Wednesday, September 28, 2022

"PELARIAN" GALAU

 

"PELARIAN" GALAU

(Respon Atas Kekosongan Alternatif)

 

Bukan hari liburan (27/09), jadi suasana tampak sepi. Hanya sendiri kala itu. Pengunjung perdana. Belum ada pengunjung lain. Mungkin beberapa waktu lagi.  Di hp saya waktu sudah menujukkan hampir pukul 12 teng. Yang terdengar jelas hanya suara debur ombak, hembusan angin, deru kendaraan yang berseliweran, dan tentu suara mendayu percakapan beberapa petugas dan penjajah panganan yang agak lumayan berjarak dari tempat saya duduk merawat imajinasi.

Ini kali ke-4 ke pantai ini, seingat saya. Yang ke-1 saya ke sini bareng keluarga dalam ràngka perayaan "ultag" (ulang tanggal) si Bos ke-4. Yang ke-2 karena diundang oleh sebuah komunitas anak muda untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman kerja-kerja perdamaian di Maluku dalam kegiatan mereka, yaitu "Peace Camp". Sisanya adalah "pelarian".

"Pelarian"? Ya, “pelarian”. Diksi ini saya pilih begitu saja untuk menjelaskan cara mengusir kegalauan dan mengisi ruang kekosongan alternatif di kepala saya akibat penantian panjang, sekaligus sebagai jawaban atas pertanyaan: “saya mesti ke mana atau melakukan apa? Padahal, posisi saya tidak jauh dari toko buku, tempat ngopi, atau pusat perbelajaan moderen semisal Ambon Manise Square (AMS), Maluku City Mal (MCM) atau Ambon Plaza (AMPLAZ).

Seolah sudah jadi tradisi, saya kalau ke Kota Ambon selalu sudah terpastikan keperluannya. Sehingganya, setelah tiba di tempat yang dituju, segera selesaikan “misi” dan kemudian balik. Nah, untuk kasus seperti kali ini, kondisinya berbeda. Saya “terpaksa” harus menunggu antara 4-5 jam. Jadi, laporan yang mau saya jilid (5 buah) proses pengerjaannya dan hasilnya baru bisa diambil 4-5 jam kemudian. Begitu perkiraan dan penawarannya. Saya lantas mencoba “nego”, dan akhirnya dapat waktu penungguan 3 jam. Lumayan. Walau, saya sesungguhnya rada penasaran untuk menyoal: seberapa sibuk pelayanan di tempat itu? Yup, pertanyaan ini memang menyasar pada pembacaan atas kebutuhan efesiensi dan kualitas pada relasi antara sumber daya (kinerja) dan produktifitas (kerja).

Artinya, jika kita memakai nalar manajemen sumber daya manusia, makan waktu 3 jam itu menurut saya masih terbilang lama. Dalam kalkulasi normal, waktu yang dibutuhkan untuk menjilid 5 buah laporan (hard cover) itu bisa diselesaikan dalam durasi waktu di bawah sejam. Tapi, dalam kondisi tidak normal atau order melimpat, pastilah butuh waktu lebih. Apakah order sedang melimpah? I’m not in position to answer that.

Sejatinya, seperti dijelaskan Schuler,  Dowling,  Smart  dan  Huber  (1992:16), bahwa posisi sumber daya manusia sangat penting dalam berkontribusi merealisasikan tujuan-tujuan organisasi (perusahan), dan karena itu maka pemanfaatannya mesti efektif, efisien dan adil, baik untuk kepentingan individu, organisasi (perusahan) maupun masyarakat. Artinya apa? Perusahan ditantang untuk menyediakan sumber daya tenaga kerja yang berkualitas dan produktif untuk mencapai target seturut standar operational prucedure (SOP). Di mana eektifitas dan efisiensi bekerja secara sinergis memastikan proses menjelaskan kualitas dan produktifitas tidak saja kompetitif, tapi sekaligus juga betmutu dan unggul.       

