Thursday, February 6, 2014

HIBRIDASI LOKALISME MALUKU

 

 
HIBRIDASI LOKALISME MALUKU

          

Keberhasilan proses pembatinan, rekontekstualisasi dan pelembagaan khazanah lokal dalam kehidupan moderen acapkali dikiblatkan pada negara-negara oriental seperti Singapura, Hongkong, Cina dan Jepang. Hongkong sepeninggal Inggris misalnya, tidak serta merta merubah orang-orang Hongkong menjadi manusia-manusia “barat” yang westernisme-antroposentrisme, tapi mereka tetap menjadi diri mereka sendiri, menjadi manusia-manusia yang berpendirian jelas sekaligus tegas diri di atas fondasi nilai-nilai dan tradisi-tradisi budaya yin dan yang sebagai sumber spiritualitas identitas.

Demikianpun Jepang, meski mereka memiliki kemajuan lua biasa dalam dunia teknologi canggin, terutama otomotif, mereka tetap sangat apresiatif dan berkomitmen pada nilai-nilai dan tradisi-tradisi budaya mereka. Nilai gambaru -- yang berati berjuang untuk bertahan hidup sampai titik darah penghabisan -- misalnya, benar-benar kentara sebagai semangat juang dan etos kerja ketika masyarakat Jepang menghadapi benjana Nuklir Fukushima. Budaya malu sangat tampak ketika pejabat publik di Jepang menyalahi moral dan peraturan. Si pejabat langsung mundur dari Jabatan jika bertindak koruptif tanpa harus menunggu proses hukum. Nilai gambaru dan budaya malu benar-benar menjadi karakter yang melembaga sebagai identitas. Kondisi yang kurang lebih sama juga mengemuka di Singapura dan Cina.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita -- orang Maluku -- bisa melakukan proses transformasi sosial seperti dicontohkan manusia Hongkong, Jepang, Cina dan Singapura, yaitu hibridasi budaya? Pertanyaan ini harus dijawab sekarang. Jawaban atas pertanyaan ini adalah kebutuhan mendesak kekinian yang menentukan ekspesi budaya masyarakat Maluku dalam semesta kehidupan; politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, agama dan seterusnya. Jawaban atas pertanyaan ini adalah kebutuhan reaktualisasi nilai-niali, revitalisasi budaya dan rekontekstualisasi paradigma membangun Maluku.  
Hibridasi budaya, menciptakan budaya unggul atau belakangan lebih populer dengan istilah glokalisasi, yaitu sebentuk usaha “menikahkan” nilai dan budaya lokalisme (spiritual-tradisional) dengan nilai globalisme (rasional-moderen). Dengan kata lain, usaha hibridasi budaya atau glokalisasi adalah sebuah ruang “negosiasi” budaya. Dimana, dalam batas-batas tertentu, di satu sisi, sikap adaptasi berikut adoptasi terhadap nilai-nilai globalisme disadari sebagai fenomena yang niscaya, tak terhindarkan dan mau tidak mau pasti dijalani oleh seluruh umat manusia di belahan bumi manapun. Pada saat yang bersamaan, pada sisi lain, dalam batas-batas tertentu pula, komitmen terhadap nilai-nilai lokalisme juga disadari sebagai kebutuhan sosialogis dan klaim pelembagaan identitas budaya sekaligus perlindungan berikut jaminan keberlanjutan eksistensinya.
Proses hibridasi budaya atau glokalisasi jelas bukan sebuah perkara mudah, tetapi relatif teramat sangat kompleks. Proses ini memaksakan adanya ruang dialektika sebagai arena kontestasi kritik budaya yang terbuka dan bertanggungjawab secara moral dan intelektual. Konsekuensinya, tubrukan budaya (cross cultures) tak terhindarkan. Bahkan, tidak saja budaya, dalam skala yang lebih besar, Samuel P. Hungtinton menunjuk adanya tubrukan peradaban (clash of civilizations). Ini berarti, nilai-nilai dan tradisi-tradisi spiritual-tradisional Maluku tidak saja bertubrukan dengan nilai-nilai-taradisi-tradisi rasional-moderen Eropa misalnya, tapi juga dengan nilai-nilai, tradisi-tradisi dan  peradaban lain yang juga memiliki basis spiritual-tradisional seperti India, Persia, China, Afrika dan Amerika Latin.
