Titik Temu Di Jiku Bakudapa
(Catatan ringkas pengalaman perjumpaan di Makassa)
Mujahadah
Jauh sebelum konflik berdarahan Maluku terjadi, antara
tahun 1991 – 1995, “menceburkan” diri dengan ide, gagasan, pemikiran dan konsep
dalam wacana persaudaraan, perdamaian, dialog lintas agama dan bahkan pencarian
titik temu agama-agama sudah jadi sebuah kecenderungan kelompok-kelompok
diskusi yang concern pada
agenda-agenda pembaharuan pemikiran Islam. Berbagai macam literatur, buku,
majalan dan opini di koran-koran seputar wacana itu tak terlewatkan dan selalu
jadi “bulan-bulanan” diskusi bersesama teman-teman di kampus. Perdebatan adalah
suguhan “menu” paforit yang paling kami nikmat. Sepanjang sebuah ide masuk akal
dan bisa dipertanggungjawabkan secara logis sangat terterima dengan baik. Pada
titik itu pemaknaan dan apresiasi terhadap apa dan bagaimana sebuah kebenaran
dipertahurkan, dijunung tinggi, dihormati dan dihargai sebagai keniscayaan
universal.
Tak kenal apakah sebuah gagasan itu datang dari ulama,
pemikir dan intelektual berkaliber dunia yang dihormati umat Islam dan ternama,
teks-teks hadits Nabi atau bahkan teks ayat-ayat al-quran, baik yang dhanni (terbuka dijamah akal) maupun
yang qath’i (tertutup dijamah akal), semuanya
tidak “seprotan” kritik. Pada saat yang bersamaan keterbukaan pembacaan
terhadap ide-ide, gagasan dan tulisan-tulisan tokoh di luar Islam mulai diakrabi.
Ini dilakukan tanpa ada sedikitpun niat (prejudice)
untuk membanding-bandingkan atau mencari-cari kekurangan dan kelemahan agama
lain. Sebab kami sendiri sama sekali tidak tertarik, sangat menyayangkan,
menilai bahwa studi dengan tujuan membanding-bangdingkan satu agama dengan agama
yang lain adalah sebagai langkah mundur dalam studi agama-agama, menutup dialog
yang sehat antar umat beragama (double
standard) dan hanya sangat naif bagi penciptaan ruang akseptansi beragama.
Keterbukaan
pembacaan terhadap pemikiran dan literatur dari agama-agama berbeda semakin
memperkaya perspektif, cara pandang dan wacana di sekitaran tema-tema
kemanusiaan, persaudaraan, perdamaian, dialog lintas agama dan pencarian titik
temu agama-agama. Paling tidak, kami bisa menemukan pandangan dan memperoleh ulasan
tentang konsep-konsep kunci agama berbeda dari sumber-sumber yang orisinil,
berkompoten dan memiliki otoritas (in sider).
Adalah menarik, karena pembacaan terhadap sumber-sember tersebut terasa lebih
representatif dan dialogis dari pada membaca setumpuk literatur dengan fokus
bahasan yang sama tetapi ditulis oleh orang berbeda agama (out sider). Kalaupun ada beberapa tokoh yang menulis dengan cukup
baik tentang agama tertentu yang berbeda dari keyakinannya, maka di samping
jumlahnya dapat dihitung jari, juga karena ruang pengembaran pemikiran dan
pengalaman interaksi beragama mereka juga relatif sangat kaya, melampaui
sekat-sekat perbedaan agama.
Dari situlah, hal mendasar dan paling penting yang
saya sadari adalah bahwa pembacaan dan penerimaan sebuah keyakinan tidak melulu
datang dari proses indoktrinasi teks-teks kitab -- yang diklaim – “suci” an sich, tapi yang lebih penting dari
itu dan sangat determinan adalah proses perjalanan pengalaman sebagai
manifestasi penghidupan teks-teks tersebut dalam ruang praksis sosial keseharian,
baik dalam runag-ruang inter komunitas maupun antar komunitas berbeda. Dengan
kata lain, sebuah keyakinan seyogianya teruji oleh ruang-ruang pengalaman berdialog;
wacana, spiritual, praksis beragama dan interaksi sosial dalam kehidupan
sehari-hari.