Saya memang tipe ciptaan Tuhan yang hanya akan ke toko buku, tempat ngopi dan pusat perbelanjaan) jika jelas agendanya, seperti hunting atau update buku, punya janjian ketemu teman atau kolega, dan ada sesutau yang mau dibeli. Dan, selalu setelah agendanya kelar, saya langsung cabut balik, pulang ke rumah. Yup! Selain di tempat ngopi (karena biasa ngobrol btuh waktu lumayan lama), tara-rata waktu betah saya di toko buku dan mal, toleransi paling lama sejam.

Well, back to urusan "pelarian". Aksi "pelarian" jadi pilihan, seperti sudah saya singgung di atas, karena lamanya waktu tunggu. Saya "dipaksa" harus menunggu antara 4-5 jam. Mau ngapain coba dengan waktu selama itu? Itu soalnya. Akhirnya, ya mau gimana lagi? Saya tidak mungkin memikirkan apalagi sampai memilih opsi balik ke rumah yang berjarak 25 km. Ogah! Maka, berlakulah “mantra” kepepet: "dari pada-dari pada, lebih baik-lebih baik".

 Syukur, "pelarian" kali ini sedikit beda dari "pelarian" sebelumnya. Sebab, di "eiger" saya terbawa dua "harta karun". Yaitu, buku berjudul Historigrafi Haji Indonesia (Disertasi) karya Prof. M. Saleh Putuhena, dan Guarding The Invisible Mountain: Intervellage Alliances, Religious Syncretism And Ethnic Identity Among Ambonese Christians And Moslems In The Moluccas (Tesis) punya Dr. Dieter Bartels. Jadi, saya punya “teman” untuk berbagi hasil penelitian.

"Haji, sebagai periatiwa agama, memiliki keterkaitas yang erat dan saling berpengaruh dengan peristiwa-peristiwa budaya, ekonomi dan politik suatu masyarakat", tulis Putuhena (h. 4). Sebuah penggalan kalimat yang saya dapati secara acak alias asal buka dari karya "magnum opus" Putuhena. Hanya penggalan kalimat ini yang saya baca dan kemudian terajak untuk berefleksi: "titik temu antara Covid-19 dan penyelenggaraan ibadah haji".

Saya yakin bahwa kebanyak dari kita adalah penyaksi atas kenyataan betapa tingginya tensi pertarungan wacana yang melingkari soal penangguhan atau penundaan keberangkatan jamaah haji dan umrah ke tanah suci, pasca Arab Saudi mengelurkan kebijakan terkait penyelenggaraan haji dan umrah. Intinya, haji dan umrah tetap dilaksanakan, tapi dengan sangat terbatas akibat Covid-19. Kebijakan itu kemudian direspon oleh pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan kebijakan dengan concern sama. Misal, Kepmen Kesehatan RI Nomor HK.01.07/MENKES/9838/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan pengendalian Corona Virus 2019 (Covid-19) Bagi Petugas dan Jamaah Haji dan Umrah, dan Kepmen Agama RI Nomor 494 Tahun 2020 tentang Pembatalan Keberangkatan Jamaah Haji Tahun 1441 H/2020 M.

Poin pertarungan wacananya adalah pada pemenuhan hak umat Islam untuk melaksanakan ibadah haji dan pemenuhan hak umat Islam untuk menjaga keselamatan jiwa (pribasi dan orang lain). Masing-masing berangkat dari paradigma berbeda. Saya sendiri memilih posisi mengedepankan prinsip maqasid al-syariah dalam beragama. Salah satunya adalah melindungi jiwa (hifzh al-nafs). Alasan lainnya adalah bahwa berhaji di zaman "now" sudah melibatkan banyak faktor; politik (kedaulatan negara), ekonomi (bisnis: trasnportasi dan travel), hukum (visa dan pasport), sosial (keselamatan orang lain atau orang banyak), dll.

Dalil dan dalih saya bertumpu pada analog terma "mampu" yang jadi prasyarat (mutlak) dalam penyelenggaraan haji. Terma "mampu" dalam nalar saya menuntut dilakukannya tafsir kontekstual dengan mempertimbangankan banyak faktor, seperti yang saya sebut di atas. Itu artinya terma "mampu" tidak saja menjadi urusan personal tapi juga menjadi urusan-urusan lain yang terkait secara signifikan dengan penyelenggaraan ibadah haji.

