Saturday, August 4, 2012

AL-QURAN BERJALAN: CITRA MANUSIA DEMOKRATIS

Pasca pertempuran Yamama, Umar bin Khattab dengan penuh berani dan sangat percaya diri melontrakan sebuah gagasan “gila” kepada Abu Bakar, khalifah pada saat itu, yaitu ide pengumpulan al-Quran. Sebuah ide brilian,manifestasi kecerdasan kesadaran dan intelektualitas Umar sebagai jawaban atas tuntutankeniscayaan kebutuhan responsifumat menyusulbegitu banyak penghapal al-Quran yang gugur dalam pertempuran itu. Meski ragu lantara tidak menerima otoritas dari Nabi Muhammad -- selanjutnya digunakan terma Nabi -- untuk melakukan kerja cerdas mengumpulkan al-quran, Abu Bakar akhirnya menanggalkan keraguannya dan menunjuk Zayd bin Tsabit sebagai kepala proyek kebajikan tersebut. Gagasan “gila” Umar adalah terobosanbaru dalam tradisi dan ajang inovasi “pengawalan” al-Quran yang dalam perkembangan studi kitab agama-agama kemudian menggaransi orisinalitas al-Quran sejak kurun penurunannya hingga saat ini. 
Kemunculan tiap gagasan “gila” dalam banyak kasus sejarah panjang peradaban umat manusia memang cenderung sarat kontroversial dan bahkan taruh-taruhan independensi, integritas dan nyawa. Namun demikian, “kegilaan” gagasan itu jualah yang menjadi pemicu, spirit dan inspirasi pengerak roda perubahan-perubahan dahsyat dan kemajuan peradaban umat manusia. Para Nabi dan Rasul (“manusia-manusia suci”) pembawa misi Tuhan, Socrates, Umar, Galileo dan Copernicus misalnya, adalah beberapa contoh figur dari sederet manusia penebar pesan-pesan dan gagasan-gagasan “gila”, tidak populer dan tidak taken for granted pada masanya.
Gagasan “gila” Umar untuk “mengawal” al-Quran dalam perkembangannya terus mengalami “metamorfosis”; dari bentuk mushaf (lembaran-lembaran tulisan tangan), dicetak dan dibukukan (seperti yang ada hari ini) dan sampai dalam kemasan high-tech software atau digital. Meski begitu, hari ini masih juga dijumpai bentuk-bentuk “pengawalan” al-Quran model  pra-mushaf seperti yang terjadi di beberapa pesantren dan lembaga pendidikan hapal al-Quran atau juga momen-momen pewarisan kearifan tradisi hapal al-Quran lewat MTQ misalnya. Bahkan, dalam bentuk kemasan yang agak berbeda, “pengawalan” al-Quran belakangan hadir dalam “wajah” Peraturan Daerah (Perda). Sebut saja,Perda baca dan tulis al-Quran seperti di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan dan Kota Solok Sumatera Barat, dan aturan yang mengharuskan adanya tes baca al-Quran terhadap 1.368 orang dalam proses seleksi calon legislatif di Aceh.
Adalah suatu yang luar biasa, varian “pengawalan” tersebut berbuah terjaganya orisanilitas al-Quran secara tekstual (in verbatim). Dikatakan demikian karena proses “pengawalan” berlangsung melawati kurun masa yang tidak pendek, hampir 14 abad atau kurang lebih 1380 tahun, terhitung sejak periode kekhalifahan Abu Bakar (632 – 634) sampai sekarang (2012). Lebih dari itu adalah bahwa proses “pengawalan” dilakukan melampaui babakan sejarah yang penuh dinamika, sarat gejolak dan pertarungan;“berdarah-darah (culutular bleeding, social bleeding dan political bleeding). Tak ayal, varian “pengawalan” tersebut, boleh jadi, yang kemudian secara teologis diklaim sebagai pembenar garansi Tuhan (QS. 15:9) dan atau juga buah dari sikap responsif umat Islam atas warning Nabi tentang akan adanya masa dimana al-Quran tinggal nama an sich(Hadits).
Lepas dari klaim keluarbiasaan itu, hal yang menarik dieksplorasi dari proses “pengawalan” berikut variannya itu adalah bagaimana memberi makna terhadap “pengawalan” sebagai manifestasi garansi Tuhan dan respon umat Islam ataswarning Nabi. Berikut, bagaimana relasi keduanya berdaya mengonstruk sebuah cara pandang sekaligus ekspresi beragama tertentu di kalangan umat Islam (isme-isme).
Paling tidak ada dua mainstream cara pandang yang bisa dirujuk guna menjelaskan pemahaman “pengawalan” dimaksud. Pertama, cara pandang yang melihat “pangawalan” tersebut harus dilakukan dengan cara-cara seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya; menuliskan, membukukan dan mengemasnya dalam berbagai macam bentuk software recorder. Dan kedua, cara pandang yang melihat “pengawalan” sebagai transformasi cara pandang yang pertama. Jika cara pandang pertama cenderung hanya berusaha menjaga orisinalitas teks al-Quran. Maka, cara pandang kedua mencoba “mendekatkan” al-Quran pada kenyataan persoalan-persoalan sosial kemanusiaan. Jika cara pandang pertama cenderung “mengkalkulatori” penggandaan pahala dari tiap irisan huruf dan atau penggalan ayat dan surat al-Quran bagi pembacanya (individual oriented), maka cara pandang kedua lebih membuka ruang  fungsional al-Quran bagi kehidupan bersesama (individual plus social oriented).
