Tuesday, December 25, 2012

CIVIL SOCIETY VS "PEMERINTAH"



Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, (UUD 1945).

Posisi civil society dalam konteks sejarah relasi kekuasaan mengalami koreksi signifikan. Paling tidak, ada tiga koreksi yang bekerja secara dialektis dan relatif cukup menggambarkan posisi relasi dimaksud. Pertama, posisi civil society menjadi bagian integral dari negara. Cicero (106-43 SM), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704) dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778) misalnya adalah beberapa penyokong pandangan relasi civil society-negara sebagai satu kesatuan; civil society adalah negara. Kedua, posisi civil society yang tidak saja terpisah dari negara, tapi juga berdiri secara vis a vis dengan negara. Negara dan civil society adalah dua arena berbeda. Sosok seperti Adam Ferguson (1723-1816), Thomas Paine (1737-1809), Hegel (1770-1831), Alex de Tocqueville (1805-1859) dan Ernest Gelner (1915-1995) misalnya adalah contoh pemikir yang memandang ini. Ketiga, posisi civil society berdiri secara vis a vis dengan “pemerintah”. Posisi yang paling terakhir disebut ini yang nyaris lepas dari amatan kebanyakan pemikir yang concern pada relasi negara, pemerintah dan civil sosiety. Kenyataan ini dapat dimengerti sebagai akibat dari cara pandang yang melihat pemerintah sebagai representasi negara secara sporadis dan apriori. Dan, tidak menutup kemungkinan, umumnya kita menjadi bagian mainstream cara pandang ini. Terjebak di dalamnya sehingga akhirnya kesulitan membuat irisan yang tegas antara negara dan pemerintah, terutama pada kerangka praksis politik; tafsir konstitusi dan kebijakan publik.

Tulisan ini mencoba “menyalami” sekaligus menyelami koreksi ketiga, relasi civil society dan “pemerintah”, dalam tema versus. Beberapa pertanyaan penting yang menjadi mailstone bagi pengembangan tulisan ini adalah: pertama, benarkah pemerintah adalah representasi negara? Kedua, Sejauh mana representasi itu dibenarkan? Ketiga, bagaimana memilah batasan antara kepentingan negara dan kepentingan pemerintah? Keempat, kenapa kepentingan pemerintah bekerja melampaui kepentingan negara? Kelima, kapan civil society harus beridiri secara vis a vis dengan pemerintah? Pertanyaan-pertanyaan ini secara kontekstual tersasar pada fenomena civil society di Indonesia. 

Pembacaan atas fenomena dan gerakan civil society di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah proses politik pembentukan negara Indonesia dan perjalanan ke arah meng-Indonesia yang sejauh ini berjalan sarat konflik, begitu kompleks dan penuh “drama”. Fakta historis seperti perang antar kerajaan, perang antara kerajaan dan “anak negri” melawan penjajah, momentum sumpah pemuda, gejolak politik menjelang kemerdekaan Indonesia, gonta ganti sistem pemerintah pada masa Orde Lama, gerakan separatisme ideologis, KKN Orde Baru, pelengseran dua presiden dalam kurun waktu tiga tahun (1997 dan 2000), pergantian empat presiden dalam tujuh tahun (1999 – 2004) di era reformasi dan berbagai kasus pemilu/pemilu kada di era desentralisasi atau otonami daerah, kiranya cukup menggambarkan betapa konflik, kopleksitas dan “drama” yang terjadi berkontribusi signifikan terhadap proses pembentukan negara Indonesia dan meng-Indonesia. Pendek kata, monarkisme, kolonialisme dan transaksionalisme dalam tata kelola negara menjadi akar persoalan kemunculan gerakan civil society di Indonesia.