Sayang sekali, ruang pembacaan secara monoton terhadap
literatur-literatur agama berbeda
tersebut di atas terasa sangat pasif, hambar dan naif karena cenderung monolog itu
tidak bersinggungan secara dialektis dengan pengalaman perjumpaan dalam arena
dialog yang menghidupakan. Sangat disadari, bahwa terdapat jarak yang begitu signifikan
untuk mengeksplorasi lebih jauh penemuan relasi antara keteguhan keyakinan seseorang
beragama atas teks-teks “kitab suci” dengan pengalaman praksis kehidupan yang
dijalaninya. Pertanyaan-pertanyaan seperti kenapa seseorang harus beragama?
Bisakah seorang tidak perlu beragama tapi dapat menjalankan ajaran agama-agama?
Bolehkah seorang beragama lebih dari satu? Apa pentingnya klaim kebenaran dan
klaim keselamatan bagi mereka yang beragama? Mengapa seseorang rela terbunuh
dan tega membunuh atas nama agama atau Tuhna? Dan, masih banyak lagi.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus mengiang dan teramat sangat mengganggu bathin
dan pikiran ketika membaca helai demi helai catatan panjang sejarah konflik
berdarah umat beragama.
A blessing in disguised
Tahun
1999, oleh AW, seorang kawan dekat, saya diperkenalkan dengan seorang pendeta
protestan (selanjutnya digunakan kata Kristen), berinisial JP. Sebuah penantian
begitu panjang dan melelahkan ahirnya menemukan titik terangnya. Kebahagiaan
luar biasa tentunya. Perkenalan ini sangat diharapkan menjadi langkah awal
untuk mengungkap “misteri” pertanyaan-pertayaan yang selama kurang lebih lima
tahun mengiang dan mengganggu pikiran dan bathin. Semangat!
JP
adalah seorang dosen pada sebuah sekolah tinggi ilmu teologia di Makassar. Oleh
mahasiswanya, JP adalah sosok open minded,
sangat kritis dan independen. Selain aktif sebagai dosen, JP juga adalah
seorang aktifis perempuan. JP cukup aktif terlibat dalam aktifitas
gerakan-gerakan perempuan, baik lokal maupun nasional. Kombinasi akademisi dan
aksifis ini menjadikan cara pandang JP terhadap ajaran agama yang diyakininya,
sikap beragama umat dan tokoh umat maupun lembaga-lembaga gereja Kristen dalam
beberapa hal terbilang khas dan kontra mainstream.
Sebab itulah, JP memiliki ruang tersendiri di mata para mahasiswanya sebagai
salah satu icon pembaharu Kristen di
kampus karena pkiran-pikirannya. JP adalah seorang protestan yang “protestan”,
nilai saya.
Perjumpaan
dengan JP, dari satu kesempatan ke kesempatan yang lain, terlewati dengan warna-warni
diskusi dalam suasana santai kritis. Domain diskusinyapun sangat komprehensip, mulai dari ajaran-ajaran pokok
agama, cara pandang beragama sampai
perilaku beragama, baik dalam Islam maupun Kristen. Seluruh proses diskusi
berlangsung sangat kualitatif dan produktif. Kondisi ini kemudian menyebabkan
kami lebih berani melakukan kritik terhadap cara, sikap dan perilaku beragama
yang konservatif, konvensional dan diklaim taken
for granted. Hasilnya, pertanyaan-pertanyaan di atas akhirnya terjawab.
Bahwa, persoalan agama sesungguhnya sangat persoanal. Institusionalisasi agama
dengan seabrek prosedurnya justru menghilangkan sifat dasar inklusif dan
akseptansi (keterbukaan dan penerimaan) semua agama dan berubah menjadi
eksklusif dan resisten (tertetup dan menjaga jarak) terhadap agama lain. Dari
sinilah akar persoalan klaim kebenaran dan klaim keselamatan sebagai milik umat
beragama tertentu itu mengencang. Dan pada “penampakannya” paling ektrim kedua
klaim ini hadir dengan mengibarkan bendera atas nama agama dan Tuhan dalam berbagai
kerusuhan berdarah dan peperangan antar umat beragama.
