Tuesday, December 25, 2012

CIVIL SOCIETY VS "PEMERINTAH"



Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, (UUD 1945).

Posisi civil society dalam konteks sejarah relasi kekuasaan mengalami koreksi signifikan. Paling tidak, ada tiga koreksi yang bekerja secara dialektis dan relatif cukup menggambarkan posisi relasi dimaksud. Pertama, posisi civil society menjadi bagian integral dari negara. Cicero (106-43 SM), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704) dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778) misalnya adalah beberapa penyokong pandangan relasi civil society-negara sebagai satu kesatuan; civil society adalah negara. Kedua, posisi civil society yang tidak saja terpisah dari negara, tapi juga berdiri secara vis a vis dengan negara. Negara dan civil society adalah dua arena berbeda. Sosok seperti Adam Ferguson (1723-1816), Thomas Paine (1737-1809), Hegel (1770-1831), Alex de Tocqueville (1805-1859) dan Ernest Gelner (1915-1995) misalnya adalah contoh pemikir yang memandang ini. Ketiga, posisi civil society berdiri secara vis a vis dengan “pemerintah”. Posisi yang paling terakhir disebut ini yang nyaris lepas dari amatan kebanyakan pemikir yang concern pada relasi negara, pemerintah dan civil sosiety. Kenyataan ini dapat dimengerti sebagai akibat dari cara pandang yang melihat pemerintah sebagai representasi negara secara sporadis dan apriori. Dan, tidak menutup kemungkinan, umumnya kita menjadi bagian mainstream cara pandang ini. Terjebak di dalamnya sehingga akhirnya kesulitan membuat irisan yang tegas antara negara dan pemerintah, terutama pada kerangka praksis politik; tafsir konstitusi dan kebijakan publik.

Tulisan ini mencoba “menyalami” sekaligus menyelami koreksi ketiga, relasi civil society dan “pemerintah”, dalam tema versus. Beberapa pertanyaan penting yang menjadi mailstone bagi pengembangan tulisan ini adalah: pertama, benarkah pemerintah adalah representasi negara? Kedua, Sejauh mana representasi itu dibenarkan? Ketiga, bagaimana memilah batasan antara kepentingan negara dan kepentingan pemerintah? Keempat, kenapa kepentingan pemerintah bekerja melampaui kepentingan negara? Kelima, kapan civil society harus beridiri secara vis a vis dengan pemerintah? Pertanyaan-pertanyaan ini secara kontekstual tersasar pada fenomena civil society di Indonesia. 

Pembacaan atas fenomena dan gerakan civil society di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah proses politik pembentukan negara Indonesia dan perjalanan ke arah meng-Indonesia yang sejauh ini berjalan sarat konflik, begitu kompleks dan penuh “drama”. Fakta historis seperti perang antar kerajaan, perang antara kerajaan dan “anak negri” melawan penjajah, momentum sumpah pemuda, gejolak politik menjelang kemerdekaan Indonesia, gonta ganti sistem pemerintah pada masa Orde Lama, gerakan separatisme ideologis, KKN Orde Baru, pelengseran dua presiden dalam kurun waktu tiga tahun (1997 dan 2000), pergantian empat presiden dalam tujuh tahun (1999 – 2004) di era reformasi dan berbagai kasus pemilu/pemilu kada di era desentralisasi atau otonami daerah, kiranya cukup menggambarkan betapa konflik, kopleksitas dan “drama” yang terjadi berkontribusi signifikan terhadap proses pembentukan negara Indonesia dan meng-Indonesia. Pendek kata, monarkisme, kolonialisme dan transaksionalisme dalam tata kelola negara menjadi akar persoalan kemunculan gerakan civil society di Indonesia.

