Justifikasi
kebenaran sama sekali tidak berkorelasi
dengan asal
dan kiblat sebuah cara pandang; barat atau timur. Tapi, kejelasan dan kepastian
kebenaran berhubungan
dengan keteguhan
pendirian seseorang pada -- omnipresent
-- Tuhan (QS.
2:177). Ini menegaskan ketentuan kebenaran tunggal dan bersumber dari Tuhan (QS. 2:147). Tak ada kebenaran
timur, pun barat. Kebenaran adalah kebenaran itu
sendiri. Selain dari itu, klaim kebenaran hanya pseudo belaka. Kebenaran Tuhan abadi adanya dan pseudo kebenaran adalah relatif.
Demokrasi,
kata Aristoteles, sama sekali tidak berhubungan
dengan persoalan aspirasi dan atau suara mayoritas – minoritas, tapi demokrasi berhubungan dengan
persoalan aspirasi dan atau suara
kebenaran. Maksudnya, demokrasi mengafirmasi kebenaran dan menegasi logika
dominasi mayoraitas atas minoritas. Dengan sebutan lain, kebenaran bisa ada dalam suara mayoratitas, pun minoritas; demokrasi memperjuangkan kebenaran dan menolak secara tegas opsi
aspirasi
kepentingan mayoritas
atau minoritas yang mencederai kebenaran; demokrasi mengapresiasi kebenaran
-- nilai-nilai -- universal seperti kebebasan dan kesetaraan. Sebab itu, bukan
tidak mungkin bahwa apa yang diimajinasikan Aristoteles tentang kebenaran sebagai misi demokrasi
adalah kebenaran tunggal dari Tuhan dimaksud. Sehingga, tak salah lagi, jika
demokrasi yang berarti kedaulatan ada ditangan rakyat menemukan analoginya pada
adagium suara rakyat sebagai suara Tuhan (fox
populi fox dei).
Pertanyaannya
sekarang adalah tidakkah ekstrak “negosiasi” antar tesis tersebut cukup
inspiratif untuk memformulasi
paradigma baru sebagai cara
baca baru tentang demokrasi. Bahwa, sungguh demokrasi merupakan sebentuk pecahan
kristal pemancar kebenaran Tuhan? Jawabannya jelas, kebenaran yang ditemukan di
barat tidak serta merta berasal dari barat. Dan, bahwa klaim demokrasi berasal
dari barat secara substansial
tidak beralsan, bertentangan dengan dalil kebenaran tunggal dan dalih postulat kebenaran logis, sehingganya tertolak dengan sendirinya.
Sebagai
kebenaran tunggal, demokrasi dalam perkembangannya mengalami proses evolusi. Konsep demokrasi terus
berdialektika sejak pertama kali diperkenalkan menyusul capaian-capaian
kemajuan umat manusia dari waktu ke waktu; terdapat lebih dari 1500 rumusan konsep demokrasi. Dan, evolusi signifikan paling
akhir dari demokrasi adalah bahwa demokrasi tidak cukup lagi dipahami ‘ala qadar-nya sebagai cara, media atau
instrumen mengkomunikasikan aspirasi an
sich. Tapi melampaui itu, core
atau ekstrak demokrasi telah berkembang sebagai tujuan, yaitu keadilan dan
kesejahteraan. Pada evolusi tahap inilah ramadhan menarik dicandra sebagai
fenomena spiritualitas demokrasi.
Pada
bulan ramadhan manusia diajak untuk secara hadap diri padat kesadaran untuk
melakukan pemaknaan dan penghayatan dengan benar-benar benar akan keharusan keadilan dan kesejahteraan bagi
kehidupan manusia dan kemanusiaan melalui peket “menu” puasa sebulan penuh. Puasa menawarkan “menu” latihan
kesadaran menegakkan keadilan baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
“Menu” ini mengajarkan kepada setiap orang, siapapun dia, yang menikmatinya
untuk belajar dan terus mengembangkan patron berpikir, bertutur, bersikap dan
bertindak benar dan konsisten, jujur dan terbuka atau tidak berbohong, tulus
atau tidak karena ada interest tertentu
(pejoratif) dan memberi rasa nyaman bagi sesama. Paket “menu” ini, pendek kata,
merupakan sebuah guideline ke arah
proses transformasi diri atau pencitraan diri sesorang untuk menjadi pribadi
yang secara sadar, cerdas dan tegas mampu membedakan dua hal, yaitu kepantasan
hak dan kepatutan tanggung jawab terhadap masyarakat.