Tak
berhenti sampai di arena diskursus saja, kualitas dan produktifitas perjumpaan
berdampak pada apresiasi terhadap keyakinan agama masing-masing. Dalam
kesempatan-kesempatan diskusi di rumahnya, ajakan JP untuk menjalankan shalat
pasti menguak saat azan dikumandangkan. Jp bahkan sudah menyediakan sajadah.
Jika kami kecepatan shalat, JP berceloteh: “kenapa capat sekali”? Pertanyaan itu
jelas sangat menggelitik sekaligus mengritik cara ibadah kami yang kayaknya analog
dengan paket kirima pos; reguler, kilat atau ekspres.
Pun, pada saat bulan puasa, JP juga menyediakan
makanan buka puasa. Tentang buka puasa ini, saya berkelakar kepada JP bahwa
dalam hadits disebutkan “orang yang memberi makan berbuka kepada orang yang
menjalankan puasa akan mendapatkan bobot pahala yang sama dengan orang yang
menjalankan puasa”. Kami sontak tertawa terbahak-bahak karena JP dengan penuh
kegembiraan mengatakan bahwa dia dapat pahala dari kami yang berbuka puasa di
rumahnya. “Dua orang pula, jadi bobot pahalanya rangkap. Sementara, kalian
berdua yang berpuasa -- AW dan saya -- Cuma dapat selipat bobot pahala saja”,
tambah JP.
Kedekatan dan keprcayaan jelas tidak cukup menjelaskan
proses perubahan-perubahan yang terjadi antar kami. Ya, tidak cukup. Sebab kami
lebih merasa menjadi pribadi-pribadi yang sudah terjalin dalam ikatana persaudaraan
meski tidak sedarah. Kami merasa kebersesamaan tersebut sudah tidak berbatas teman
lagi, tapi sebagai sebuah keluarga. Sekali lagi, meski tak sedarah. Kami bisa
secera terbuka berbagi cerita, curhat atau menceritekan berbagai hal meski
pribadi sifatnya sekalipun.
Dari
JP saya akhirnya bisa berkenalan dengan begitu banyak pendeta kristen dan
mahasiswa teologia. Kami bahkan kemudian akhirnya mampu secara bersesama menerjemahkan
ide-ide, gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang lahir dari ruang-ruang perjumpaan
yang dilewati dalam bentuk kerja-kerja nyata penguatan kesadaran menerima
perbedaan, pembangunan perdamaian dan penegakan keadilan sosial. Lebih dari
itu, ajakan tanggungjawab moral dan kegelisahan intelektual dalam pengembanngan
misi kerja-kerja nyata tersebut kemudian dikanalisasi dalam ruang-ruang
komunitas baru yang sedang dalam proses bertumbuh dan berkembang, yaitu Forum
Dialog (Forlog) Antarkita Sulawesi Selatan.
Forlog
betul-betul, dalam perkembangannya lebih lanjut, menjadi sebuah gerakan swadaya
yang bekerja sangat fungsional memfasilitasi terbukanya ruang-ruang perjumpaan komunitas
antar umat beragama, baik dalam skala terbatas (internal anggota) maupun massif
(simpatisan).
Movemento
Gairah
aktifitas Forlog yang sudah tercium oleh seorang perempuan alumni program
magister salah satu perguruan tinggi ternama di Chicago, Amerika, mendorongnya
memberi rekomendasi kepada BC, bekas teman kuliahnya, yang akan bertugas di Indonesia.
SA, inisial perempuan dimaksud, menunjuk
JP sebagai orang yang harus ditemui BC di Makassar, tempat pelayanan barunya.
Via JP saya akhirnya dapat berkenalan dengan BC. BC adalah seorang pastor.
Seorang Indonesia tulen, tapi menghabiskan begitu banyak usianya di luar negeri
(Philiphina dan Amerika). Sah saja, dalam berkomunikasi beberapa kosa kata
bahasa Indonesia cukup sulit diucapkan. Kami akhirnya harus belajar menerima
kenyataan teman baru yang aktif ngobrol dalam bahasa mix, Indonesia campur (Inggris). Dampak cross
culture.