Negara Indonesia adalah sebuah manifestasi dari pelembagaan kehendak baik individu maupun kelompok sosial, rakyat atau warga bangsa dengan segenap khazanah termiliki di dalamnya sebagai suatu kesemestaan untuk mencapai tujuan bersesama. Kehendak bersesama mana dimaksudkan sebagai keniscayaan kebutuhan untuk memperoleh kebebasan, menikmati kemerdekaan dan mendapatkan pelayanan berkeadilan sosial secara sinergis dan proporsional. Mengapa? Sebuah kebebasan, tanpa kemerdekaan dan keadilan sosial akan sia-sia. Kehadiran kebebasan dan kemerdekaan tanpa keadilan sosial hanya berpotensi chaos. Pun, tidak akan pernah ada keadilan sosial tanpa kebebasan dan kemerdekaan. Sinergitas proporsional ini menjadi core dan zeitgeist demokrasi Indonesia. Dari sini kedasaran makna bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat menemukan ruang justifikasi. Artinya, rakyat sebagai pemegang kedaulataan negara berkebutuhan mendapatkan jaminan perlindungan sekaligus pelayanan yang membebaskan, memerdekakan dan berkeadilan sosial. Jika jaminan dan pelayanan ketiga kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka pembelaan dan perjuangan untuk memperolehnya dibenarkan atas nama kedaulatan rakyat atau negara. 

Dalam kerangka demikian, pemerintah sebagai pengelola negara, diharapkan mampu memberikan jaminan dan pelayanan terhadap pemenuhan kebutuhan kebebasan, kemerdekaan dan keadilan sosial. Persoalannya kemudian, dalam prakteknya pemenuhan ketiga kebutuhan ini ternyata belum berjalan sesuai harapan. Terdapat begitu banyak kepentingan kelompok (the interest groups) yang bermain dengan menjadikan pemerintah sebagai “kuda tunggangan”. Negara oleh pengelolanya atau pemerintah hanya diurus untuk kepentingan politik kekuasaan kelompok tertentu. Negara akhirnya seolah jadi milik kelompok tertentu yang menguasai dan mengendalikan roda pemerintah. Dan, untuk melanggengkan kekuasaan, berbagai tafsir atas konstitusi, regulasi dan kebijakan dibuat secara terstruktur dan sistemik dilakukan “pemerintah” sehingga menjamin keberlangsungan posisi status quo dalam mengendalikan negara. Negara menjadi arena oligarkisme “pemerintah”, dan kemungkinan juga kepemerintahan (eksekutif dan legislatif). 

Negara dalam kondisi demikian terlumpuhkan. Kehadiran negara hanya topeng belaka. Pada saaat yang bersamaan, pemerintah yang sejatinya adalah pengelola negara bermetamorfosis menjadi ancaman bagi eksistensi dan keberlanjutan negara. Dengan bertopengkan negara, “pemerintah” begitu leluasa memberhangus kebebasan, mengubur kemerdekaan dan bertindak diskriminatif atau tidak adil pada siapa saja atau kelompok sosial manapun yang bergeliat merugikan, mengancam dan menggoyang status quo. Kritik atas modus pembiaran konflik, di arena horizontal, berikut bentuk-bentuk penyelesaiannya yang monoton elitis dan tidak mencungkil akar persoalan, atau juga bagaimana “mesin” birokrasi, “alat” pengayom masyarakat dan penjaga keamanan negara, di arena vertikal, digunakan untuk meredam individu atau kelompok sosial yang mencoba dan berusaha melawan status quo misalnya, sangat dipahami dengan segenap kesadaran bahwa negara benar-benar ditunggangi dan dilumpuhkan oleh kelompok politik kepentingan, “pemerintah”. Pada tititk inilah, kerumitan membedakan sekaligus menentukan batas dan kepentingan antara negara dan “pemerintah” menjadi hal yang teramat sangat serius. “Pemerintah” tidak lagi menjadi representasi negara, tapi kamuflase negara.
Kelompok politik berkepentingan tidak melulu berlatarbelakang politik, tapi bisa juga ekonomi, pengusaha, intelektual, budayawan atau bahkan agamawan. Kepentingan menjadi alasan stakeholder-stakeholder ini bersinergi dan berpotensi menunggangi dan memanfaatkan negara. Bahkan, lebih dari itu adalah merubah negara. 

