The only thing that we learn from history is
that
we never learn from it.
we never learn from it.
Proses
sharing FGD (20/1) di Alula rektorat
IAIN Ambon mengalir cair mengisi ruang kegelisahan yang terus menantang dan
kian meradang. Paparan teori,
pengalaman, ide dan harapan mengemuka membentuk sebuah konfigurasi yang relatif
cukup konpleks untuk diformulasi. Sebuah fenomena yang merepresentasikan
kuatnya semangat juang dan keseriusan mendedikasikan diri untuk membangun
Maluku damai. Tulisan ini mencoba mengurai kompleksitas itu secara reflektif.
Konflik
Maluku menyisahkan duka dan luka teramat dalam bagi seluruh masyarakat Maluku.
Setumpuk hasil pemetaan persoalan dan identifikasi akar konflik yang
terdokumentasi apik, berabrek upaya fasilitasi, mediasi dan rekonsiliasi yang
sudah dilakukan terapresiasi hebat banyak kalangan, berbagai hasil studi yang
sudah dipresentasikan mengagetkan penuh komplikasi rasa, pun segudang
rekomendasi brilian yang telah dibuat membongkar status quo, memperlihatkan dengan jelas gambaran kedalaman luka dan
duka itu.
Mencengangkan! Sebab, berbagai
upaya, usaha dan kegiatan berikut hasil-hasilnya tersebut melibatkan begitu
banyak stakeholders; institusi, komunitas dan personal, mulai dari level
internasional, nasional, regional hingga lokal. Namun demikian, hingga saat ini
tak seorangpun dan tak satupun institusi yang bisa memberikan jaminan bahwa
konflik Maluku yang meledak 1999 adalah yang terakhir.
Ketiadaan jaminan adalah
persoalan serius yang sangat menggangu keterpenuhan kebutuhan rasa damai, rasa
nyaman, rasa aman dan rasa diperlakukan secara adil (diskriminasi) yang
dihadapi masyarakat Maluku hari ini dan hari-hari selanjutnya. Pertanyaannya
adalah bagaimana kita mengukur capaian berbagai upaya, usaha dan kegiatan
berikut hasil-hasilnya di atas dalam konteks antisipasi konflik kemudian? Atau,
mungkin tanpa disadari bahwa stakeholders di Maluku sedang menjadi bagian dari
proses pembiaran yang bergerak senyap sembari seolah terpaku tiada daya di
balik deretan kegiatan yang cenderung formal dan ala kadarnya serta berharap
besar dalam doa semoga konflik sekaliber 1999 tidak akan pernah terjadi lagi.
Terbuka saja, bahwa Maluku tidak
memiliki instrumen kontrol yang bisa digunakan untuk mengukur sejauhmana
capaian dan usaha rekonsiliasi yang sudah dilakukan dalam berbagai aspek;
kebijakan politik daerah (regulasi), ekonomi, hukum, keamanan, sosial budaya,
agama dan seterusnya. Ini berarti Maluku belum memiliki grand design untuk antisipasi konflik, sehingga tidak memiliki
intrumen kontrol. Apakah ini cukup membenarkan tesis bahwa stakeholders di
Maluku tanpa sadar sedang menjadi bagian dari proses pembiaran?
Persoalan yang dihadapi oleh
stakeholders di Maluku adalah sinergi antara gagasan, komitmen dan konsistensi
atas gagasan serta keberlanjutan atas komitmen. Sebagai konsekuensinya kemudian
adalah pertama, urusan pengelolaan
potensi dan antisipasi konflik seolah hanya jadi milik stakeholders tertentu
saja. Kedua, agenda-agenda serius
untuk menjawab persoalan jaminan kebutuhan keterpenuhan rasa damai, rasa
nyaman, rasa aman dan rasa diperlakukan secara adil (diskriminasi) akhirnya
“jalan di tempat” dan kian jauh dari harapan.