Dalam ajaran Islam jiwa manusia sangat dihargai dan dihormati, sehingga tidak bisa tidak dijamin dan dilindungi. Misal, dalam al-Quran surat al-Maidah ayat 32 disebutkan: “... bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia”.... Demikian juga, pada surat al-Baqarah ayat 195 disebutkan: “... dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dan Baihaqi, disabdakan: “Barangsiapa membahayakan orang lain, maka Allâh akan membalas bahaya kepadanya dan barangsiapa menyusahkan atau menyulitkan orang lain, maka Allâh akan menyulitkannya”.  

Eh, kok malah keasyikan bicara haji. Nyaris kebablasan. Saya back to soal "harta karun". Ceritanya, kedua "harta karun" itu mau saya kembalikan kepada pemiliknya, Abang Hasbollah Toisuta, mantan Rektor IAIN Ambon, tapi kelupaan. Hapir tiga minggu kedua “harta karun” itu saya pinjam sebagai referensi pendukung kerja-kerja penelitian. Padalah, sebelumnya ke tempat jilid laporan, kami bertemu dulu di rumahnya. Pada pertemuan itu, saya tidak saja berencana meminjamkan lima buah buku kepada beliau, sekaligus juga mau mengembalikan kedua "harta karun" miliknya itu. Saya hanya memberikan lima buah buku yang mau saya pinjmkan dan lupa mengembalikan “harta karun” milik beliau. Artinya apa? Saya harus balik lagi ke rumahnya. Reschedule.

Gitu deh cerita soal "pelarian", aksi alternatif di kala galau melanda. Rada narsis ya? Hahahahahahaha..... Eits! Saya nyaris lewat. Sebagai info nih. Tempat aksi "pelarian" saya itu punya panorama yang waw gila. Nama tempatnya Namalatu Beach, Latuhalat, Nusaniwe, Ambon. Mileunya tidak saja asri, tapi sangat terjaga sangat kebersihannya. “Saya akan ke sini lagi bulan depan”, batin saya berjanji. Tapi, dengan agenda jelas pastinya, ayitu vakansi alias tamasya, titik! Sssttt.... Ini rahasia umum ya? Simpan di "sini" aja. Hikhikhikhik.....

Saya akhirnya pamit keluar dari ruang imajinasi, kemudian bersama "si Vega" meninggalkan tempat indah itu. Sebelum  berlalu, mata saya menyisir bersih lingkungan tempat "pelarian", berikut mengonfirmasi, bahwa "masih belum ada juga pengunjung lain yang datang". "Barangkali sebentar lagi, atau nanti saat mentari jelang detik-detik ke peraduannya, baru pengunjungnya pada berdatanagan", duga saya bergaya rada agak sotoy.   .  

-------------------------------------

Penulis, Zainal Arifin Sanida (Kee Enal), adalah pegiat Yayasan Sombar Negeri Maluku (YSNM), relawan ARMC IAIN Ambon bidang Penelitian dan Advokasi, dan inisiator The Core fo Palaapa (The CoPa) Tulehu. 

Monday, September 26, 2022

REKAYASA MOMENTUM DAMAI

Rekayasa Momentum Damai

(Refleksi Hari Perdamaian Sedunia, 21 September 2022)

 

Mengatakan bahwa rasa aman, rasa nyaman, dan rasa damai adalah kebutuhan, sudah sebuah postulat, hukum besi atau nalar agama menyebutnya sunnatullah. Lantaran, tiap orang diklaim punya kecenderungan kodrati atau manusiawi pada pemenuhan kebutuhkan rasa-rasa itu, tanpa kecuali. Semua orang dimengerti punya kehendak kuat untuk senantiasa berusaha memperoleh, menjalani dan menikmati hidup dan kehidupan dalam suasana batin dan lingkungannya yang aman, nyaman, dan damai. Sebuah kehendak yang menjadi harapan, kerinduan, mimpi dan cita-cita semua orang.