Fenomena kehadiran gerakan dan kekuatan civil society dalam potret demikian menjadi penting dan dibutuhkan oleh individu dan kelompok sosial yang kebebasan, kemerdekan dan keadilan sosial dirampas dan juga oleh negara yang terlumpuhkan oleh kelompok kepentingan yang mengendalikan negara secara kontra produktif dengan alasan kehadiran negara Indonesia dan keharusan roadmap meng-Indonesia. Civil society sebagai gerakan dan kekuatan kritis dibutuhkan peran-peran strategis, produktif, fungsional dan konstruktifnya untuk mengembalikan kebebasan, kemerdekaan dan keadilan sosial yang dirampas dan memulihkan negara dari kelumpuhan. 

Tantangan berat sekaligus peluang penting yang dihadapi oleh gerakan dan kekuatan kelompok civil society kemudian adalah mandat, yaitu mandat rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara. Sejauh ini, gerakan dan kekuatan civil society bekerja tanpa mandat itu. Sehingganya, gerakan dan kekuatan civil society cenderung tidak saja terjebak dalam ruang kedap independensi, idealisme dan integritas, namun juga kesulitan mengembangkan agenda-agenda perjaungan secara berakar, strategik dan berkelanjutan. Tanpa mandat rakyat, penjuangan gerakan dan kekuatan civil society akan elitis, tidak “membumi” dan patut dicurigai.
Mandat rakyat adalah kebutuhan determinan gerakan dan kekuatan civil society untuk berhadapan secara vis a vis dengan pemerintah. Tanpa mandat ini gerakan dan kekuatan kelompok-kelompok civil society tidak akan pernah mampu berbuat banyak. Sudah barang tentu, proses pemerolehan mandat oleh kelompok civil society dimaksud berbeda dari eksekutif dan legislatif. Mandat eksekutif dan legislatif adalah pemilu atau pemilu kada, sementara mandat kelompok civil society diperoleh melalui dukungan nyata masyarakat terhadap berbagai kegiatan dan aksi yang dilakukan kelompok civil society dalam memperjuangkan kebebasan, kemerdekaan dan keadilan sosial. 

Untuk mendapatkan mandat rakyat, paling tidak, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebuah gerakan atau kekuatan civil society. Pertama, visioner dalam melihat persoalan kebebasan, kemerdekaan dan keadilan sosial. Visi sejatinya merupakan “pembatinan” dan pelembagaan kesadaran kebutuhan akan kebebasan, kemerdekaan dan keadilan sosial oleh siapa saja, semua kelompok orang tanpa pandang bulu, kapan dan dimanapun. Kedua, bersifat independen, berdiri sendiri atau tidak menjadi bagian dari sebuah struktur lain. Jika ini terjadi akan sangat mengganggu kerja dan kinerja gerakan dan kelompok civil society karena alasan kepentingan. Ketiga, terbuka. Mampu beradaptasi dan mengikuti tiap perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Keempat, keberlanjutan. Bahwa apa yang diperjuangkan dan dikerjakan adalah untuk kebutuhan jangka panjang, jauh ke depan dan kehidupan masa depan. 

Kepemilikan atas keempat syarat ini akan sangat menentukan bagaiaman sebuah gerakan dan kekuatan civil society bisa diterima, memperoleh mandat dan menjadi bagian sinergi dari proses mengawal, menjaga dan merawat kebebasan, kemerdekaan dan keadilan sosial dalam bingkai penegakkan kedaulatan rakyat dan negara. Sinegitas ini menentukan apakah sebuah gerakan dan kekuatan civil society bisa berhadapan dengan “pemerintah” dalam logika versus.

Mengunci tulisan ini, menarik direnungi buah pikiran berikut ini: “kapasitas kreatif, aktif dan inventif bukanlah kapasitas subyek transendental sebagaimana dalam tradisi idealis, melainkan dari agen yang bertindak”, demikian singgung Pierre Bourdieu.