Perguruan Tinggi (PT) dalam
konteks ini sangat dibutuhkan suaranya. PT adalah salah satu stakeholder yang
memiliki posisi strategis, penting dan menentukan arah pembangunan perdamaian di
Maluku karena memiliki otoritas dan kompetensi akademik untuk bersuara secara
kritis, radikal, rasional, obyektif dan terbuka ketika menyuarakan kebenaran,
kemanusiaan dan keadilan sosial. PT adalah stakeholder yang menjadi mitra sejajar
eksekutif (Pemda) dan legislatif (DPRD) dalam merumuskan keputusan dan
menentukan kebijakan publik. Sebab itu, sejatinya, PT secara otomatis adalah
stakeholder yang memiliki otoritas dan kompetensi untuk melakukan kontrol
terhadap semesta urusan yang berkenaan dengan kebutuhan dan kepentingan publik.
Saat ini dibutuhkan adanya
kesadaran dan kesepahaman bersesama terkait formula tanggungjawab intelektual
sekaligus moral dan peran profesional sekaligus proporsional Perguruan Tinggi
(PT) untuk mendorong berikut mengakselerasi proses pematangan, pelembagaan dan
pengembangan khazanah pluralitas Maluku (potensi dan sumber daya sosial;
nilai-nila budaya dan agama; pengalaman konflik dan rekonsiliasi) sebagai modal
strategi pembangunan perdamaian berkelanjutan di Maluku pasca konflik.
Beberapa bentuk intervensi, inisiatif
dan respon nyata atas kebutuhan ini sesungguhnya sudah dilakukan oleh PT di
Maluku. Sebagai misal pelibatan dosen lewat proyek kemitraan Pemkot Ambon-JICA
untuk perumusan dan penerbitan buku Pendidikan Orang Basudara. Atau juga, pengadaan
mata kuliah seputar perdamaian, pluralisme dan multikultural di IAIN Ambon,
UKIM dan STAKPN. Bahkan, lebih dari itu, secara kelembagaan, di ketiga PT
tersebut sudah terbentuk pusat sudi perdamaian. Namun begitu, intervensi,
inisiatif dan respon dimaksud relatif masih terbatas dan menemukan beberapa
tantangan dan kendala sebagai persoalan serius dalam proses implementasinya
yang antara lain adalah sumber daya manusia, kemitraan dan sinergi gerakan
lintas institusi, struktur birokrasi,
regulasi/kebijakan daerah dan tentu saja budget.
Berbagai bentuk intervensi, inisiatif
dan respon nyata yang sudah dilakukan tersebut jelas benderang patut
diapresiasi dan terus didorong menjadi sebuah gerakan kesadaran yang masif. Itu
berarti, PT di Maluku dituntut untuk bekerja lebih serius lagi dengan
mengotimasi segenap ornamen, status dan identitas yang dimilikinya. 15 tahun
pasca pecah konflik 1999 adalah rentang waktu yang cukup panjang. Pembelajaran,
pengalaman dan seabrek dokumen studi yang sudah ada idealnya sangat memadai
untuk merumuskan keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan publik yang
strategis bagi pembangunan perdamaian di Maluku, secara berkelanjutan.
Fokus poin penting yang
dibincangkan dalam FGD Rektor adalah bagaimana menjawab tantangan serius keniscayaan
tanggunjawab dan peran PT untuk mendorong, merumuskan dan melakukan
pengembangan kurikulum pendidikan perdamaian. Tantangan ini menjadi kian lebih
serius sebab PT hanya menjadi salah satu stakeholder yang dalam batasannya
hanya dapat mengambil tanggung jawab dan peran tententu, yaitu kerja-kerja di
arena akademik.
Dibutuhkan tanggungjawab dan peran stakeholders lain dalam batas-batasnya juga seperti eksekutif (pemerintah daerah) dan legislatif (DPRD) di arena birokrasi dan politik; pemiliki otoritas atas tiap keputusan dan kebijakan publik. Dan kekuatan staekholders lainnya, civil society seperti LSM dan media yang fungsional dalam proses penguatan kesadaran sosial dan partsipasi publik berikut kontrol atas tiap keputusan/kebijakan publik terkait pengembangan potensi dan kompetensi sumber daya pluralisme, multikulturalisme, di Maluku.