Negara Indonesia adalah sebuah manifestasi dari pelembagaan kehendak baik individu maupun kelompok sosial, rakyat atau warga bangsa dengan segenap khazanah termiliki di dalamnya sebagai suatu kesemestaan untuk mencapai tujuan bersesama. Kehendak bersesama mana dimaksudkan sebagai keniscayaan kebutuhan untuk memperoleh kebebasan, menikmati kemerdekaan dan mendapatkan pelayanan berkeadilan sosial secara sinergis dan proporsional. Mengapa? Sebuah kebebasan, tanpa kemerdekaan dan keadilan sosial akan sia-sia. Kehadiran kebebasan dan kemerdekaan tanpa keadilan sosial hanya berpotensi chaos. Pun, tidak akan pernah ada keadilan sosial tanpa kebebasan dan kemerdekaan. Sinergitas proporsional ini menjadi core dan zeitgeist demokrasi Indonesia. Dari sini kedasaran makna bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat menemukan ruang justifikasi. Artinya, rakyat sebagai pemegang kedaulataan negara berkebutuhan mendapatkan jaminan perlindungan sekaligus pelayanan yang membebaskan, memerdekakan dan berkeadilan sosial. Jika jaminan dan pelayanan ketiga kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka pembelaan dan perjuangan untuk memperolehnya dibenarkan atas nama kedaulatan rakyat atau negara. 

Dalam kerangka demikian, pemerintah sebagai pengelola negara, diharapkan mampu memberikan jaminan dan pelayanan terhadap pemenuhan kebutuhan kebebasan, kemerdekaan dan keadilan sosial. Persoalannya kemudian, dalam prakteknya pemenuhan ketiga kebutuhan ini ternyata belum berjalan sesuai harapan. Terdapat begitu banyak kepentingan kelompok (the interest groups) yang bermain dengan menjadikan pemerintah sebagai “kuda tunggangan”. Negara oleh pengelolanya atau pemerintah hanya diurus untuk kepentingan politik kekuasaan kelompok tertentu. Negara akhirnya seolah jadi milik kelompok tertentu yang menguasai dan mengendalikan roda pemerintah. Dan, untuk melanggengkan kekuasaan, berbagai tafsir atas konstitusi, regulasi dan kebijakan dibuat secara terstruktur dan sistemik dilakukan “pemerintah” sehingga menjamin keberlangsungan posisi status quo dalam mengendalikan negara. Negara menjadi arena oligarkisme “pemerintah”, dan kemungkinan juga kepemerintahan (eksekutif dan legislatif). 

Negara dalam kondisi demikian terlumpuhkan. Kehadiran negara hanya topeng belaka. Pada saaat yang bersamaan, pemerintah yang sejatinya adalah pengelola negara bermetamorfosis menjadi ancaman bagi eksistensi dan keberlanjutan negara. Dengan bertopengkan negara, “pemerintah” begitu leluasa memberhangus kebebasan, mengubur kemerdekaan dan bertindak diskriminatif atau tidak adil pada siapa saja atau kelompok sosial manapun yang bergeliat merugikan, mengancam dan menggoyang status quo. Kritik atas modus pembiaran konflik, di arena horizontal, berikut bentuk-bentuk penyelesaiannya yang monoton elitis dan tidak mencungkil akar persoalan, atau juga bagaimana “mesin” birokrasi, “alat” pengayom masyarakat dan penjaga keamanan negara, di arena vertikal, digunakan untuk meredam individu atau kelompok sosial yang mencoba dan berusaha melawan status quo misalnya, sangat dipahami dengan segenap kesadaran bahwa negara benar-benar ditunggangi dan dilumpuhkan oleh kelompok politik kepentingan, “pemerintah”. Pada tititk inilah, kerumitan membedakan sekaligus menentukan batas dan kepentingan antara negara dan “pemerintah” menjadi hal yang teramat sangat serius. “Pemerintah” tidak lagi menjadi representasi negara, tapi kamuflase negara.
Kelompok politik berkepentingan tidak melulu berlatarbelakang politik, tapi bisa juga ekonomi, pengusaha, intelektual, budayawan atau bahkan agamawan. Kepentingan menjadi alasan stakeholder-stakeholder ini bersinergi dan berpotensi menunggangi dan memanfaatkan negara. Bahkan, lebih dari itu adalah merubah negara. 