Saturday, August 4, 2012

AL-QURAN BERJALAN: CITRA MANUSIA DEMOKRATIS

Pasca pertempuran Yamama, Umar bin Khattab dengan penuh berani dan sangat percaya diri melontrakan sebuah gagasan “gila” kepada Abu Bakar, khalifah pada saat itu, yaitu ide pengumpulan al-Quran. Sebuah ide brilian,manifestasi kecerdasan kesadaran dan intelektualitas Umar sebagai jawaban atas tuntutankeniscayaan kebutuhan responsifumat menyusulbegitu banyak penghapal al-Quran yang gugur dalam pertempuran itu. Meski ragu lantara tidak menerima otoritas dari Nabi Muhammad -- selanjutnya digunakan terma Nabi -- untuk melakukan kerja cerdas mengumpulkan al-quran, Abu Bakar akhirnya menanggalkan keraguannya dan menunjuk Zayd bin Tsabit sebagai kepala proyek kebajikan tersebut. Gagasan “gila” Umar adalah terobosanbaru dalam tradisi dan ajang inovasi “pengawalan” al-Quran yang dalam perkembangan studi kitab agama-agama kemudian menggaransi orisinalitas al-Quran sejak kurun penurunannya hingga saat ini. 
Kemunculan tiap gagasan “gila” dalam banyak kasus sejarah panjang peradaban umat manusia memang cenderung sarat kontroversial dan bahkan taruh-taruhan independensi, integritas dan nyawa. Namun demikian, “kegilaan” gagasan itu jualah yang menjadi pemicu, spirit dan inspirasi pengerak roda perubahan-perubahan dahsyat dan kemajuan peradaban umat manusia. Para Nabi dan Rasul (“manusia-manusia suci”) pembawa misi Tuhan, Socrates, Umar, Galileo dan Copernicus misalnya, adalah beberapa contoh figur dari sederet manusia penebar pesan-pesan dan gagasan-gagasan “gila”, tidak populer dan tidak taken for granted pada masanya.
Gagasan “gila” Umar untuk “mengawal” al-Quran dalam perkembangannya terus mengalami “metamorfosis”; dari bentuk mushaf (lembaran-lembaran tulisan tangan), dicetak dan dibukukan (seperti yang ada hari ini) dan sampai dalam kemasan high-tech software atau digital. Meski begitu, hari ini masih juga dijumpai bentuk-bentuk “pengawalan” al-Quran model  pra-mushaf seperti yang terjadi di beberapa pesantren dan lembaga pendidikan hapal al-Quran atau juga momen-momen pewarisan kearifan tradisi hapal al-Quran lewat MTQ misalnya. Bahkan, dalam bentuk kemasan yang agak berbeda, “pengawalan” al-Quran belakangan hadir dalam “wajah” Peraturan Daerah (Perda). Sebut saja,Perda baca dan tulis al-Quran seperti di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan dan Kota Solok Sumatera Barat, dan aturan yang mengharuskan adanya tes baca al-Quran terhadap 1.368 orang dalam proses seleksi calon legislatif di Aceh.
Adalah suatu yang luar biasa, varian “pengawalan” tersebut berbuah terjaganya orisanilitas al-Quran secara tekstual (in verbatim). Dikatakan demikian karena proses “pengawalan” berlangsung melawati kurun masa yang tidak pendek, hampir 14 abad atau kurang lebih 1380 tahun, terhitung sejak periode kekhalifahan Abu Bakar (632 – 634) sampai sekarang (2012). Lebih dari itu adalah bahwa proses “pengawalan” dilakukan melampaui babakan sejarah yang penuh dinamika, sarat gejolak dan pertarungan;“berdarah-darah (culutular bleeding, social bleeding dan political bleeding). Tak ayal, varian “pengawalan” tersebut, boleh jadi, yang kemudian secara teologis diklaim sebagai pembenar garansi Tuhan (QS. 15:9) dan atau juga buah dari sikap responsif umat Islam atas warning Nabi tentang akan adanya masa dimana al-Quran tinggal nama an sich(Hadits).