Itu sebab, jika ada orang yang menampakkan tanda-tanda pada pola pikir, sikap dan tindakan yang condong kontra produktif dengan kebutuhan pemenuhan akan rasa-rasa dimaksud, maka dapat diduga bahwa orang tersebut sedang dalam kondisi tidak wajar. Patut dicurigai, dihawatirkan dan memprihatinkan. Boleh jadi, yang bersangkutan sedang mengalami apa yang dalam khazanah psikososial disebut dengan disorientasi, deprivasi raltif atau disosiatif.

Secara defenitif, disorientasi adalah perubahan kondisi mental yang membuat seseorang bingung dengan lokasinya berada, identitas dirinya, maupun waktu dalam situasi tersebut. Deprivasi relatif adalah Deprivasi relatif adalah suatu kondisi yang dirasakan oleh seseorang dimana ada kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Sementara, disosiatif adalah salah satu jenis penyakit mental yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian hubungan antara pikiran, ingatan, lingkungan, tindakan, dan identitas diri.

Rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai, bukalah aneka cita rasa yang terbosai pada ruang “bilik-bilik” bersekat dinding tebal dan kokoh. Rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai, juga bukan bongkahan ragam cita “menu” yang dapat dideskpresikan atau diartikulasi sesuka selera. Akan tetapi, rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai adalah sebuah sinergi cita rasa yang meruang bebas tanpa sekat sekaligus terbebas dari selera suka-suka. Ada fatsunnya. 

Artinya apa? Pada sejatinya, di dalam rasa aman ada rasa nyama dan rasa damai; di dalam rasa nyaman ada rasa damai dan rasa aman; dan di dalam rasa damai ada rasa aman dan rasa nyaman. Dalam kaliman lain, tidak ada rasa aman tanpa rasa nyaman dan rasa damai; tidak ada rasa nyaman tanpa rasa damai dan rasa aman; dan tidak ada rada damai tanpa rasa aman dan rasa nyaman. Jika tidak demikian, maka sesungguhnya rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai yang terekspresi atau terartikulasi tak kurang hanyalah sesuatu yang semu (pseudo) atau (absurd) belaka.   

Seseorang dalam suasana batin yang sarat rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai, ia akan menemukan dirinya berada dalam pesona kepribadian (hallmark of personality) yang bertabur kebaikan-kebaikan, berkat dan hikmah. Ia akan menjadi pribadi yang memiliki ketulusan jiwa, ketenang dalam berpikir, bersikap dan bertindak, dapat menjaga stabilitas emosi (tebar aura dan energi positif), tidak gampang stress, open minded, bijaksana, menghargai dan menghormati perbedaan, dan mampu mengelola (potensi, sumber dan dinamika) konflik dengan benar.

Itulah mengapa sehingga pemenuhan kebutuhan rasa aman, rasa nyama dan rasa damai selamanya akan jadi kehendak “perburuan” tiap orang di belahan dunia mana pun. Itulah mengapa, penenuhan kebutuhan rasa-rasa ini selalu diperjuangkan, dipertahankan, dan dijunjung tinggi-tinggi oleh siapa pun, di mana pun dan sampai kapan pun. Oleh karena hanya dengan dipenuhinya kebutuhan rasa aman, rasa nyama dan rasa damai, maka semesta hidup dan kehidupan umat manusia (sosial, budaya, agama, pendidikan, politik, ekonomi, hukum, lingkungan, dan seterusnya) akan bekerja dan berjalan on track, berkeseimbangan, berkeadilan dan berkelanjutan.

Dalam cara pandang demikian, tulisan ini akan menggandeng Abraham Maslow (1908-1970), pelopor psikologi humanistik, yang populer dengan teori hirarki atau piramida kebutuhan manusia, sebagai pendekataan dalam pembacaan keniscayaan kehendak pemenuhan kebutuhan rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai secara berkelanjutan di Maluku.            

