Thursday, February 6, 2014

SUARA KAMPUS, SUARA MASYARAKAT MALUKU


The only thing that we learn from history is that 
we never learn from it.


Proses sharing FGD (20/1) di Alula rektorat IAIN Ambon mengalir cair mengisi ruang kegelisahan yang terus menantang dan kian meradang.  Paparan teori, pengalaman, ide dan harapan mengemuka membentuk sebuah konfigurasi yang relatif cukup konpleks untuk diformulasi. Sebuah fenomena yang merepresentasikan kuatnya semangat juang dan keseriusan mendedikasikan diri untuk membangun Maluku damai. Tulisan ini mencoba mengurai kompleksitas itu secara reflektif.   
Konflik Maluku menyisahkan duka dan luka teramat dalam bagi seluruh masyarakat Maluku. Setumpuk hasil pemetaan persoalan dan identifikasi akar konflik yang terdokumentasi apik, berabrek upaya fasilitasi, mediasi dan rekonsiliasi yang sudah dilakukan terapresiasi hebat banyak kalangan, berbagai hasil studi yang sudah dipresentasikan mengagetkan penuh komplikasi rasa, pun segudang rekomendasi brilian yang telah dibuat membongkar status quo, memperlihatkan dengan jelas gambaran kedalaman luka dan duka itu. 
           Mencengangkan! Sebab, berbagai upaya, usaha dan kegiatan berikut hasil-hasilnya tersebut melibatkan begitu banyak stakeholders; institusi, komunitas dan personal, mulai dari level internasional, nasional, regional hingga lokal. Namun demikian, hingga saat ini tak seorangpun dan tak satupun institusi yang bisa memberikan jaminan bahwa konflik Maluku yang meledak 1999 adalah yang terakhir.
           Ketiadaan jaminan adalah persoalan serius yang sangat menggangu keterpenuhan kebutuhan rasa damai, rasa nyaman, rasa aman dan rasa diperlakukan secara adil (diskriminasi) yang dihadapi masyarakat Maluku hari ini dan hari-hari selanjutnya. Pertanyaannya adalah bagaimana kita mengukur capaian berbagai upaya, usaha dan kegiatan berikut hasil-hasilnya di atas dalam konteks antisipasi konflik kemudian? Atau, mungkin tanpa disadari bahwa stakeholders di Maluku sedang menjadi bagian dari proses pembiaran yang bergerak senyap sembari seolah terpaku tiada daya di balik deretan kegiatan yang cenderung formal dan ala kadarnya serta berharap besar dalam doa semoga konflik sekaliber 1999 tidak akan pernah terjadi lagi.
           Terbuka saja, bahwa Maluku tidak memiliki instrumen kontrol yang bisa digunakan untuk mengukur sejauhmana capaian dan usaha rekonsiliasi yang sudah dilakukan dalam berbagai aspek; kebijakan politik daerah (regulasi), ekonomi, hukum, keamanan, sosial budaya, agama dan seterusnya. Ini berarti Maluku belum memiliki grand design untuk antisipasi konflik, sehingga tidak memiliki intrumen kontrol. Apakah ini cukup membenarkan tesis bahwa stakeholders di Maluku tanpa sadar sedang menjadi bagian dari proses pembiaran?
           Persoalan yang dihadapi oleh stakeholders di Maluku adalah sinergi antara gagasan, komitmen dan konsistensi atas gagasan serta keberlanjutan atas komitmen. Sebagai konsekuensinya kemudian adalah pertama, urusan pengelolaan potensi dan antisipasi konflik seolah hanya jadi milik stakeholders tertentu saja. Kedua, agenda-agenda serius untuk menjawab persoalan jaminan kebutuhan keterpenuhan rasa damai, rasa nyaman, rasa aman dan rasa diperlakukan secara adil (diskriminasi) akhirnya “jalan di tempat” dan kian jauh dari harapan.   
           Perguruan Tinggi (PT) dalam konteks ini sangat dibutuhkan suaranya. PT adalah salah satu stakeholder yang memiliki posisi strategis, penting dan menentukan arah pembangunan perdamaian di Maluku karena memiliki otoritas dan kompetensi akademik untuk bersuara secara kritis, radikal, rasional, obyektif dan terbuka ketika menyuarakan kebenaran, kemanusiaan dan keadilan sosial. PT adalah stakeholder yang menjadi mitra sejajar eksekutif (Pemda) dan legislatif (DPRD) dalam merumuskan keputusan dan menentukan kebijakan publik. Sebab itu, sejatinya, PT secara otomatis adalah stakeholder yang memiliki otoritas dan kompetensi untuk melakukan kontrol terhadap semesta urusan yang berkenaan dengan kebutuhan dan kepentingan publik.
          Saat ini dibutuhkan adanya kesadaran dan kesepahaman bersesama terkait formula tanggungjawab intelektual sekaligus moral dan peran profesional sekaligus proporsional Perguruan Tinggi (PT) untuk mendorong berikut mengakselerasi proses pematangan, pelembagaan dan pengembangan khazanah pluralitas Maluku (potensi dan sumber daya sosial; nilai-nila budaya dan agama; pengalaman konflik dan rekonsiliasi) sebagai modal strategi pembangunan perdamaian berkelanjutan di Maluku pasca konflik.