Lepas dari klaim keluarbiasaan itu, hal yang menarik dieksplorasi dari proses “pengawalan” berikut variannya itu adalah bagaimana memberi makna terhadap “pengawalan” sebagai manifestasi garansi Tuhan dan respon umat Islam ataswarning Nabi. Berikut, bagaimana relasi keduanya berdaya mengonstruk sebuah cara pandang sekaligus ekspresi beragama tertentu di kalangan umat Islam (isme-isme).
Paling tidak ada dua mainstream cara pandang yang bisa dirujuk guna menjelaskan pemahaman “pengawalan” dimaksud. Pertama, cara pandang yang melihat “pangawalan” tersebut harus dilakukan dengan cara-cara seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya; menuliskan, membukukan dan mengemasnya dalam berbagai macam bentuk software recorder. Dan kedua, cara pandang yang melihat “pengawalan” sebagai transformasi cara pandang yang pertama. Jika cara pandang pertama cenderung hanya berusaha menjaga orisinalitas teks al-Quran. Maka, cara pandang kedua mencoba “mendekatkan” al-Quran pada kenyataan persoalan-persoalan sosial kemanusiaan. Jika cara pandang pertama cenderung “mengkalkulatori” penggandaan pahala dari tiap irisan huruf dan atau penggalan ayat dan surat al-Quran bagi pembacanya (individual oriented), maka cara pandang kedua lebih membuka ruang  fungsional al-Quran bagi kehidupan bersesama (individual plus social oriented).
Cara pandang pertama jelas positif (untuk menjaga orisinalitas teks al-Quran), meski Taufiq Adnan Amal dalam bukunya Rekonstruksi Sejarah al-Quran, menunjuk begitu banyak klaim dalil atau sumber rujukan teologisnya yang masih sangat debatable. Sebab itu, dengan tetap mengapresiasi cara pandang pertama, tulisan ini mencoba fokus menapaki cara pandang kedua.
Dalam khazanah literatur Islam budi pekerti Nabi digambarkan sebagai al-Quran yang berjalan (Hadits). Penggambaran ini, secara sederhana, bisa dipahami sebagai sebuah ekspresi betapa Nabi sesungguhnya sudah melewati proses transformasi diri, yaitu mentransformasikan -- atau meminjam istilah Petter L. Berger, melakukan eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi -- teks-teks al-Quran ke dalam pola berpikir, bersikap dan bertindaknya. Ini berarti al-Quran tidak cukup sekedar diimani sebagai “penampakan” teks-teks dari wahyu berkualitas aksioma dengan keterjagaan orisinaitasnya (QS. 2:2) dalam senandung yang menggetarkan iman (QS. 8:2), tapi sekaligus juga harus “membumi” diarena praksis-fungsional guna menata berbagai persoalan kehidupan umat manusia, baik di masa kekinian maupun mendepan, yaitu ketidakadilan (keadaban) dan kebutuhan kesejahteraan (peradaban).
