dan menerima bahwa sebuah keluarga plural dalam hal agama akan surga semua? Kadar sensifitas pertanyaan seperti ini sangat tinggi  dan personal sifatnya. Tapi, pertanyaan-pertanyaan ini teramat sangat penting dan dibutuhkan guna menggali pengalaman beragama  dan potensial bagi sebuah perjumpaan yang tulus, jujur dan saling percaya atar sesama peserta. Harus dicoba. Sebab, ini proses “pembatinan” pengalaman.
            Amazing! Proses perjumpaan dalam arena Sharing for Peace berjalan sangat indah. Kekhawatiran terhadap sensifitas, kecurigaan (prejudice) dan ketersinggungan beragama selama kegiatan berlangsung tergantikan dengan kegahagiaan penuh haru. Para peserta tampak sangat antusias untuk saling berbagi dan mendengar dengan seksama ceritera demi ceritera antar mereka. Saling bertanya untuk memahami lebih dalam sebuah penceritaan bisa mereka dinikmati. Sebuah pengalaman yang baru dan penuh makna karena mereka bisa mendengarkan secara langsung bagaimana seorang berbeda agama menceritakan pengalaman beragama dan penilain terhadap klaim-klaim (pejoratif) menyesatkan dalam konteks pewarisan pemahaman ajaran agama-agama.    
Peserta yang umumnya adalah mahasiswa dan berlatarbelakang agama berbeda; Islam, Kristen dan Katolik, itu berani jujur, terbuka dan tulus berceritera kepada sesama tentang pengalaman beragama termasuk pada bagian-bagian yang sebelumnya dikategorikan sangat sensitif dan personal sifatnya. Hebatnya lagi, proses berbagi pengalaman itu kemudian mereka lanjutkan di kamar-kamar sampai kantuk tak tertahan memaksa mereka beristirahat. Kamar memang sengaja didesain dengan kebutuhan perjumpaan peserta berbeda agama.  
Kami yang menjadi bagian dari dan terlibat aktif dalam keseluruhan proses kegiatan Sharing for Peace juga merasa sangat tercerahkan dengan proses berbagi pengalaman beragama selama tiga hari itu. Kami mendapatkan begitu banyak pembelajaran berbeda dari tiap-tiap peserta yang teramat kaya, beragam dan unik. Dan, itu semua semakin menambah khazanah dan kian menegaskan pilihan untuk konsisten (on track) pada usaha-usaha pemberdayaan dan penguatan kesadaran menerima perbedaan; agama, budaya, suku dan etnik, sebagai sesuatu given, keniscayaan universal atau sunnatullah.
 
Jamuan spiritual
            Ikatan persaudaraan kami tambah jadi saja. Bak disambar petir BC mengutarakan niatanya untuk ikut shalat jum’at. Saya dan MY awalnya ragu dengan niat BC. Tapi, akhirnya kami putuskan bersama menuju mesjid untuk menuaikan ibadah shalat jum’at. Usai shalat banyak sekali jamaah yang menyalami BC. Kami tidak mengerti, kenapa itu terjadi sebab warga di situ mengenal dan tahu bahwa BC adalah seorang pastor dan pimpinan sebuah komunitas katolik CICM, Sang Tunas, yang lokasinya berseberangan jalan dengan mesjid itu. Kami juga tidak pernah menanyakan alasan kenapa BC mau shalat jum’at. BC sendiri hanya bertanya apakah tidak boleh?
            Kondisi yang relatif sama juga terjasi. Pada suatu kesempatan saya bertanya kepada BC apakah saya bisa ikut misa yang dipimpinnya. “Siapa yang melarang orang datang ke rumah Tuhan”? tanya BC. Akhirnya, saya dengan sangat senang hati dan bersemangat bisa beberapa kali mengikuti misa; kematian, minggu dan natal, di Katedral Makassar. Sebuah pengalaman yang membanggakan. Sejak itu, saya tidak punya beban sedikitpun untuk ikut misa. Saya bahkan akhirnya bisa berkenalan baik dengan beberapa pastor, biarawati dan umat katolik di Katedral. Tak pernah terbersit sedikitpun kekhawatiran bahwa iman saya sebagai seorang muslim akan ternodai, goyah atau bahkan sampai membuat  pilihan pindah agama, menjadi seorang katolik. Dalam benak terpikir, seberapa banyak orang Islam sudah menjalani apa yang saya alami?
Dari beberapa kali misa saya menemukan banyak hal yang juga diajarkan dalam Islam. “Inilah nilai universal itu”, simpul saya. Pertanyaan BC di atas teringat kembali, “Siapa yang melarang orang datang ke rumah Tuhan”? Saya jadi rindu mendapatkan pertanyaan yang sama saat akan memasuki gerbang Pura (Hindu) atau Vihara (Budha) satu saat nanti. Amien.
Sampai saat ini, saya masih seorang yang berislam, muslim, bukan Islam.