BC
adalah sosok yang rendah hati, peka, kritis dan open minded. Apresiasi dan pengalamannya dalam penguatan bangunan
kesadaran pluralisme dan perdamaian selama di Philipina dan Amerika membuatnya tidak
menemui kendala beradaptasi dengan konteks dinamika Forlog. Kehadiran BC
memberi ruang baru bagi saya dalam pergumulan dialog lintas agama. Arena dialog
mulai lebih meluas, Kristen dan Katolik. Terjadi pengayaan wacana, pun
pengalaman dalam beragama. Seiring dengan itu, produktifitas dan kualitas pertemuan
kami juga kian mengkristal. Mulai muncul ide-ide, gagasan dan konsep berfokus
bagaimana “menularkan” pengalaman beragama berbeda dalam runag bersesama secara
transformatif kepada komunitas lapisan sosial usia produktif, yaitu mahasiswa.
Maka diinisiasilah kegiatan Sharing for Peace.
Pertanyaannya
adalah abagimana kegiatan itu dikelola? Beberapa kali kami melakukan pertemuan
di rumah JP juga di tempat BC untuk mendiskusikannya. Sekitar tujuh kali,
seingat saya, pertemuan itu terjadi guna
membincangkan tujuan, output, outcome, metode, pendekatan dan alur proses
kegiatan. Intensitas dan kualitas pertemuan sangat menyita energi; tenaga dan
pikiran. Betul-betul melelahkan, mungkin karena kami terlalu memimpikan sesuatu
yang terbaik atau juga itu merupakan hanya bentuk lain dari sebuah ajang show force atau kontestasi pribadi
masing-masing. Entahlah. Kami bahkan sampai biasanya mempertanyakan ulang apa
yang sedang kami dikerjakan. Kenapa bisa seserius itu jadinya? Tidak ada sedikitpun
intres (pejoratif) bertopeng misi agama; islamisasi, protestanisasi atau
kotolikisasi. Di benak kami cuma ada ketulusan, kejujuran, kebaikan niat dan
hasrat keyakinan yang begitu kuat untuk pembangunan perdamaian dan penguatan
kesadaran menerima perbedaan. Hal paling serius dipersoalkan dan diperdebatkan
adalah bahwa pengetahuan kami yang blank
tentang pengalaman beragama calon peserta yang sudah pasti beragam dan memiliki
unik sendiri-sendiri berikut bagaimana mengalirkan pengalaman-pengalaman
tersebut secara jujur dan terbuka ke sesama calon peserta tanpa beban
sedikitpun.
Kami
akhirnya menyepakati sebuah rumusan sistematika pertanyaan bertingkat dengan
toleransi kontrol yang dapat dimoderasi menyangkut hal-hal yang terbilang sangat
personal dan sensitif. Pertanyaan seperti bagaimana pendapat seseorang tentang fenomena
mencap orang (stigmatisasi) yang berbeda agama sebagai “kafir” dan pasti akan
masuk neraka misalnya. Atau juga, bagaimana pendapat seseorang tentang
kerusuhan berdarah, perang dan bom bunuh diri yang dilakukan atas nama agama
dan Tuhan. Atau juga, bagaimana kita bisa membenarkan dan menerima bahwa sebuah
keluarga plural dalam hal agama akan surga semua? Kadar sensifitas pertanyaan
seperti ini sangat tinggi dan personal
sifatnya. Tapi, pertanyaan-pertanyaan ini teramat sangat penting dan dibutuhkan
guna menggali pengalaman beragama dan
potensial bagi sebuah perjumpaan yang tulus, jujur dan saling percaya atar
sesama peserta. Harus dicoba. Sebab, ini proses “pembatinan” pengalaman.
Amazing!