Misi “pembumian” Nabiadalah misi keadaban atau penegakan keadilan;  perbaikan moral atau al-akhlaq al-karimah dan misi peradaban atau kebutuhan kesejahteraan; pembangunan tata dunia atau baldatun thayyibatun warabun ghafur. Dan misi ini berhasildiemban. Bahkan, Robert N. Bella kemudian menggambarkan keberhasilan tersebut dalam Beyond Belief sebagai sebuah capaian (keadaban dan peradaban, pen.) terlalu moderen dan melampaui zamannya. Keberhasilan misi Nabi yang dimaksudkan Bella adalah apa yang menjadi misi demokrasi sebagai tujuan kehidupan bernasyarakat, berbangsa dan bernegara hari ini, yaitu penegakkan keadilan (keadaban) dan pemenuhan kebutuhan kesejahteraan (peradaban). 
Capaian Nabi jelas merupakan cermin pembelajaran bahwa al-Quran secara tekstual seyogianya bertransformasi atau mengalami kontekstualisasi dan melembaga dalam fakultas mentalitas manusia sebagaipersonifikasi al-Quran yang berjalan atau citra manusia demokratis. Fenomena Nabi adalah fenomena sesosok pribadi manusia biasa penyampai wahyu dengan protopite anutan publik, terra incognita atau uswatun hasanah. Itu berarti, siapa saja; siapapun dia dan apapun identitasnya; agama, suku, etnik, budaya dan lain sebagainya, tanpa terkecuali, bisa menjadi pribadi dengan kualifikasi kualitas al-Quran yang berjalan. Persoalannya kemudian adalah bagaiman proses transformasi diri dari sosok tekstual menjadi sosok kontekstual berikut pelembagaannya sebagai mentalitas benar-benar benar bekerja ke arah pencapaian kualitas manusia sebagai sosok al-Quran yang berjalan atau citra manusia demokratis? 
Paling tidak, jika dielaborasi, maka ada empat keutamaan pada diri Nabi sehingga kepribadiaanya diidealisasikan sebagai al-Quran yang berjalan. Keempat keutamaan dimaksud dalam dunia kepribadian dikenal dengan hallmark of personality (kepribadian berstempel emas). Pertama adalah intergrity; punya kedirian dan mempertaruhkan harga diri untuk menegakkan kebenaran. Kedua adalah responsibility; kemampuan mengambil tanggung jawab (bukan sikap reaktif) dan tidak lari dari tanggung jawab. Ketiga adalah forgiveness; kemampuan memafkan diri dan memberi maaf kepada orang lain. Dan keempat adalah compassion; kemampuan menciptakan rasa nyaman dan membawa kedamaian.
Akhirnya, ramadhan mungkin relatif cukup menstimulasi kebanyakan orang untuk mengkalkulasitiap irisan huruf dan atau penggalan ayat dan surat al-Quran sehingga berbanding lurus dengan lipatan-lipatan pahala yang diperoleh seseorang yang membacanya. Sikap beragama ‘ala positivisme atau beragama secara kuantitatif ini jelas sama sekali tidaklah salah.Namun begitu,tidaklah salah juga dan adalah lebih baik jika ajakan dari tiap irisan huruf dan atau penggalan ayat dan surat al-Quran tersebut bisa ditransformasikan untuk membentuk sesosok pribadi dengan kualifikasi kualitas al-Quran yang berjalan atau memiliki kualitas citra manusia demokratis, yaitu manusia yang memperjuangkan tegaknya keadilan (keadaban) dan pemenuhan kebutuhan kesejahteraan (peradaban).