          Beberapa bentuk intervensi, inisiatif dan respon nyata atas kebutuhan ini sesungguhnya sudah dilakukan oleh PT di Maluku. Sebagai misal pelibatan dosen lewat proyek kemitraan Pemkot Ambon-JICA untuk perumusan dan penerbitan buku Pendidikan Orang Basudara. Atau juga, pengadaan mata kuliah seputar perdamaian, pluralisme dan multikultural di IAIN Ambon, UKIM dan STAKPN. Bahkan, lebih dari itu, secara kelembagaan, di ketiga PT tersebut sudah terbentuk pusat sudi perdamaian. Namun begitu, intervensi, inisiatif dan respon dimaksud relatif masih terbatas dan menemukan beberapa tantangan dan kendala sebagai persoalan serius dalam proses implementasinya yang antara lain adalah sumber daya manusia, kemitraan dan sinergi gerakan lintas  institusi, struktur birokrasi, regulasi/kebijakan daerah dan tentu saja budget.
          Berbagai bentuk intervensi, inisiatif dan respon nyata yang sudah dilakukan tersebut jelas benderang patut diapresiasi dan terus didorong menjadi sebuah gerakan kesadaran yang masif. Itu berarti, PT di Maluku dituntut untuk bekerja lebih serius lagi dengan mengotimasi segenap ornamen, status dan identitas yang dimilikinya. 15 tahun pasca pecah konflik 1999 adalah rentang waktu yang cukup panjang. Pembelajaran, pengalaman dan seabrek dokumen studi yang sudah ada idealnya sangat memadai untuk merumuskan keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan publik yang strategis bagi pembangunan perdamaian di Maluku, secara berkelanjutan.
          Fokus poin penting yang dibincangkan dalam FGD Rektor adalah bagaimana menjawab tantangan serius keniscayaan tanggunjawab dan peran PT untuk mendorong, merumuskan dan melakukan pengembangan kurikulum pendidikan perdamaian. Tantangan ini menjadi kian lebih serius sebab PT hanya menjadi salah satu stakeholder yang dalam batasannya hanya dapat mengambil tanggung jawab dan peran tententu, yaitu kerja-kerja di arena akademik.
          Dibutuhkan tanggungjawab dan peran stakeholders lain dalam batas-batasnya juga seperti eksekutif (pemerintah daerah) dan legislatif (DPRD) di arena birokrasi dan politik; pemiliki otoritas atas tiap keputusan dan kebijakan publik. Dan kekuatan staekholders lainnya, civil society seperti LSM dan media yang fungsional dalam proses penguatan kesadaran sosial dan partsipasi publik berikut kontrol atas tiap keputusan/kebijakan publik terkait pengembangan potensi dan kompetensi sumber daya pluralisme, multikulturalisme, di Maluku.
          Dalam pada itu, PT diharapakan dapat meraptak barisan, mengajak stakeholders lain untuk melakukan konsolidasi. TP sebagai lokomotif diharapkan mampu mensinergikan potensi dan kompetensi sumberdaya stakeholders di Maluku dan mendistribusikan tanggungjawab dan peran masing-masing secara proporsional. Tanggalkan ego sektoral dan bekerjalah secara konsisten, penuh komitmen, saling percaya, terbuka dan visioner.
          Konsolidasi sinergi ini sedapatnya diarahkan pada peneluran sebuah grand design pengembangan pendidikan perdamaian, pluralisme dan multikulturalisme di Maluku. Dalam mana, semesta kehidupan masyarakat maluku, mulai politik, ekonomi, hukum, keamanan, sosial, budaya, agama dan seterusnya terpotret sebagai arena-arena pendidikan. Dengan begitu, seluruh keputusan dan kebijakan publik di seluruh sektor kehidupan pada kerangka pertimbangan filosofis dan sosiologisnya selalu dipastikan memiliki sensifitas perdamaian, pluralisme dan multikultural.
          PT sendiri secara internal, dengan Tri Dharma-nya diharapkan juga mampu menerjemahkan grand design secara lebih praksis, strategis dan fungsional. Kerjasama lintas PT juga sangat dibutuhkan untuk memberika respon cepat dan tepat terhadap kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan strategis masyarakat Maluku secara berkelanjutan di berbagai level, baik lokal, regional, nasional maupun nternasional.
          FGD Rektor telah membuka cakrawala baru untuk mendorong PT di Maluku agar mampu bekerja lebih cerdas lagi, lebih keras lagi. “Bola” su ada, lapangan ada, orang pintar su banya. Sakarang, mari atur akang rame-rame jua la katong samua bisa lia deng nikmati “gol-gol” indah yang biking katong pung hati damai 
         What next? tanya salah seorang peserta dengan nada serius. Beta hanya berpikir dengan penuh harap agar PT di Maluku sesegeranya dapat melakukan pemetaan masalah dan SWOT guna menentukan kerja-kerja berjangka lintas stakeholders secara kolaboratif, proporsional, profesional dan berkelanjutan.
         Akahirnya, dalam berimajiner, beta bilang: “menjadikan Maluku sebagai laboratorium perdamaian adalah sebuah mimpi indah, tapi rumusan sebuah grand design pendidikan berparas damai, plural dan multikultur untuk Maluku adalah sebuah momentum. Momentum? Ya, momentum!”  

No comments:

Post a Comment