MERUMUSKAN SEJARAH MENDEPAN MALUKU

Merumuskan Sejarah Mendepan Maluku

Adalah keharusan sejarah yang memaksa setiap masyarakat
untuk  mengejar ketertinggalannya dari masyarakat yang telah lebih dulu
maju dan moodern (Teori “N”)

Bagi sebuah komunitas atau masyarakat berbangsa sejarah dimengerti sebagai gambaran fakta dinamis dengan kecondongan mobil membuka jendela masa depan berikut menutupnya, dan hanya akan terhenti oleh kematiannya sendiri. Sejarah adalah “wangsit”, pada ekstraknya bersemayam nilai-nilai perjuangan yang senantiasa potensial mendorong pemiliknya untuk terus bertumbuh, berkembang dan mengubah. Karena itulah berkaca pada sejarah menjadi suatu kemustian bila sebuah komunitas atau masyarakat berkehendak meraih pencerahan, kecemerlangan dan kebesaran. Tak salahlah jika Sir Betrand Russell mengatakan: “the only thing that we learn from history is that we never learn form it” (adalah kecelakaan manakala yang terjadi adalah bahwa yang kita pelajari dari sejarah bahwa kita tidak pernah mempelajari sejarah).
Che Guevera, revolusioner Cuba, Fazlur Rahman, intelektual muslim Pakistan yang kontroversial dan Rendra, budayawan Indonesia ternama berpandangan menarik sekait signifikansi kontribusi sejarah dalam proses pembentukan cara pandang, pelembagaan mentalitas, independensi sikap dan kemandirian tindakan sebuah komunitas, masyarakat berbangsa. Menurut mereka, sebuah bangsa yang dijajah dalam kurun waktu relatif lama, akan mewarisi budaya menjajah kepada mereka (masyarakat atau bangsa) yang didijajah. Pewarisan ini merupakan konsekuensi dari kewajaran relasi kausalitas (reciprocal) antara penjajah dengan yang dijajah. Bahwa, secara inkulturasi (osmosis) perilaku berkuasa sekaligus menjajah praktis menjadi sebuah terra incognita bagi penguasa (pemerintah) di negara-negara eks koloni atas masyarakatnya.
Tesis ini tidak selamanya dapat dibenarkan, akan tetapi fakta juga memberikan cukup bukti dominan betapa kasus perilaku “kolonialisme” oleh pemerintah junta militer dan sipil-otoritarianisme banyak terjadi di beberapa negara belahan dunia eks koloni seperti di Amerika Selatan (latin), Afrika dan Asia. Munculnya gerakan demokratisasi dan perbebasan komunitas atau masyarakat yang ditindas dan dimiskinkan oleh kebijakan diskriminatif atau tidak berkeadilan -- yang oleh Antonio Gramsci dan Gayatri Chakravorty Spivak disebut subaltern atau sub-human oleh Dom Helder Camara  -- seperti yang hari ini terjadi di Bolivia, Rwanda dan Myanmar misalnya adalah contoh menarik untuk menjelaskan kasus pemberontakan subaltern atau sub-human vis a vis penguasa bermental kolonial. Sudah barang tentu, Indonesia dengan kehusussan problematika dan kompleksitasnya lebih menarik lagi untuk ditelusuri. Kasus penggulingan Soekarno (1965) dan Soeharto (1998) berikut  empat kali pergantian presiden dalam kurun waktu tujuh tahun (1997 – 2004) adalah fakta politik yang merepresentasikan begitu kuatnya “cakar” kolonialisame yang mencengkram mentalitas dan perilaku pemegang kekuasaan atau pemerintah dan betapa keroposnya mentalitas citizenship dan nasionalisme kita. Tidakkah yang kita wariskan adalah bahwa “kita belum merdeka di alam kemerdekaan”?
Dengan sangat menggelitik Petter L. Berger dan Theodor W. Adorno menyimpulakan bahwa sejaran hanya menjadi milik mereka yang menang (berkuasa) dan bukan mereka yang terkalahkan (dikuasai). Lebih menggelitik lagi dan seolah menjastifikasi kesimpulan Berger dan Adorno, secara kritis kasuistis Montgomery Watt mengatakan bahwa “sejak abad IX, sejarah Islam cenderung menjadi sejarah dinasti”. Pendapat-pendapat ini dengan cukup jelas menunjukan bahwa sejarah susungguhnya merupakan konstruk dominasi dan menjadi milik sebuah rezim berkuasa atau pemerintah atas rakyatnya dan bukan sebaliknya, yaitu sejarah dikonstruk sendiri oleh dan menjadi milik sebuah komunitas atau masyarakat berbangsa. Itulah sebabnya, kenapa sehingga sejarah yang lebih kita kenal adalah klaim-klaim sejarah kerajaan-kearajaan di Indonesia, sejarah orde lama atau sejarah orde baru dan bukan sejarah masyarakat berbangsa Indonesia.
