Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, (UUD 1945).
Posisi civil society dalam konteks sejarah relasi kekuasaan
mengalami koreksi signifikan. Paling tidak, ada tiga koreksi yang bekerja
secara dialektis dan relatif cukup menggambarkan posisi relasi dimaksud. Pertama,
posisi civil society menjadi bagian integral dari negara. Cicero (106-43
SM), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704) dan Jean Jacques
Rousseau (1712-1778) misalnya adalah beberapa penyokong pandangan relasi civil
society-negara sebagai satu kesatuan; civil society adalah negara. Kedua,
posisi civil society yang tidak saja terpisah dari negara, tapi juga
berdiri secara vis a vis dengan negara. Negara dan civil society adalah
dua arena berbeda. Sosok seperti Adam Ferguson (1723-1816), Thomas Paine
(1737-1809), Hegel (1770-1831), Alex de Tocqueville (1805-1859) dan Ernest
Gelner (1915-1995) misalnya adalah contoh pemikir yang memandang ini. Ketiga,
posisi civil society berdiri secara vis a vis dengan “pemerintah”.
Posisi yang paling terakhir disebut ini yang nyaris lepas dari amatan
kebanyakan pemikir yang concern pada relasi negara, pemerintah dan civil
sosiety. Kenyataan ini dapat dimengerti sebagai akibat dari cara pandang
yang melihat pemerintah sebagai representasi negara secara sporadis dan
apriori. Dan, tidak menutup kemungkinan, umumnya kita menjadi bagian mainstream
cara pandang ini. Terjebak di dalamnya sehingga akhirnya kesulitan membuat
irisan yang tegas antara negara dan pemerintah, terutama pada kerangka praksis
politik; tafsir konstitusi dan kebijakan publik.
Tulisan ini mencoba “menyalami” sekaligus menyelami koreksi ketiga,
relasi civil society dan “pemerintah”, dalam tema versus.
Beberapa pertanyaan penting yang menjadi mailstone bagi pengembangan
tulisan ini adalah: pertama, benarkah pemerintah adalah representasi
negara? Kedua, Sejauh mana representasi itu dibenarkan? Ketiga,
bagaimana memilah batasan antara kepentingan negara dan kepentingan pemerintah?
Keempat, kenapa kepentingan pemerintah bekerja melampaui kepentingan
negara? Kelima, kapan civil society harus beridiri secara vis
a vis dengan pemerintah? Pertanyaan-pertanyaan ini secara kontekstual
tersasar pada fenomena civil society di Indonesia.
Pembacaan atas fenomena dan gerakan civil society di Indonesia
tidak bisa dilepaskan dari sejarah proses politik pembentukan negara Indonesia
dan perjalanan ke arah meng-Indonesia yang sejauh ini berjalan sarat konflik,
begitu kompleks dan penuh “drama”. Fakta historis seperti perang antar kerajaan,
perang antara kerajaan dan “anak negri” melawan penjajah, momentum sumpah
pemuda, gejolak politik menjelang kemerdekaan Indonesia, gonta ganti sistem
pemerintah pada masa Orde Lama, gerakan separatisme ideologis, KKN Orde Baru,
pelengseran dua presiden dalam kurun waktu tiga tahun (1997 dan 2000),
pergantian empat presiden dalam tujuh tahun (1999 – 2004) di era reformasi dan
berbagai kasus pemilu/pemilu kada di era desentralisasi atau otonami daerah,
kiranya cukup menggambarkan betapa konflik, kopleksitas dan “drama” yang
terjadi berkontribusi signifikan terhadap proses pembentukan negara Indonesia
dan meng-Indonesia. Pendek kata, monarkisme, kolonialisme dan transaksionalisme
dalam tata kelola negara menjadi akar persoalan kemunculan gerakan civil society
di Indonesia.