Saturday, July 21, 2012

RAMADHAN: SPIRITUALITAS DEMOKRASI

Justifikasi kebenaran sama sekali tidak berkorelasi dengan asal dan kiblat sebuah cara pandang; barat atau timur. Tapi, kejelasan dan kepastian kebenaran berhubungan dengan keteguhan pendirian seseorang pada -- omnipresent -- Tuhan (QS. 2:177). Ini menegaskan ketentuan kebenaran tunggal dan bersumber  dari Tuhan (QS. 2:147). Tak ada kebenaran timur, pun barat. Kebenaran adalah kebenaran itu sendiri. Selain dari itu, klaim kebenaran hanya pseudo belaka. Kebenaran Tuhan abadi adanya dan pseudo kebenaran adalah relatif.
Demokrasi, kata Aristoteles, sama sekali tidak berhubungan dengan persoalan aspirasi dan atau suara mayoritas – minoritas, tapi demokrasi berhubungan dengan persoalan aspirasi dan atau suara kebenaran. Maksudnya, demokrasi mengafirmasi kebenaran dan menegasi logika dominasi mayoraitas atas minoritas. Dengan sebutan lain, kebenaran bisa ada dalam suara mayoratitas, pun minoritas; demokrasi memperjuangkan kebenaran dan menolak secara tegas opsi aspirasi kepentingan mayoritas atau minoritas yang mencederai kebenaran; demokrasi mengapresiasi kebenaran -- nilai-nilai -- universal seperti kebebasan dan kesetaraan. Sebab itu, bukan tidak mungkin bahwa apa yang diimajinasikan Aristoteles tentang kebenaran sebagai misi demokrasi adalah kebenaran tunggal dari Tuhan dimaksud. Sehingga, tak salah lagi, jika demokrasi yang berarti kedaulatan ada ditangan rakyat menemukan analoginya pada adagium suara rakyat sebagai suara Tuhan (fox populi fox dei).
Pertanyaannya sekarang adalah tidakkah ekstrak “negosiasi” antar tesis tersebut cukup inspiratif untuk memformulasi paradigma baru sebagai cara baca baru tentang demokrasi. Bahwa, sungguh demokrasi merupakan sebentuk pecahan kristal pemancar kebenaran Tuhan? Jawabannya jelas, kebenaran yang ditemukan di barat tidak serta merta berasal dari barat. Dan, bahwa klaim demokrasi berasal dari barat secara substansial tidak beralsan, bertentangan dengan dalil kebenaran tunggal dan dalih postulat kebenaran logis, sehingganya tertolak dengan sendirinya.
Sebagai kebenaran tunggal, demokrasi dalam perkembangannya mengalami proses evolusi. Konsep demokrasi terus berdialektika sejak pertama kali diperkenalkan menyusul capaian-capaian kemajuan umat manusia dari waktu ke waktu; terdapat lebih dari 1500 rumusan konsep demokrasi. Dan, evolusi signifikan paling akhir dari demokrasi adalah bahwa demokrasi tidak cukup lagi dipahami ‘ala qadar-nya sebagai cara, media atau instrumen mengkomunikasikan aspirasi an sich. Tapi melampaui itu, core atau ekstrak demokrasi telah berkembang sebagai tujuan, yaitu keadilan dan kesejahteraan. Pada evolusi tahap inilah ramadhan menarik dicandra sebagai fenomena spiritualitas demokrasi.  
Pada bulan ramadhan manusia diajak untuk secara hadap diri padat kesadaran untuk melakukan pemaknaan dan penghayatan dengan benar-benar benar akan keharusan keadilan dan kesejahteraan bagi kehidupan manusia dan kemanusiaan melalui peket “menu” puasa sebulan  penuh. Puasa menawarkan “menu” latihan kesadaran menegakkan keadilan baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. “Menu” ini mengajarkan kepada setiap orang, siapapun dia, yang menikmatinya untuk belajar dan terus mengembangkan patron berpikir, bertutur, bersikap dan bertindak benar dan konsisten, jujur dan terbuka atau tidak berbohong, tulus atau tidak karena ada interest tertentu (pejoratif) dan memberi rasa nyaman bagi sesama. Paket “menu” ini, pendek kata, merupakan sebuah guideline ke arah proses transformasi diri atau pencitraan diri sesorang untuk menjadi pribadi yang secara sadar, cerdas dan tegas mampu membedakan dua hal, yaitu kepantasan hak dan kepatutan tanggung jawab terhadap masyarakat.