Masyarakat Maluku sebagai obyek sejarah kolonial (outsider) dan “kolonialisme” (insider) adalah pasungan yang mematikan kesadaran dan kebebasan berkreasi merumuskan sejarah mendepan Maluku. Oleh karenanya masyarakat Maluku harus melakukan “amputasi” sejarah (discontinuous history) berikut mentransformasikan diri dari posisinya sebagai obyek an sich menjadi subyek sekaligus obyek yang menavigasi arah “mata angin” sejarahnya. Proses transformasi adalah sebuah usaha pemberdayaan kesadaran dan pencitraan masyarakat Maluku agar mampu mengkonstruksi sejarah masa depan berbasis pada kapasitas potensi dan kompetensi; sumber daya, kearakteristik (local wisdom), identitas dan tuntutan kebutuhan perubahan dalam konteks keindonesiaan.
Otonomi daerah adalah sebuah instrumen penting yang memungkinkan masyarakat Maluku mampu memainkan peran sebagai subyek sekaligus obyek sejarah masa depan Maluku. Ruang yang difasilitasi oleh undang-undang nomor 25, 32 dan 33 tahun 2004 misalnya sungguh memberikan kemungkinan itu. Menjadi pertanyaan kita sekarang adalah sejauhmana kesiapan masyarakat Maluku untuk melakukan transformasi diri dari sekedar menjadi obyek sejarah kepada subyek sekaligus obyek sejarah masa depan Maluku?
Terlepas dari urusan siap atau ketidaksiapan di atas, beberapa agenda penting yang harus dipikirkan oleh pemerintah propinsi, kota, kabupaten dan masyarakat di Maluku hari ini adalah: pertama, membuka ruang yang potensial bagi tercipnya kualitas inisiatif, sikap proaktif dan partisipasipatif masyarakat dalam setiap proses perumusan dan keputusan publik. Kedua, menumbuhkan dan mengembangkan kultur politik yang demokratis dan berkeadilan sosial. Ketiga, mengeksplorasi dan mengoptimasi potensi sumber daya Maluku untuk peningkatan kualitas hidup kesejahteraan masyarakat Maluku. Keempat, melakukan studi-studi berbasis potensi lokal bagi kebutuhan penguatan tatanan dan khazanah komunitas dan masyarakat Maluku. Dan kelima, mempersiapkan dan mempromosi sumbedaya manusia Maluku atas dasar kompetensi profesionalisme dan competitiveness (mampu bersaing) di level nasional dan internasional.
Kelima agenda tersebut di atas merupakan agenda penyangga konstruksi sejarah mendepan Maluku, yang secara strategis nantinya dikontekstualisasikan (di-breakdown) ke dalam sektor-sektor pembangunan yang adaptif terhadap ketersediaan sumber daya dan adoptif terhadap kebutuhan perubahan Maluku. Tarulah, sebagai misal, bagaimana agar Maluku mendepan dibangun berbasis pada orientasi dan optimasi komuditi unggulan Maluku, yaitu kelautan dan rempah-rempah secara swakelola, mulai dari mempersiapkan kualitas “embrio” yang hibrid, pengelolaan (pabrikasi) sampai pada pemasaran (domistik dan eksport). Dengan demikian, sejarah mendepan Maluku sangat ditentukan oleh sejauh mana masyarakat Maluku mampu mencitrakan dirinya sebagai “dewa” laut dan rempah-rempah, “dewa” yang menjadi sumber penebar pesona keadilan sosial dan kesejhteraan masyarakat Maluku.
Akhirnya, jika Hobes berpandangan bahwa “kecenderungan setiap manusia adalah hasrat akan kekuasaan abadi yang hanya dapat dihentikan oleh kematian”, maka keharusan masyarakat Maluku untuk melaksanakan kelima agenda tersebut dapat dimengerti sebagai kematian itu. Inilah transformasi yang penulis maksud yaitu terlepasnya masyarakat Maluku sebagai obyek sejarah dari dominasi kekuasaan sentralisme (“kolonialisme”, insider) dan berubah menjadi subyek sekaligus obyek sejarah yang determinan bagi perumusan sejarah mendepan Maluku.


Kapala The Palaapa Center Tulehu
The PCT (Depisit)