Dibutuhkan tanggungjawab dan peran stakeholders lain dalam batas-batasnya juga seperti eksekutif (pemerintah daerah) dan legislatif (DPRD) di arena birokrasi dan politik; pemiliki otoritas atas tiap keputusan dan kebijakan publik. Dan kekuatan staekholders lainnya, civil society seperti LSM dan media yang fungsional dalam proses penguatan kesadaran sosial dan partsipasi publik berikut kontrol atas tiap keputusan/kebijakan publik terkait pengembangan potensi dan kompetensi sumber daya pluralisme, multikulturalisme, di Maluku.
Dalam pada itu, PT diharapakan
dapat meraptak barisan, mengajak stakeholders lain untuk melakukan konsolidasi.
TP sebagai lokomotif diharapkan mampu mensinergikan potensi dan kompetensi
sumberdaya stakeholders di Maluku dan mendistribusikan tanggungjawab dan peran
masing-masing secara proporsional. Tanggalkan ego sektoral dan bekerjalah
secara konsisten, penuh komitmen, saling percaya, terbuka dan visioner.
Konsolidasi sinergi ini sedapatnya
diarahkan pada peneluran sebuah grand
design pengembangan pendidikan perdamaian, pluralisme dan multikulturalisme
di Maluku. Dalam mana, semesta kehidupan masyarakat maluku, mulai politik,
ekonomi, hukum, keamanan, sosial, budaya, agama dan seterusnya terpotret
sebagai arena-arena pendidikan. Dengan begitu, seluruh keputusan dan kebijakan
publik di seluruh sektor kehidupan pada kerangka pertimbangan filosofis dan
sosiologisnya selalu dipastikan memiliki sensifitas perdamaian, pluralisme dan
multikultural.
PT sendiri secara internal,
dengan Tri Dharma-nya diharapkan juga mampu menerjemahkan grand design secara lebih praksis, strategis dan fungsional.
Kerjasama lintas PT juga sangat dibutuhkan untuk memberika respon cepat dan
tepat terhadap kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan strategis
masyarakat Maluku secara berkelanjutan di berbagai level, baik lokal, regional,
nasional maupun nternasional.
FGD Rektor telah membuka cakrawala baru untuk mendorong PT di Maluku agar mampu bekerja lebih cerdas lagi, lebih keras lagi. “Bola” su ada, lapangan ada, orang pintar su banya. Sakarang, mari atur akang rame-rame jua la katong samua bisa lia deng nikmati “gol-gol” indah yang biking katong pung hati damai.
What next? tanya salah seorang peserta dengan nada serius. Beta hanya berpikir dengan penuh harap agar PT di Maluku sesegeranya dapat melakukan pemetaan masalah dan SWOT guna menentukan kerja-kerja berjangka lintas stakeholders secara kolaboratif, proporsional, profesional dan berkelanjutan.
FGD Rektor telah membuka cakrawala baru untuk mendorong PT di Maluku agar mampu bekerja lebih cerdas lagi, lebih keras lagi. “Bola” su ada, lapangan ada, orang pintar su banya. Sakarang, mari atur akang rame-rame jua la katong samua bisa lia deng nikmati “gol-gol” indah yang biking katong pung hati damai.
What next? tanya salah seorang peserta dengan nada serius. Beta hanya berpikir dengan penuh harap agar PT di Maluku sesegeranya dapat melakukan pemetaan masalah dan SWOT guna menentukan kerja-kerja berjangka lintas stakeholders secara kolaboratif, proporsional, profesional dan berkelanjutan.
Akahirnya, dalam berimajiner,
beta bilang: “menjadikan Maluku sebagai laboratorium perdamaian adalah sebuah
mimpi indah, tapi rumusan sebuah grand
design pendidikan berparas damai, plural dan multikultur untuk Maluku adalah
sebuah momentum. Momentum? Ya, momentum!”
No comments:
Post a Comment