Seorang
politisi atau birokrat sebagai contoh – representasi keseluruhan profesi – misalnya, jelas punya kepantasan hak dan
kepatutan tanggung jawab. Ada batas-batas yang menjadi kepantas hak dan
tanggung jawab seorang politisi atau birokrat dan juga batas-batas yang tidak
menjadi kepantasan hak dan kepatutan tanggung jawab mereka. Dengan begitu, seorang politisi
atau birokrat diharapkan memiliki kesadaran kepantasan mengambil haknya
(keadilan pada diri sendiri) dan menjalankan kepatutan tanggung jawabnya
(keadilan pada orang lain, yakni masyarakat). Bukan justru sebaliknya,
mengambil kepantasan hak sendiri dan pada saat yang bersamaan menanggalkan
kepatutan tanggung jawab terhadap orang lain; memberi prioritas pada hak
pribadi sekaligus merampas hak orang lain; mengejar kesejarteraan pribadi
sembari berlaku masa bodoh terhadap kesejahteraan masyarakat; dan hanya mau
adil terhadap diri sendiri dan tidak adil terhadap orang lain.
Pertanyaannya,
mampukah masing-masing kita, apapun profesinya, meng-order “menu” yang ditawarkan ramadhan berikut menyantapnya penuh
selera, padat kenikmatan dan dengan demikian lahapnya? Sehingga resultante dari proses
transformasi diri atau mencitrakan diri berujung pada pencapaian titik klimaks
atau holistisitasnya. Yaitu, sebuah pesona pribadi dengan
kualifikasi kualitas kesadaran yang mampu meletakan secara sejajar dan
berimbang antara kepantasan hak dan kepatutan tanggung jawab. Selanjutnya, bagaimana kualifikasi kualitas kesadaran
seperti itu berdayagema melampaui relatifitas kurun masa ramadhan? Bagaimana
kualifikasi kualitas demikian mampu menguak “misteri” suara-suara Tuhan yang
mengiang pada jeritan orang-orang yang dibodohi, dipinggirkan dan dimiskinkan,
anak-anak yang kesulitan mengakases pendidikan berkualitas atau
putus sekolah, mengalami gizi buruk dan dibuang atau dibunuh karena alasan ekonomi? Bagaimana juga dengan
suara-suara Tuhan yang terpasung pada kesesakkan dada dan tangis pedagang
infrormal yang digusur, orang-orang yang dirampas tanahnya, petani-petani yang
gagal panen, nelayan-nelayan yang nganggur melaut, buruh-buruh yang dilanggar
hak-haknya dan di-PHK, dan seterunya disebabkan keserakahan sekaligus kerakusan kekuasaan; KKN, politik transaksional, partokrasi,
oligarki, kleptokrasi, kapitalisme dan
globalisme, dan pragmatisme akut (materialisme dan individualisme) berkedok kepentingan bersama,
publik, bangsa, nasionalisme dan atas nama pembangunan?
Kesadaran
kepantasan hak dan kepatutan tanggung jawab jelas tidak bermakna apa-apa sama
sekali jika berada pada posisi disfungsional atau pasif. Dan untuk membuatnya
fungsional dan aktif hanya jika seseorang memiliki kepekaan dan kepedulian
terhadap suara-suara Tuhan yang serak menggelegar dalam realitas hidup dan
kehidupan bermasyarakat berikut menerjemahkannya dalam kerja-kerja perjuangan,
pembelaan dan pembebasan untuk penegakan kebenaran atau kedaulatan rakyat (demokrasi).
Kesadaran
akan kepantasan hak dan kepatutan tanggung jawab yang benar merupakan cermin
penguatan komitmen pesona pribadi untuk penegakan keadilan sosial. Sementara,
kepekaan dan kepedulian terhadap sesama merupakan cermin pesona pribadi untuk
penguatan komitmen terhadap perwujdudan kesejahteraan sosial.
Jika
ramadhan mengajak dan mendorong setiap orang untuk memperoleh dan mengelola hak
dan kewajibanya secara proporsional, maka ajakan dan dorongan tersebut
seyogianya tidak sekedar dicekrami sebagai ajakan menjalankan salah satu bentuk
ibadah kepada Tuhan semata; nostalgia spiritual, rekonsiliasi vertikal atau rekonstruksi teologis, tapi terlebih dari itu bahwa ajakan tersebut
juga musti digauli sebagai ajakan moral spiritualitas demokrasi; rekonsiliasi
horizontal atau rekonstruksi teopraksis. Dalam mana, keadilan dan kesejahteraan
sebagai tujuan demokrasi ditemukan pada ranah yang menjamin adanya kebebasan
dan kesetaraan.
Demokrasi, kata Ignas
Kleden, tidak menawarkan surga, tapi paling tidak demokrasi bisa mencegah
terjadinya “neraka” di dunia. Mungkin
Ignas terlalu berhati-hati dan menjaga jarak demokrasi sebagai temuan
pengembaraan pemikiran manusia di barat dari pada sebagai sebuah keniscayaan sunnah tullah atau natural law yang dapat ditemukan dimana saja. Sejatinya,
demokrasi memang menawarkan surga sekaligus mencegah terjadinya “neraka” di
dunia.
No comments:
Post a Comment