Cara pandang pertama jelas positif (untuk menjaga orisinalitas teks al-Quran), meski Taufiq Adnan Amal dalam bukunya Rekonstruksi Sejarah al-Quran, menunjuk begitu banyak klaim dalil atau sumber rujukan teologisnya yang masih sangat debatable. Sebab itu, dengan tetap mengapresiasi cara pandang pertama, tulisan ini mencoba fokus menapaki cara pandang kedua.
Dalam khazanah literatur Islam budi pekerti Nabi digambarkan sebagai al-Quran yang berjalan (Hadits). Penggambaran ini, secara sederhana, bisa dipahami sebagai sebuah ekspresi betapa Nabi sesungguhnya sudah melewati proses transformasi diri, yaitu mentransformasikan -- atau meminjam istilah Petter L. Berger, melakukan eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi -- teks-teks al-Quran ke dalam pola berpikir, bersikap dan bertindaknya. Ini berarti al-Quran tidak cukup sekedar diimani sebagai “penampakan” teks-teks dari wahyu berkualitas aksioma dengan keterjagaan orisinaitasnya (QS. 2:2) dalam senandung yang menggetarkan iman (QS. 8:2), tapi sekaligus juga harus “membumi” diarena praksis-fungsional guna menata berbagai persoalan kehidupan umat manusia, baik di masa kekinian maupun mendepan, yaitu ketidakadilan (keadaban) dan kebutuhan kesejahteraan (peradaban).
Misi “pembumian” Nabiadalah misi keadaban atau penegakan keadilan;  perbaikan moral atau al-akhlaq al-karimah dan misi peradaban atau kebutuhan kesejahteraan; pembangunan tata dunia atau baldatun thayyibatun warabun ghafur. Dan misi ini berhasildiemban. Bahkan, Robert N. Bella kemudian menggambarkan keberhasilan tersebut dalam Beyond Belief sebagai sebuah capaian (keadaban dan peradaban, pen.) terlalu moderen dan melampaui zamannya. Keberhasilan misi Nabi yang dimaksudkan Bella adalah apa yang menjadi misi demokrasi sebagai tujuan kehidupan bernasyarakat, berbangsa dan bernegara hari ini, yaitu penegakkan keadilan (keadaban) dan pemenuhan kebutuhan kesejahteraan (peradaban). 
Capaian Nabi jelas merupakan cermin pembelajaran bahwa al-Quran secara tekstual seyogianya bertransformasi atau mengalami kontekstualisasi dan melembaga dalam fakultas mentalitas manusia sebagaipersonifikasi al-Quran yang berjalan atau citra manusia demokratis. Fenomena Nabi adalah fenomena sesosok pribadi manusia biasa penyampai wahyu dengan protopite anutan publik, terra incognita atau uswatun hasanah. Itu berarti, siapa saja; siapapun dia dan apapun identitasnya; agama, suku, etnik, budaya dan lain sebagainya, tanpa terkecuali, bisa menjadi pribadi dengan kualifikasi kualitas al-Quran yang berjalan. Persoalannya kemudian adalah bagaiman proses transformasi diri dari sosok tekstual menjadi sosok kontekstual berikut pelembagaannya sebagai mentalitas benar-benar benar bekerja ke arah pencapaian kualitas manusia sebagai sosok al-Quran yang berjalan atau citra manusia demokratis? 
Paling tidak, jika dielaborasi, maka ada empat keutamaan pada diri Nabi sehingga kepribadiaanya diidealisasikan sebagai al-Quran yang berjalan. Keempat keutamaan dimaksud dalam dunia kepribadian dikenal dengan hallmark of personality (kepribadian berstempel emas). Pertama adalah intergrity; punya kedirian dan mempertaruhkan harga diri untuk menegakkan kebenaran. Kedua adalah responsibility; kemampuan mengambil tanggung jawab (bukan sikap reaktif) dan tidak lari dari tanggung jawab. Ketiga adalah forgiveness; kemampuan memafkan diri dan memberi maaf kepada orang lain. Dan keempat adalah compassion; kemampuan menciptakan rasa nyaman dan membawa kedamaian.
Akhirnya, ramadhan mungkin relatif cukup menstimulasi kebanyakan orang untuk mengkalkulasitiap irisan huruf dan atau penggalan ayat dan surat al-Quran sehingga berbanding lurus dengan lipatan-lipatan pahala yang diperoleh seseorang yang membacanya. Sikap beragama ‘ala positivisme atau beragama secara kuantitatif ini jelas sama sekali tidaklah salah.Namun begitu,tidaklah salah juga dan adalah lebih baik jika ajakan dari tiap irisan huruf dan atau penggalan ayat dan surat al-Quran tersebut bisa ditransformasikan untuk membentuk sesosok pribadi dengan kualifikasi kualitas al-Quran yang berjalan atau memiliki kualitas citra manusia demokratis, yaitu manusia yang memperjuangkan tegaknya keadilan (keadaban) dan pemenuhan kebutuhan kesejahteraan (peradaban).

No comments:

Post a Comment