Fenomena kehadiran gerakan dan kekuatan civil society dalam potret demikian menjadi penting dan dibutuhkan oleh individu dan kelompok sosial yang kebebasan, kemerdekan dan keadilan sosial dirampas dan juga oleh negara yang terlumpuhkan oleh kelompok kepentingan yang mengendalikan negara secara kontra produktif dengan alasan kehadiran negara Indonesia dan keharusan roadmap meng-Indonesia. Civil society sebagai gerakan dan kekuatan kritis dibutuhkan peran-peran strategis, produktif, fungsional dan konstruktifnya untuk mengembalikan kebebasan, kemerdekaan dan keadilan sosial yang dirampas dan memulihkan negara dari kelumpuhan. 

Tantangan berat sekaligus peluang penting yang dihadapi oleh gerakan dan kekuatan kelompok civil society kemudian adalah mandat, yaitu mandat rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara. Sejauh ini, gerakan dan kekuatan civil society bekerja tanpa mandat itu. Sehingganya, gerakan dan kekuatan civil society cenderung tidak saja terjebak dalam ruang kedap independensi, idealisme dan integritas, namun juga kesulitan mengembangkan agenda-agenda perjaungan secara berakar, strategik dan berkelanjutan. Tanpa mandat rakyat, penjuangan gerakan dan kekuatan civil society akan elitis, tidak “membumi” dan patut dicurigai.
Mandat rakyat adalah kebutuhan determinan gerakan dan kekuatan civil society untuk berhadapan secara vis a vis dengan pemerintah. Tanpa mandat ini gerakan dan kekuatan kelompok-kelompok civil society tidak akan pernah mampu berbuat banyak. Sudah barang tentu, proses pemerolehan mandat oleh kelompok civil society dimaksud berbeda dari eksekutif dan legislatif. Mandat eksekutif dan legislatif adalah pemilu atau pemilu kada, sementara mandat kelompok civil society diperoleh melalui dukungan nyata masyarakat terhadap berbagai kegiatan dan aksi yang dilakukan kelompok civil society dalam memperjuangkan kebebasan, kemerdekaan dan keadilan sosial. 

Untuk mendapatkan mandat rakyat, paling tidak, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebuah gerakan atau kekuatan civil society. Pertama, visioner dalam melihat persoalan kebebasan, kemerdekaan dan keadilan sosial. Visi sejatinya merupakan “pembatinan” dan pelembagaan kesadaran kebutuhan akan kebebasan, kemerdekaan dan keadilan sosial oleh siapa saja, semua kelompok orang tanpa pandang bulu, kapan dan dimanapun. Kedua, bersifat independen, berdiri sendiri atau tidak menjadi bagian dari sebuah struktur lain. Jika ini terjadi akan sangat mengganggu kerja dan kinerja gerakan dan kelompok civil society karena alasan kepentingan. Ketiga, terbuka. Mampu beradaptasi dan mengikuti tiap perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Keempat, keberlanjutan. Bahwa apa yang diperjuangkan dan dikerjakan adalah untuk kebutuhan jangka panjang, jauh ke depan dan kehidupan masa depan. 

Kepemilikan atas keempat syarat ini akan sangat menentukan bagaiaman sebuah gerakan dan kekuatan civil society bisa diterima, memperoleh mandat dan menjadi bagian sinergi dari proses mengawal, menjaga dan merawat kebebasan, kemerdekaan dan keadilan sosial dalam bingkai penegakkan kedaulatan rakyat dan negara. Sinegitas ini menentukan apakah sebuah gerakan dan kekuatan civil society bisa berhadapan dengan “pemerintah” dalam logika versus.

Mengunci tulisan ini, menarik direnungi buah pikiran berikut ini: “kapasitas kreatif, aktif dan inventif bukanlah kapasitas subyek transendental sebagaimana dalam tradisi idealis, melainkan dari agen yang bertindak”, demikian singgung Pierre Bourdieu.

No comments:

Post a Comment