"PELARIAN" GALAU
(Respon Atas Kekosongan Alternatif)
Bukan hari liburan (27/09), jadi suasana tampak sepi. Hanya sendiri kala itu. Pengunjung perdana. Belum ada pengunjung lain. Mungkin beberapa waktu lagi. Di hp saya waktu sudah menujukkan hampir pukul 12 teng. Yang terdengar jelas hanya suara debur ombak, hembusan angin, deru kendaraan yang berseliweran, dan tentu suara mendayu percakapan beberapa petugas dan penjajah panganan yang agak lumayan berjarak dari tempat saya duduk merawat imajinasi.
Ini kali ke-4 ke pantai ini, seingat saya. Yang ke-1 saya ke sini bareng keluarga dalam ràngka perayaan "ultag" (ulang tanggal) si Bos ke-4. Yang ke-2 karena diundang oleh sebuah komunitas anak muda untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman kerja-kerja perdamaian di Maluku dalam kegiatan mereka, yaitu "Peace Camp". Sisanya adalah "pelarian".
"Pelarian"? Ya, “pelarian”. Diksi ini saya pilih begitu saja untuk menjelaskan cara mengusir kegalauan dan mengisi ruang kekosongan alternatif di kepala saya akibat penantian panjang, sekaligus sebagai jawaban atas pertanyaan: “saya mesti ke mana atau melakukan apa? Padahal, posisi saya tidak jauh dari toko buku, tempat ngopi, atau pusat perbelajaan moderen semisal Ambon Manise Square (AMS), Maluku City Mal (MCM) atau Ambon Plaza (AMPLAZ).
Seolah sudah jadi tradisi, saya kalau ke Kota Ambon selalu sudah terpastikan keperluannya. Sehingganya, setelah tiba di tempat yang dituju, segera selesaikan “misi” dan kemudian balik. Nah, untuk kasus seperti kali ini, kondisinya berbeda. Saya “terpaksa” harus menunggu antara 4-5 jam. Jadi, laporan yang mau saya jilid (5 buah) proses pengerjaannya dan hasilnya baru bisa diambil 4-5 jam kemudian. Begitu perkiraan dan penawarannya. Saya lantas mencoba “nego”, dan akhirnya dapat waktu penungguan 3 jam. Lumayan. Walau, saya sesungguhnya rada penasaran untuk menyoal: seberapa sibuk pelayanan di tempat itu? Yup, pertanyaan ini memang menyasar pada pembacaan atas kebutuhan efesiensi dan kualitas pada relasi antara sumber daya (kinerja) dan produktifitas (kerja).
Artinya, jika kita memakai nalar manajemen sumber daya manusia, makan waktu 3 jam itu menurut saya masih terbilang lama. Dalam kalkulasi normal, waktu yang dibutuhkan untuk menjilid 5 buah laporan (hard cover) itu bisa diselesaikan dalam durasi waktu di bawah sejam. Tapi, dalam kondisi tidak normal atau order melimpat, pastilah butuh waktu lebih. Apakah order sedang melimpah? I’m not in position to answer that.
Sejatinya, seperti dijelaskan Schuler, Dowling, Smart dan Huber (1992:16), bahwa posisi sumber daya manusia sangat penting dalam berkontribusi merealisasikan tujuan-tujuan organisasi (perusahan), dan karena itu maka pemanfaatannya mesti efektif, efisien dan adil, baik untuk kepentingan individu, organisasi (perusahan) maupun masyarakat. Artinya apa? Perusahan ditantang untuk menyediakan sumber daya tenaga kerja yang berkualitas dan produktif untuk mencapai target seturut standar operational prucedure (SOP). Di mana eektifitas dan efisiensi bekerja secara sinergis memastikan proses menjelaskan kualitas dan produktifitas tidak saja kompetitif, tapi sekaligus juga betmutu dan unggul.
Saya memang tipe ciptaan Tuhan yang hanya akan ke toko buku, tempat ngopi dan pusat perbelanjaan) jika jelas agendanya, seperti hunting atau update buku, punya janjian ketemu teman atau kolega, dan ada sesutau yang mau dibeli. Dan, selalu setelah agendanya kelar, saya langsung cabut balik, pulang ke rumah. Yup! Selain di tempat ngopi (karena biasa ngobrol btuh waktu lumayan lama), tara-rata waktu betah saya di toko buku dan mal, toleransi paling lama sejam.
Well, back to urusan "pelarian". Aksi "pelarian" jadi pilihan, seperti sudah saya singgung di atas, karena lamanya waktu tunggu. Saya "dipaksa" harus menunggu antara 4-5 jam. Mau ngapain coba dengan waktu selama itu? Itu soalnya. Akhirnya, ya mau gimana lagi? Saya tidak mungkin memikirkan apalagi sampai memilih opsi balik ke rumah yang berjarak 25 km. Ogah! Maka, berlakulah “mantra” kepepet: "dari pada-dari pada, lebih baik-lebih baik".
Syukur, "pelarian" kali ini sedikit beda dari "pelarian" sebelumnya. Sebab, di "eiger" saya terbawa dua "harta karun". Yaitu, buku berjudul Historigrafi Haji Indonesia (Disertasi) karya Prof. M. Saleh Putuhena, dan Guarding The Invisible Mountain: Intervellage Alliances, Religious Syncretism And Ethnic Identity Among Ambonese Christians And Moslems In The Moluccas (Tesis) punya Dr. Dieter Bartels. Jadi, saya punya “teman” untuk berbagi hasil penelitian.