Kontestasi kritik budaya adalah sebuah arena pertarungan nilai. Dan, pertarungannya saat ini sudah memasuki fase peradangan sangat akut. Instrumen globalisasi; informasi, komikasi dan transportasi, benar-benar menjadi faktor yang tidak saja dominan tapi juga determinan, menyebabkan kontestasi bergerak begitu cepat menembus batas-batas ruang dan waktu konvensional. Apa yang bisa kita saksikan dari kontestasi ini adalah bahwa identitas lokal dipertaruhkan dalam konteks yang lepas dari batas ruang dan waktu.
Generasi baru, seperti generasi Y -- istilah ini lebih populer di Malaysia dari pada di Indonesia – adalah anak-anak yang lahir di tahun 80-an misalnya, dipastikan lebih mewakili identitas global dari pada pada identitas lokal. Generasi Y hadir dengan sangat cekatan mengoptimasi fungsi perangkat teknologi tinggi informatika (gadget). Sebuah trend yang tampak sangat kontras dengan generasi orang tua mereka yang kemungkinan “gaptek” (gagap teknologi) mengoperasikan gadget. Jika orang tua mereka masih membaca kitab suci berbahan kertas, maka generasi Y sudah memanfaatkan e-book untuk membaca kitab suci. Lebih serius, kritik atas cara pandang kitab suci membuka pedebatan baru dalam cara melihat kitab suci. Jika sebelumnya, kitab suci berbahan kertas sangat dijaga kebersihannya, maka generasi Y lebih melihat kecanggihan dan optimalisasi fasilitas dan program baru gadget terkait kitab suci.
Kecepatan dan kemudahan generasi Y mengakses dunia luar -- dengan gadget – memungkinkan cara pandang, sikap dan penderian mereka berseberangan dengan nilai-nilai dan tradisi-tradisi yang menjadi pilar konstruksi identitas generasi mereka sebelumnya. Dalam sistem stratifikasi komunitas sosial tradisional, sistem kepemerintahan feodal tradisional atau sistem pemerintahan raja-raja negeri misalnya, belakangan mengalami pelemah legitimasi dari waktu ke waktu. Nilai-nilai dan tradisi-tradisi yang dibawa globalisme seperi hak asasi manusia dan demokrasi, secara perlahan beradaptasi -- secara sinergis -- dengan nilai-nilai dan tradisi lokalisme. “Pernikahan” lokalisme dan globalisme seolah sudah direstui. Atau, sungguh telah terjadi metamorfosis dari lokalisme menjadi globalisme. Ironis! Jika yang terjadi adalah identitas Maluku hanyalah sebuah pseudo yang tampak tegak di atas nilai-nilai dan tradisi-tradisi yang tercerabut atau -- meminjam istilah Cak Nur -- memfosil.
Adalah menarik mencoba “pisau” nalisa Petter L. Berger untuk membedah arena kontestasi kritik budaya. Dalam The Sacred Canopy, Berger menunjukkan bagaimana dialektika bertumbuh dan berkembangnya sebuah masyarakat bekerja lewat proses eksternalisasi, oyektivasi dan internalisasi. Melalui eksternalisasi, masyarakat menjadi kenyataan buatan manusia. Lewat obyektivasi, masyarakat menjadi kenyataan tersendiri yang berhadapan dengan manusia. Dengan internalisasi, manusia menjadi kenyataan bentukan masyarakat.