Seorang politisi atau birokrat sebagai contoh – representasi keseluruhan profesi – misalnya, jelas punya kepantasan hak dan kepatutan tanggung jawab. Ada batas-batas yang menjadi kepantas hak dan tanggung jawab seorang politisi atau birokrat dan juga batas-batas yang tidak menjadi kepantasan hak dan kepatutan tanggung jawab mereka. Dengan begitu, seorang politisi atau birokrat diharapkan memiliki kesadaran kepantasan mengambil haknya (keadilan pada diri sendiri) dan menjalankan kepatutan tanggung jawabnya (keadilan pada orang lain, yakni masyarakat). Bukan justru sebaliknya, mengambil kepantasan hak sendiri dan pada saat yang bersamaan menanggalkan kepatutan tanggung jawab terhadap orang lain; memberi prioritas pada hak pribadi sekaligus merampas hak orang lain; mengejar kesejarteraan pribadi sembari berlaku masa bodoh terhadap kesejahteraan masyarakat; dan hanya mau adil terhadap diri sendiri dan tidak adil terhadap orang lain.  
Pertanyaannya, mampukah masing-masing kita, apapun profesinya, meng-order “menu” yang ditawarkan ramadhan berikut menyantapnya penuh selera, padat kenikmatan dan dengan demikian lahapnya? Sehingga resultante dari proses transformasi diri atau mencitrakan diri berujung pada pencapaian titik klimaks atau holistisitasnya. Yaitu, sebuah pesona pribadi dengan kualifikasi kualitas kesadaran yang mampu meletakan secara sejajar dan berimbang antara kepantasan hak dan kepatutan tanggung jawab. Selanjutnya, bagaimana kualifikasi kualitas kesadaran seperti itu berdayagema melampaui relatifitas kurun masa ramadhan? Bagaimana kualifikasi kualitas demikian mampu menguak “misteri” suara-suara Tuhan yang mengiang pada jeritan orang-orang yang dibodohi, dipinggirkan dan dimiskinkan, anak-anak yang kesulitan mengakases pendidikan berkualitas atau putus sekolah, mengalami gizi buruk dan dibuang atau dibunuh karena alasan ekonomi? Bagaimana juga dengan suara-suara Tuhan yang terpasung pada kesesakkan dada dan tangis pedagang infrormal yang digusur, orang-orang yang dirampas tanahnya, petani-petani yang gagal panen, nelayan-nelayan yang nganggur melaut, buruh-buruh yang dilanggar hak-haknya dan di-PHK, dan seterunya disebabkan keserakahan sekaligus kerakusan kekuasaan; KKN, politik transaksional, partokrasi, oligarki,  kleptokrasi, kapitalisme dan globalisme, dan pragmatisme akut (materialisme dan individualisme) berkedok kepentingan bersama, publik, bangsa, nasionalisme dan atas nama pembangunan?
Kesadaran kepantasan hak dan kepatutan tanggung jawab jelas tidak bermakna apa-apa sama sekali jika berada pada posisi disfungsional atau pasif. Dan untuk membuatnya fungsional dan aktif hanya jika seseorang memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap suara-suara Tuhan yang serak menggelegar dalam realitas hidup dan kehidupan bermasyarakat berikut menerjemahkannya dalam kerja-kerja perjuangan, pembelaan dan pembebasan untuk penegakan kebenaran atau kedaulatan rakyat (demokrasi).
Kesadaran akan kepantasan hak dan kepatutan tanggung jawab yang benar merupakan cermin penguatan komitmen pesona pribadi untuk penegakan keadilan sosial. Sementara, kepekaan dan kepedulian terhadap sesama merupakan cermin pesona pribadi untuk penguatan komitmen terhadap perwujdudan kesejahteraan sosial. 
Jika ramadhan mengajak dan mendorong setiap orang untuk memperoleh dan mengelola hak dan kewajibanya secara proporsional, maka ajakan dan dorongan tersebut seyogianya tidak sekedar dicekrami sebagai ajakan menjalankan salah satu bentuk ibadah kepada Tuhan semata; nostalgia spiritual, rekonsiliasi vertikal atau rekonstruksi teologis, tapi terlebih dari itu bahwa ajakan tersebut juga musti digauli sebagai ajakan moral spiritualitas demokrasi; rekonsiliasi horizontal atau rekonstruksi teopraksis. Dalam mana, keadilan dan kesejahteraan sebagai tujuan demokrasi ditemukan pada ranah yang menjamin adanya kebebasan dan kesetaraan.
Demokrasi, kata Ignas Kleden, tidak menawarkan surga, tapi paling tidak demokrasi bisa mencegah terjadinya “neraka” di dunia. Mungkin Ignas terlalu berhati-hati dan menjaga jarak demokrasi sebagai temuan pengembaraan pemikiran manusia di barat dari pada sebagai sebuah keniscayaan sunnah tullah  atau natural law  yang dapat ditemukan dimana saja. Sejatinya, demokrasi memang menawarkan surga sekaligus mencegah terjadinya “neraka” di dunia.