Maslow  menangkap manusia sebagai sosok utuh dengan kebutuhan berjenjang (hierarchy of need) atau kerapa disebut dengan piramida kebutuhan (pyramid of needs). Pada awalanya, Maslow merumuskan teori lima jenjang kebutuhan manusia, yaitu: kebutuhan tubuh (physiological needs), kebutuhan keamanan (safety needs), kebutuhan kepemilikan dan cinta (the belongings and love) (, kebutuhan dihargai (the esteem needs), dan kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs).

Tidak berhenti pada jenjang ke-5, Maslow kemudian menambahkan lagi kebutuhan-kebutuhan lain, yaitu kebutuhan pengetahuan (cognitive needs) dan kebutuhan keindahan (aesthetic needs), sebelum pada jelang akhir hayatnya, ia kemudian menambahkan lagi satu kebutuhan, kebutuhan terakhir, puncak dan tertinggi, yaitu kebutuhan transendensi diri (self-trancendental needs). Menurut Maslow, “self-transcendence brings the individual what he termed “peak experiences” in which they transcend their own personal concerns and see from a higher perspective. These experiences often bring strong positive emotions like joy, peace, and a well-developed sense of awareness”. Terjemahan bebasnya: transendensi diri akan akan membawa seseorang menikmati pengalaman-pengalaman puncak berikut membuatnya memiliki cara pandang yang lebih menyeluruh. Pengalaman demikian akan menghadirkan atau menyebarkan emosi positif yang kuat seperti kesadaran, kebahagiaan, dan damai.

Pengembangan dan perubahan teori kebutuhan berjenjang Maslow itu secara otomatis merombak konfigurasi penjenjangan kebutuhan manusia yang dirumuskannya. Tidak saja pada jumlah tahapan penjenjangan, yaitu dari lima menjadi delapan, akan tetapi juga pada urutan penjenjangannya. Pada penjenjangan pertama uurutannya adalah (1) kebutuhan tubuh, (2) kebutuhan keamanan, (3) kebutuhan kepemilikan dan cinta, (4) kebutuhan dihargai, dan (5) kebutuhan aktualisasi diri. Maka, pada penjejangan pasca pengembangan dan perubahan adalah: (1) kebutuhan tubuh, (2) kebutuhan keamanan, (3) kebutuhan kepemilikan atau harta dan cinta, (4) kebutuhan dihargai, (5) kebutuhan pengetahuan, (6) kebutuhan keindahan, (7) kebutuhan aktualisasi diri, dan (8) transendensi diri.

Perubahan, penambahan, dan pengembangan terori kebutuhan Maslow tersebut sesungguhnya sesuatu yang wajar an sich. Kenyataan ini cukup dimengerti dan dipahami sebagai konsekuensi dari respon Maslow atas realitas dinamika lingkungannya (wacana, diskursus) yang bertumbuh dan berkembang pesat. Perjumpaannya dengan pemikiran filsafat (Plato dan Spinoa, dst.), behaviorisme (JB. Watson), antropologi (Ruth Bendict) dan psikologi (Max Whairthemer) sangant berkontribusi terhadap pengembangan teori kebutuha yang dibidaninya. Kata Maslow, tulis Frank G. Goble dalam The Third Force: The Psychology of Abraham Maslow (1970), “manusia adalah mahluk yang terintegrasi secara penuh. Ia punya potensi untuk meraih tingkat tertinggi (transendensi). Ia dapat berkembang mencari batas kreatifitasnya menuju pencapaian tertinggi dari kesadaran dan kebijaksanaan”.

Apa yang bisa dipelajari dan disadari dari “warisa” Maslow soal kebutuhan manusia adalah bahwa manusia membutuhkan rasa aman untuk memenuhi kebutuhan fisik, keamanan, kepemilikan (harta), dan aktualisasi diri; bahwa manusia membutuhkan rasa nyaman untuk memenuhi kebutuhan memiliki pengetahuan, keinahan dan dihargai; dan bahwa manusia membutuhkan rasa damai untuk memenuhi kebtuhan cinta dan transendensi (spiritualitas). 