Berger secara tidak langsung seolah mengajak masyarakat Maluku untuk menyadari bahwa nilai-nilai dan tradisi-tradisi yang menjelaskan dan menegaskan identitas mereka adalah hasil dari sebuah proses bentukan (dialektika). Sebab itu, keberadannya selalu berpotensi berubah dan dikembangkan. Pertanyaannya, apakah proses tubrukan, kontestasi kritik dan dialektika -- nilai-nilai dan tradisi-tradisi -- budaya bergerak on track secara sporadis dan tanpa bentuk? Jelas tidak! Proses ini bergerak padat rekayasa, sistematis dan terbuka. Nilai-nilai dan tradisi-tradisi, baik lokalisme maupun globalisme, dalam konteks saling tubruk praktis mengalami tarik-menarik, penyaringan, irisan pada penerimaannya atau malah mungkin tertolak total. Tidak heran, jika kita kemudian menyaksikan secara benderang ada orang-orang menolak stratifikasi sosial, feodalisme dan “raja-raja kecil” (lokalisme), ada yang menolak demokrasi dan HAM (globalisme), dan ada juga yang dalam batas-batas tertentu menerima sekaligus menolak lokalisme dan globalisme. Pemilihan raja-raja secara demokratis misalnya, adalah salah satu contoh. Contoh menarik lain adalah proses pelantikan Sahune Makote sebagai Raja Nua Nea (2012). Meski prosesi menggunkan protokoler pemerintah; kenakan topi, baju, celana dan sepatu serba putih, tapi Sahune tetap mengikat kaeng berang di kepalanya sebagai potert identitas Noaulu.
Pilihan dan atau penolakan terhadap nilai-nilai dan tradisi-tradisi lokalisme atau globalisme tertentu adalah konsekuensi seturut perubahan dan perkembangan masyarakat. Semakin tinggi tingkat pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan apresiasi warga masyarakat terhadap nilai-nilai substansial dan universal serta tradisi-tradisi kosmopolit , maka perubahan dan perkembangan tak terhentikan. Pun sebaliknya, rendahnya tingkat pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan apresiasi terhadap nilai-nilai substansial dan universal serta tradisi-tradisi kosmopolit oleh warga masyarakat akan berakibat pada terjadi pelambanan perubahan dan perkembangan. Atau lebih parah lagi, stagmansi atau kematian nilai dan tradisi tertentu.
Nilai-nilai substansial dan universal serta tradisi-tradisi kosmopolit sesungguhnya terdapat dalam lokalisme dan globalisme. Persoalan yang membedakan keduanya lebih pada instrumen artikulasinya atau bahasa. Menghargai hak milik orang lain, menjaga keseimbangan alam, kejujuran, taat pada aturan dan berembuk midalnya beberapa contoh lokalisme yang sudah lama ada sebagai bagian dari jajaringan sistem kehidupan masyarakat Maluku. Lokalisme ini sudah melembaga sebagai identitas masyarakat Maluku jauh sebelum nalar-nalar hak asasi manusia dan demokrasi diperkenalkan.
Sungguh, Lokalitas yang tersebut di atas adalah juga beberapa nilai dan tradisi yang diusung, selalu diperjuangkan dan terus dikembangkan oleh globalisme. Bedanya, lokalisme dalam nalar globalisme dipermak dalam “wajah” dan artikulasi hak asasi manusi dan demokrasi. Semnetara, lokalisme ini di Maluku terartikulasi dalam berbagai macam bahasa lokal yang menyebar di berbagai desa di Maluku.
Glokalisasi atau hibridasi budaya akan selalu menuntut paksa masyarakat Maluku dengan tanpa syarat untuk harus berani bersikap terbuka dan kritis terhadap nilai-nilai dan tradisi-tradisi, baik lokalisme maupun globalisme. Kritik budaya dibutuhkan untuk membentuk sebuah identitas glokalisme Maluku. Sebuah idenditas budaya yang dihibridasi sebagai kemustian bagi masyarakat Maluku agar memiliki kemampuan yang memadai dan selalu siap beadaptasi secara berkelanjutan dengan tiap perubahan dan perkembangan terjadi. Think locally and  globally, but act glocally.

 

No comments:

Post a Comment