Proses perjumpaan dalam arena Sharing for
Peace berjalan sangat indah. Kekhawatiran terhadap sensifitas, kecurigaan (prejudice) dan ketersinggungan beragama
selama kegiatan berlangsung tergantikan dengan kegahagiaan penuh haru. Para
peserta tampak sangat antusias untuk saling berbagi dan mendengar dengan
seksama ceritera demi ceritera antar mereka. Saling bertanya untuk memahami
lebih dalam sebuah penceritaan bisa mereka dinikmati. Sebuah pengalaman yang
baru dan penuh makna karena mereka bisa mendengarkan secara langsung bagaimana
seorang berbeda agama menceritakan pengalaman beragama dan penilain terhadap
klaim-klaim (pejoratif) menyesatkan dalam konteks pewarisan pemahaman ajaran
agama-agama.
Peserta yang umumnya adalah mahasiswa dan berlatarbelakang
agama berbeda; Islam, Kristen dan Katolik, itu berani jujur, terbuka dan tulus berceritera
kepada sesama tentang pengalaman beragama termasuk pada bagian-bagian yang
sebelumnya dikategorikan sangat sensitif dan personal sifatnya. Hebatnya lagi,
proses berbagi pengalaman itu kemudian mereka lanjutkan di kamar-kamar sampai
kantuk tak tertahan memaksa mereka beristirahat. Kamar memang sengaja didesain
dengan kebutuhan perjumpaan peserta berbeda agama.
Kami yang menjadi bagian dari dan terlibat aktif dalam
keseluruhan proses kegiatan Sharing for
Peace juga merasa sangat tercerahkan dengan proses berbagi pengalaman
beragama selama tiga hari itu. Kami mendapatkan begitu banyak pembelajaran
berbeda dari tiap-tiap peserta yang teramat kaya, beragam dan unik. Dan, itu
semua semakin menambah khazanah dan kian menegaskan pilihan untuk konsisten (on track) pada usaha-usaha pemberdayaan
dan penguatan kesadaran menerima perbedaan; agama, budaya, suku dan etnik,
sebagai sesuatu given, keniscayaan
universal atau sunnatullah.
Jamuan spiritual
Ikatan
persaudaraan kami tambah jadi saja. Bak disambar petir BC mengutarakan niatanya
untuk ikut shalat jum’at. Saya dan MY awalnya ragu dengan niat BC. Tapi,
akhirnya kami putuskan bersama menuju mesjid untuk menuaikan ibadah shalat jum’at.
Usai shalat banyak sekali jamaah yang menyalami BC. Kami tidak mengerti, kenapa
itu terjadi sebab warga di situ mengenal dan tahu bahwa BC adalah seorang
pastor dan pimpinan sebuah komunitas katolik CICM, Sang Tunas, yang lokasinya berseberangan
jalan dengan mesjid itu. Kami juga tidak pernah menanyakan alasan kenapa BC mau
shalat jum’at. BC sendiri hanya bertanya apakah tidak boleh?
Kondisi
yang relatif sama juga terjasi. Pada suatu kesempatan saya bertanya kepada BC
apakah saya bisa ikut misa yang dipimpinnya. “Siapa yang melarang orang datang
ke rumah Tuhan”? tanya BC. Akhirnya, saya dengan sangat senang hati dan
bersemangat bisa beberapa kali mengikuti misa; kematian, minggu dan natal, di
Katedral Makassar. Sebuah pengalaman yang membanggakan. Sejak itu, saya tidak
punya beban sedikitpun untuk ikut misa. Saya bahkan akhirnya bisa berkenalan
baik dengan beberapa pastor, biarawati dan umat katolik di Katedral. Tak pernah
terbersit sedikitpun kekhawatiran bahwa iman saya sebagai seorang muslim akan
ternodai, goyah atau bahkan sampai membuat
pilihan pindah agama, menjadi seorang katolik. Dalam benak terpikir,
seberapa banyak orang Islam sudah menjalani apa yang saya alami?
Dari beberapa kali misa saya menemukan banyak hal yang
juga diajarkan dalam Islam. “Inilah nilai universal itu”, simpul saya.
Pertanyaan BC di atas teringat kembali, “Siapa yang melarang orang datang ke
rumah Tuhan”? Saya jadi rindu mendapatkan pertanyaan yang sama saat akan memasuki
gerbang Pura (Hindu) atau Vihara (Budha) satu saat nanti. Amien.
Sampai saat ini, saya masih seorang yang berislam,
muslim, bukan Islam.