Negara Indonesia adalah sebuah manifestasi dari pelembagaan kehendak
baik individu maupun kelompok sosial, rakyat atau warga bangsa dengan segenap
khazanah termiliki di dalamnya sebagai suatu kesemestaan untuk mencapai tujuan
bersesama. Kehendak bersesama mana dimaksudkan sebagai keniscayaan kebutuhan
untuk memperoleh kebebasan, menikmati kemerdekaan dan mendapatkan pelayanan
berkeadilan sosial secara sinergis dan proporsional. Mengapa? Sebuah kebebasan,
tanpa kemerdekaan dan keadilan sosial akan sia-sia. Kehadiran kebebasan dan
kemerdekaan tanpa keadilan sosial hanya berpotensi chaos. Pun, tidak
akan pernah ada keadilan sosial tanpa kebebasan dan kemerdekaan. Sinergitas
proporsional ini menjadi core dan zeitgeist demokrasi Indonesia. Dari
sini kedasaran makna bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat menemukan ruang
justifikasi. Artinya, rakyat sebagai pemegang kedaulataan negara berkebutuhan
mendapatkan jaminan perlindungan sekaligus pelayanan yang membebaskan,
memerdekakan dan berkeadilan sosial. Jika jaminan dan pelayanan ketiga
kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka pembelaan dan perjuangan untuk
memperolehnya dibenarkan atas nama kedaulatan rakyat atau negara.
Dalam kerangka demikian, pemerintah sebagai pengelola negara,
diharapkan mampu memberikan jaminan dan pelayanan terhadap pemenuhan kebutuhan
kebebasan, kemerdekaan dan keadilan sosial. Persoalannya kemudian, dalam
prakteknya pemenuhan ketiga kebutuhan ini ternyata belum berjalan sesuai
harapan. Terdapat begitu banyak kepentingan kelompok (the interest groups) yang
bermain dengan menjadikan pemerintah sebagai “kuda tunggangan”. Negara oleh
pengelolanya atau pemerintah hanya diurus untuk kepentingan politik kekuasaan
kelompok tertentu. Negara akhirnya seolah jadi milik kelompok tertentu yang
menguasai dan mengendalikan roda pemerintah. Dan, untuk melanggengkan
kekuasaan, berbagai tafsir atas konstitusi, regulasi dan kebijakan dibuat
secara terstruktur dan sistemik dilakukan “pemerintah” sehingga menjamin
keberlangsungan posisi status quo dalam mengendalikan negara. Negara
menjadi arena oligarkisme “pemerintah”, dan kemungkinan juga kepemerintahan
(eksekutif dan legislatif).
Negara dalam kondisi demikian terlumpuhkan. Kehadiran negara hanya
topeng belaka. Pada saaat yang bersamaan, pemerintah yang sejatinya adalah
pengelola negara bermetamorfosis menjadi ancaman bagi eksistensi dan
keberlanjutan negara. Dengan bertopengkan negara, “pemerintah” begitu leluasa
memberhangus kebebasan, mengubur kemerdekaan dan bertindak diskriminatif atau tidak
adil pada siapa saja atau kelompok sosial manapun yang bergeliat merugikan,
mengancam dan menggoyang status quo. Kritik atas modus pembiaran
konflik, di arena horizontal, berikut bentuk-bentuk penyelesaiannya yang
monoton elitis dan tidak mencungkil akar persoalan, atau juga bagaimana “mesin”
birokrasi, “alat” pengayom masyarakat dan penjaga keamanan negara, di arena
vertikal, digunakan untuk meredam individu atau kelompok sosial yang mencoba
dan berusaha melawan status quo misalnya, sangat dipahami dengan segenap
kesadaran bahwa negara benar-benar ditunggangi dan dilumpuhkan oleh kelompok
politik kepentingan, “pemerintah”. Pada tititk inilah, kerumitan membedakan
sekaligus menentukan batas dan kepentingan antara negara dan “pemerintah”
menjadi hal yang teramat sangat serius. “Pemerintah” tidak lagi menjadi
representasi negara, tapi kamuflase negara.
Kelompok politik berkepentingan tidak melulu berlatarbelakang politik,
tapi bisa juga ekonomi, pengusaha, intelektual, budayawan atau bahkan agamawan.
