Saturday, July 21, 2012

RAMADHAN: SPIRITUALITAS DEMOKRASI

Justifikasi kebenaran sama sekali tidak berkorelasi dengan asal dan kiblat sebuah cara pandang; barat atau timur. Tapi, kejelasan dan kepastian kebenaran berhubungan dengan keteguhan pendirian seseorang pada -- omnipresent -- Tuhan (QS. 2:177). Ini menegaskan ketentuan kebenaran tunggal dan bersumber  dari Tuhan (QS. 2:147). Tak ada kebenaran timur, pun barat. Kebenaran adalah kebenaran itu sendiri. Selain dari itu, klaim kebenaran hanya pseudo belaka. Kebenaran Tuhan abadi adanya dan pseudo kebenaran adalah relatif.
Demokrasi, kata Aristoteles, sama sekali tidak berhubungan dengan persoalan aspirasi dan atau suara mayoritas – minoritas, tapi demokrasi berhubungan dengan persoalan aspirasi dan atau suara kebenaran. Maksudnya, demokrasi mengafirmasi kebenaran dan menegasi logika dominasi mayoraitas atas minoritas. Dengan sebutan lain, kebenaran bisa ada dalam suara mayoratitas, pun minoritas; demokrasi memperjuangkan kebenaran dan menolak secara tegas opsi aspirasi kepentingan mayoritas atau minoritas yang mencederai kebenaran; demokrasi mengapresiasi kebenaran -- nilai-nilai -- universal seperti kebebasan dan kesetaraan. Sebab itu, bukan tidak mungkin bahwa apa yang diimajinasikan Aristoteles tentang kebenaran sebagai misi demokrasi adalah kebenaran tunggal dari Tuhan dimaksud. Sehingga, tak salah lagi, jika demokrasi yang berarti kedaulatan ada ditangan rakyat menemukan analoginya pada adagium suara rakyat sebagai suara Tuhan (fox populi fox dei).
Pertanyaannya sekarang adalah tidakkah ekstrak “negosiasi” antar tesis tersebut cukup inspiratif untuk memformulasi paradigma baru sebagai cara baca baru tentang demokrasi. Bahwa, sungguh demokrasi merupakan sebentuk pecahan kristal pemancar kebenaran Tuhan? Jawabannya jelas, kebenaran yang ditemukan di barat tidak serta merta berasal dari barat. Dan, bahwa klaim demokrasi berasal dari barat secara substansial tidak beralsan, bertentangan dengan dalil kebenaran tunggal dan dalih postulat kebenaran logis, sehingganya tertolak dengan sendirinya.
Sebagai kebenaran tunggal, demokrasi dalam perkembangannya mengalami proses evolusi. Konsep demokrasi terus berdialektika sejak pertama kali diperkenalkan menyusul capaian-capaian kemajuan umat manusia dari waktu ke waktu; terdapat lebih dari 1500 rumusan konsep demokrasi. Dan, evolusi signifikan paling akhir dari demokrasi adalah bahwa demokrasi tidak cukup lagi dipahami ‘ala qadar-nya sebagai cara, media atau instrumen mengkomunikasikan aspirasi an sich. Tapi melampaui itu, core atau ekstrak demokrasi telah berkembang sebagai tujuan, yaitu keadilan dan kesejahteraan. Pada evolusi tahap inilah ramadhan menarik dicandra sebagai fenomena spiritualitas demokrasi.  
Pada bulan ramadhan manusia diajak untuk secara hadap diri padat kesadaran untuk melakukan pemaknaan dan penghayatan dengan benar-benar benar akan keharusan keadilan dan kesejahteraan bagi kehidupan manusia dan kemanusiaan melalui peket “menu” puasa sebulan  penuh. Puasa menawarkan “menu” latihan kesadaran menegakkan keadilan baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. “Menu” ini mengajarkan kepada setiap orang, siapapun dia, yang menikmatinya untuk belajar dan terus mengembangkan patron berpikir, bertutur, bersikap dan bertindak benar dan konsisten, jujur dan terbuka atau tidak berbohong, tulus atau tidak karena ada interest tertentu (pejoratif) dan memberi rasa nyaman bagi sesama. Paket “menu” ini, pendek kata, merupakan sebuah guideline ke arah proses transformasi diri atau pencitraan diri sesorang untuk menjadi pribadi yang secara sadar, cerdas dan tegas mampu membedakan dua hal, yaitu kepantasan hak dan kepatutan tanggung jawab terhadap masyarakat.