Dalam perspektif itu, saya berpikiran bahwa hari ini Maluku membutuhkan sebuah imajinasi -- ala Benedict Anderson: Imagined Community – yang dibangun lewat proses “pembatinan”, pendalaman kesadaran dan penjaman imajinasi atas realitas obyektif sejarah dan tragedi-tragedi sebagai pembelajaran (lesson learned) dan modal sosial (sacial capital) untuk membangun sejarah masa depan Maluku (The Tomorrow’s History of Maluku), yang memberikan rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai secara berkelanjutan. 

Maluku memiliki pengelaman konflik destruktif berikut pergumulan konstruktif pasca konflik yang mengonfirmasi dan menjustifikasi: pertama, bagimana sebuah realitas hidup dan kehidupan dijalani dalam suasana penuh kegamangan akan rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai; kedua, betapa sungguh benar-benar benar rasa aman, rasa nyaman, dan rasa damai menjadi sesuatu yang demikian tak ternilai harganya; dan ketiga, bahwa rasa aman, rasa nyaman, dana rasa damai adalah kebutuhan dasar sehingga tidak bisa tidak dijamin, dijaga dan dilindungi.

Persoalannya kemudian adalah sejauh mama pengalaman destruktif dan konstruktif itu ditafsir kemudian menemukan ruang proporsional yang memungkinkan rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai dapat dijamin, dilindungi, dihormati, dihargai, dan dinikmati secara berkelanjutan? Pertanyaan ini penting diajukan dan mendapatkan jawaban yang benar karena dari situ harapan dan optimisme untuk terpenuhinya kebutuhan rasa aman, rasa nyaman, dan damai memungkinkan terwujud.

Dalam konteks itulah, menurut saya, setidaknya ada tiga concer yang mesti menjadi perhatian serius stakeholders pembangunan perdamaian di Maluku. Pertama, menerjemahkan pengalaman konflik destruktif dan pergumulan konstruktif pasca konflik ke dalam agenda-agenda strategis daerah seperti: membuat kebijakan publik (public policy), Peta Jalan (Road Map) dan Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk pembangunan perdamaian berkelanjutan. Kedua, melakukan monitoring dan evaluasi (monev) atas kerja-kerja implementasi agenda-agenda pembangunan perdamaian berkelanjutan secara reguler, terukur dan presisi. Dan ketiga, melakukan rekayasa momentum damai sebagai ruang “pembatinan”, pendalaman kesadaran dan penajaman imajinasi bagi masyarakat Maluku untuk berfeklesi tentang keindahan hidup dan kenikmatan kehidupan di bawah “sombar” rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai.

Rekayasa momentum damai yang saya maksud adalah usaha sengaja yang didesain secara sadar, terencana, sistematis, masif dan reguler untuk menghadirkan ruang proporsional yang memungkinkan seseorang (individu) atau sekelompok orang (komunitas atau masyarakat) dapat “bercermin diri” dan “berdandan diri”, untuk “menakar diri” dan “mengakari diri”, apakah rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai itu sudah “membumi”, bekerja dan dinikmati sebagai realitas integral dari hidup dan kehidupan keseharian masyarakat di Maluku.

Ruang proporsional dimaksud dapat dioptimasi dengan memanfaatkan momen sejarah yang menjadi momentum penting dan strategis dalam proses  perdamaian di Maluku. Misal, momentum Penantanganan Piagam Perjanjian Malino pada tanggal 13 Pebruari 2002 atau momentum peresmian Gong Perdamaian Dunia (World Peace Gong) di Maluku pada 25 Nopember 2009. Jadi, yang terbayang nyata adalah bahwa saban tahun segenap komponen masyarakat Maluku secara pro aktif dan partisipasi aktif akan melakukan serangkaian kegiatan bertema perdamaian, yang diharapkan menjadi momentum bagi masyarakat Maluku untuk “membatinkan”, mendalami kesadaran dan berimajinasi tentang Maluku yang diberkati rasa aman, rasa nyaman dan rasa damai.     

-----------------------------------------

Penulis : Zainal Arifin Sandia (Kee Enal) adalah pegiat Yayasan Sombar Negeri Malauku (YSNM), relawan ARMC IAIN Ambon bidang Penelitian dan Advokasi, dan inisiator The Core of Palaapa (The CoPa) Tulehu.