"Haji, sebagai periatiwa agama, memiliki keterkaitas yang erat dan saling berpengaruh dengan peristiwa-peristiwa budaya, ekonomi dan politik suatu masyarakat", tulis Putuhena (h. 4). Sebuah penggalan kalimat yang saya dapati secara acak alias asal buka dari karya "magnum opus" Putuhena. Hanya penggalan kalimat ini yang saya baca dan kemudian terajak untuk berefleksi: "titik temu antara Covid-19 dan penyelenggaraan ibadah haji".
Saya yakin bahwa kebanyak dari kita adalah penyaksi atas kenyataan betapa tingginya tensi pertarungan wacana yang melingkari soal penangguhan atau penundaan keberangkatan jamaah haji dan umrah ke tanah suci, pasca Arab Saudi mengelurkan kebijakan terkait penyelenggaraan haji dan umrah. Intinya, haji dan umrah tetap dilaksanakan, tapi dengan sangat terbatas akibat Covid-19. Kebijakan itu kemudian direspon oleh pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan kebijakan dengan concern sama. Misal, Kepmen Kesehatan RI Nomor HK.01.07/MENKES/9838/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan pengendalian Corona Virus 2019 (Covid-19) Bagi Petugas dan Jamaah Haji dan Umrah, dan Kepmen Agama RI Nomor 494 Tahun 2020 tentang Pembatalan Keberangkatan Jamaah Haji Tahun 1441 H/2020 M.
Poin pertarungan wacananya adalah pada pemenuhan hak umat Islam untuk melaksanakan ibadah haji dan pemenuhan hak umat Islam untuk menjaga keselamatan jiwa (pribasi dan orang lain). Masing-masing berangkat dari paradigma berbeda. Saya sendiri memilih posisi mengedepankan prinsip maqasid al-syariah dalam beragama. Salah satunya adalah melindungi jiwa (hifzh al-nafs). Alasan lainnya adalah bahwa berhaji di zaman "now" sudah melibatkan banyak faktor; politik (kedaulatan negara), ekonomi (bisnis: trasnportasi dan travel), hukum (visa dan pasport), sosial (keselamatan orang lain atau orang banyak), dll.
Dalil dan dalih saya bertumpu pada analog terma "mampu" yang jadi prasyarat (mutlak) dalam penyelenggaraan haji. Terma "mampu" dalam nalar saya menuntut dilakukannya tafsir kontekstual dengan mempertimbangankan banyak faktor, seperti yang saya sebut di atas. Itu artinya terma "mampu" tidak saja menjadi urusan personal tapi juga menjadi urusan-urusan lain yang terkait secara signifikan dengan penyelenggaraan ibadah haji.
Dalam ajaran Islam jiwa manusia sangat dihargai dan dihormati, sehingga tidak bisa tidak dijamin dan dilindungi. Misal, dalam al-Quran surat al-Maidah ayat 32 disebutkan: “... bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia”.... Demikian juga, pada surat al-Baqarah ayat 195 disebutkan: “... dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dan Baihaqi, disabdakan: “Barangsiapa membahayakan orang lain, maka Allâh akan membalas bahaya kepadanya dan barangsiapa menyusahkan atau menyulitkan orang lain, maka Allâh akan menyulitkannya”.
Eh, kok malah keasyikan bicara haji. Nyaris kebablasan. Saya back to soal "harta karun". Ceritanya, kedua "harta karun" itu mau saya kembalikan kepada pemiliknya, Abang Hasbollah Toisuta, mantan Rektor IAIN Ambon, tapi kelupaan. Hapir tiga minggu kedua “harta karun” itu saya pinjam sebagai referensi pendukung kerja-kerja penelitian. Padalah, sebelumnya ke tempat jilid laporan, kami bertemu dulu di rumahnya. Pada pertemuan itu, saya tidak saja berencana meminjamkan lima buah buku kepada beliau, sekaligus juga mau mengembalikan kedua "harta karun" miliknya itu. Saya hanya memberikan lima buah buku yang mau saya pinjmkan dan lupa mengembalikan “harta karun” milik beliau. Artinya apa? Saya harus balik lagi ke rumahnya. Reschedule.
Gitu deh cerita soal "pelarian", aksi alternatif di kala galau melanda. Rada narsis ya? Hahahahahahaha..... Eits! Saya nyaris lewat. Sebagai info nih. Tempat aksi "pelarian" saya itu punya panorama yang waw gila. Nama tempatnya Namalatu Beach, Latuhalat, Nusaniwe, Ambon. Mileunya tidak saja asri, tapi sangat terjaga sangat kebersihannya. “Saya akan ke sini lagi bulan depan”, batin saya berjanji. Tapi, dengan agenda jelas pastinya, ayitu vakansi alias tamasya, titik! Sssttt.... Ini rahasia umum ya? Simpan di "sini" aja. Hikhikhikhik.....
Saya akhirnya pamit keluar dari ruang imajinasi, kemudian bersama "si Vega" meninggalkan tempat indah itu. Sebelum berlalu, mata saya menyisir bersih lingkungan tempat "pelarian", berikut mengonfirmasi, bahwa "masih belum ada juga pengunjung lain yang datang". "Barangkali sebentar lagi, atau nanti saat mentari jelang detik-detik ke peraduannya, baru pengunjungnya pada berdatanagan", duga saya bergaya rada agak sotoy. .
-------------------------------------
Penulis, Zainal Arifin Sanida (Kee Enal), adalah pegiat Yayasan Sombar Negeri Maluku (YSNM), relawan ARMC IAIN Ambon bidang Penelitian dan Advokasi, dan inisiator The Core fo Palaapa (The CoPa) Tulehu.