Seorang politisi atau birokrat sebagai contoh – representasi keseluruhan profesi – misalnya, jelas punya kepantasan hak dan kepatutan tanggung jawab. Ada batas-batas yang menjadi kepantas hak dan tanggung jawab seorang politisi atau birokrat dan juga batas-batas yang tidak menjadi kepantasan hak dan kepatutan tanggung jawab mereka. Dengan begitu, seorang politisi atau birokrat diharapkan memiliki kesadaran kepantasan mengambil haknya (keadilan pada diri sendiri) dan menjalankan kepatutan tanggung jawabnya (keadilan pada orang lain, yakni masyarakat). Bukan justru sebaliknya, mengambil kepantasan hak sendiri dan pada saat yang bersamaan menanggalkan kepatutan tanggung jawab terhadap orang lain; memberi prioritas pada hak pribadi sekaligus merampas hak orang lain; mengejar kesejarteraan pribadi sembari berlaku masa bodoh terhadap kesejahteraan masyarakat; dan hanya mau adil terhadap diri sendiri dan tidak adil terhadap orang lain.  
Pertanyaannya, mampukah masing-masing kita, apapun profesinya, meng-order “menu” yang ditawarkan ramadhan berikut menyantapnya penuh selera, padat kenikmatan dan dengan demikian lahapnya? Sehingga resultante dari proses transformasi diri atau mencitrakan diri berujung pada pencapaian titik klimaks atau holistisitasnya. Yaitu, sebuah pesona pribadi dengan kualifikasi kualitas kesadaran yang mampu meletakan secara sejajar dan berimbang antara kepantasan hak dan kepatutan tanggung jawab. Selanjutnya, bagaimana kualifikasi kualitas kesadaran seperti itu berdayagema melampaui relatifitas kurun masa ramadhan? Bagaimana kualifikasi kualitas demikian mampu menguak “misteri” suara-suara Tuhan yang mengiang pada jeritan orang-orang yang dibodohi, dipinggirkan dan dimiskinkan, anak-anak yang kesulitan mengakases pendidikan berkualitas atau putus sekolah, mengalami gizi buruk dan dibuang atau dibunuh karena alasan ekonomi? Bagaimana juga dengan suara-suara Tuhan yang terpasung pada kesesakkan dada dan tangis pedagang infrormal yang digusur, orang-orang yang dirampas tanahnya, petani-petani yang gagal panen, nelayan-nelayan yang nganggur melaut, buruh-buruh yang dilanggar hak-haknya dan di-PHK, dan seterunya disebabkan keserakahan sekaligus kerakusan kekuasaan; KKN, politik transaksional, partokrasi, oligarki,  kleptokrasi, kapitalisme dan globalisme, dan pragmatisme akut (materialisme dan individualisme) berkedok kepentingan bersama, publik, bangsa, nasionalisme dan atas nama pembangunan?
Kesadaran kepantasan hak dan kepatutan tanggung jawab jelas tidak bermakna apa-apa sama sekali jika berada pada posisi disfungsional atau pasif. Dan untuk membuatnya fungsional dan aktif hanya jika seseorang memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap suara-suara Tuhan yang serak menggelegar dalam realitas hidup dan kehidupan bermasyarakat berikut menerjemahkannya dalam kerja-kerja perjuangan, pembelaan dan pembebasan untuk penegakan kebenaran atau kedaulatan rakyat (demokrasi).
Kesadaran akan kepantasan hak dan kepatutan tanggung jawab yang benar merupakan cermin penguatan komitmen pesona pribadi untuk penegakan keadilan sosial. Sementara, kepekaan dan kepedulian terhadap sesama merupakan cermin pesona pribadi untuk penguatan komitmen terhadap perwujdudan kesejahteraan sosial. 
Jika ramadhan mengajak dan mendorong setiap orang untuk memperoleh dan mengelola hak dan kewajibanya secara proporsional, maka ajakan dan dorongan tersebut seyogianya tidak sekedar dicekrami sebagai ajakan menjalankan salah satu bentuk ibadah kepada Tuhan semata; nostalgia spiritual, rekonsiliasi vertikal atau rekonstruksi teologis, tapi terlebih dari itu bahwa ajakan tersebut juga musti digauli sebagai ajakan moral spiritualitas demokrasi; rekonsiliasi horizontal atau rekonstruksi teopraksis. Dalam mana, keadilan dan kesejahteraan sebagai tujuan demokrasi ditemukan pada ranah yang menjamin adanya kebebasan dan kesetaraan.
Demokrasi, kata Ignas Kleden, tidak menawarkan surga, tapi paling tidak demokrasi bisa mencegah terjadinya “neraka” di dunia. Mungkin Ignas terlalu berhati-hati dan menjaga jarak demokrasi sebagai temuan pengembaraan pemikiran manusia di barat dari pada sebagai sebuah keniscayaan sunnah tullah  atau natural law  yang dapat ditemukan dimana saja. Sejatinya, demokrasi memang menawarkan surga sekaligus mencegah terjadinya “neraka” di dunia.

No comments:

Post a Comment