Kepentingan menjadi alasan stakeholder-stakeholder ini bersinergi dan
berpotensi menunggangi dan memanfaatkan negara. Bahkan, lebih dari itu adalah
merubah negara.
Fenomena kehadiran gerakan dan kekuatan civil society dalam
potret demikian menjadi penting dan dibutuhkan oleh individu dan kelompok
sosial yang kebebasan, kemerdekan dan keadilan sosial dirampas dan juga oleh
negara yang terlumpuhkan oleh kelompok kepentingan yang mengendalikan negara
secara kontra produktif dengan alasan kehadiran negara Indonesia dan keharusan roadmap
meng-Indonesia. Civil society sebagai gerakan dan kekuatan kritis
dibutuhkan peran-peran strategis, produktif, fungsional dan konstruktifnya
untuk mengembalikan kebebasan, kemerdekaan dan keadilan sosial yang dirampas
dan memulihkan negara dari kelumpuhan.
Tantangan berat sekaligus peluang penting yang dihadapi oleh gerakan
dan kekuatan kelompok civil society kemudian adalah mandat, yaitu mandat
rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara. Sejauh ini, gerakan dan kekuatan civil
society bekerja tanpa mandat itu. Sehingganya, gerakan dan kekuatan civil
society cenderung tidak saja terjebak dalam ruang kedap independensi,
idealisme dan integritas, namun juga kesulitan mengembangkan agenda-agenda
perjaungan secara berakar, strategik dan berkelanjutan. Tanpa mandat rakyat,
penjuangan gerakan dan kekuatan civil society akan elitis, tidak
“membumi” dan patut dicurigai.
Mandat rakyat adalah kebutuhan determinan gerakan dan kekuatan civil
society untuk berhadapan secara vis a vis dengan pemerintah. Tanpa
mandat ini gerakan dan kekuatan kelompok-kelompok civil society tidak
akan pernah mampu berbuat banyak. Sudah barang tentu, proses pemerolehan mandat
oleh kelompok civil society dimaksud berbeda dari eksekutif dan
legislatif. Mandat eksekutif dan legislatif adalah pemilu atau pemilu kada,
sementara mandat kelompok civil society diperoleh melalui dukungan nyata
masyarakat terhadap berbagai kegiatan dan aksi yang dilakukan kelompok civil
society dalam memperjuangkan kebebasan, kemerdekaan dan keadilan sosial.
Untuk mendapatkan mandat rakyat, paling tidak, ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi sebuah gerakan atau kekuatan civil society. Pertama,
visioner dalam melihat persoalan kebebasan, kemerdekaan dan keadilan sosial.
Visi sejatinya merupakan “pembatinan” dan pelembagaan kesadaran kebutuhan akan
kebebasan, kemerdekaan dan keadilan sosial oleh siapa saja, semua kelompok
orang tanpa pandang bulu, kapan dan dimanapun. Kedua, bersifat
independen, berdiri sendiri atau tidak menjadi bagian dari sebuah struktur
lain. Jika ini terjadi akan sangat mengganggu kerja dan kinerja gerakan dan
kelompok civil society karena alasan kepentingan. Ketiga,
terbuka. Mampu beradaptasi dan mengikuti tiap perubahan dan perkembangan yang
terjadi dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Keempat,
keberlanjutan. Bahwa apa yang diperjuangkan dan dikerjakan adalah untuk
kebutuhan jangka panjang, jauh ke depan dan kehidupan masa depan.
Kepemilikan atas keempat syarat ini akan sangat menentukan bagaiaman
sebuah gerakan dan kekuatan civil society bisa diterima, memperoleh
mandat dan menjadi bagian sinergi dari proses mengawal, menjaga dan merawat
kebebasan, kemerdekaan dan keadilan sosial dalam bingkai penegakkan kedaulatan
rakyat dan negara. Sinegitas ini menentukan apakah sebuah gerakan dan kekuatan civil
society bisa berhadapan dengan “pemerintah” dalam logika versus.
No comments:
Post a Comment