 

 

MENDAKU: ATAS NAMA RAGAM DIRI

 

MENDAKU: ATAS NAMA RAGAM DIRI

(Respon Reflektif Atas Dinamika Sosial Berbangsa) 

 "Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi. Terkecuali mereka yang punya iman (keyakinan dan konsistensi), mengerjakan amal saleh (kebaikan, mengajak pada pemenuhan hak dan sabar", (al-Ashr).



Dari mana kita harus mulai? Pertanyaan Ali Syari'ati itu kembali menyapa kesadaran  yang meruang jauh di kedalaman tak terjamah. Mengulik kuat rasa penasaran tak terhingga dalam asa. Menghentak batin, membentak nalar kritis. Menantang nurani dan mengancam eksistensi diri dalam figura makna generik.

Betapa tidak, pertanyaan hebat Ali itu kian nyata memandu, menarik dan menyita porsi perhatian lebih serius dan menuntut respon segera sekaligus cepat lantaran status  kegentingannya yang menyeret bongkahan pertanyaan susulan yang mengemuka dan terus berkembang, lagi dan lagi. Tak sekadar bertubi-tubi bak bunyi rentetan petasan yang seolah tak ada habisnya. Akan tetapi, lebih dari itu, juga memiliki kadar kompleksitas yang bak ancaman "teror" mati menegakkan benang basah.

Bagaimana merespon dampak signifikan dari perang Rusia-Ukraina, yairu ancaman krisis energi, pangan hingga resesi ekonomi? Bagaimana kualitas keadilan (sosial, konimi dan hukum) diwujudkan, sementara kasus korupsi masih terus terjadi dan penegakkan hukumannya belum memberi efek jera kepada atau cenderung memanjakan pelakuknya? Bagaimana mengelola dinamika politik dengan ragam “jajanan” politik menjelang Pemilu 2024? Dan seterusnya, dan seterusnya.

Seperti yang kita tahu, pahami dan alami, bahwa lingkungan kekinian kita, tak pelak lagi, saban hari dalam hitungan sekedip mata via media sosial (daring; youtube, facebook, Twitter, IG, Telegram, blogspot, website,  dll.), nyaris tanpa jedah, dibanjiri suguhan “menu” yang menawarkan "panggung-panggung" kontestasi dengan "backdrop" ragam kepentingan dalam semesta kehidupan berbangsa dan bernegara (sosial, budaya, pendidikan, agama, politik, ekonomi, hukum, lingkungan, keamanan, pangan, energi, teknologi, dll).

Sebagai contoh, lihat saja, bagaimana media sosial memotret dengan ragam perspektif dan kepentingan fenomea Citayam Fasion Week (CFW), sosok pelantun lagu Ojo Dibandingke, Farel Prayoga saat perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2022, hingga “Sambo  Gate” misalnya. Ketiganya di-cover oleh media sosial dalam multi perspektif, terbuka  dan telanjang (terkesan vulgar). Sehingga, tampak betapa jelas bagimana kepentinga-kepentingan bekerja dan bermain-main di altar “panggung-panggung” yang dibuat, direkayasa bahkan. Batas-batas kepentingan sosial, pendidikan, agama, politik, ekonomi dan hukum melebur dan menampakkan sebuah realitas konfisurasi sosial yang begitu kompleks, kronis dan patologis. Tak tanggung, proses diagnosa atau utopsi ketiganya pun butuh pendekatan seklas forensik.

Dalam kasus fenomena Farel misalnya kita dengan mudah dapat mengkases informasi dan membaca fakta bagaimana si anak kelas VI SD itu ditransformasi dari seorang penyanyi cilik kemudian menjadi “menu” politik yang “diburu” para pelakon politik dan partai politik (parpol). Ia tampil polos di “panggung-panggung” kontestasi kepentingan para politisi dan parpol. Bagi Farel, penampilannya selain demi karir, juga cuan. Tapi bagi para politisi dan prapol penampilan Farel adalah “cuan” (digitalisasi atau reproduksi kepentingan).

Dari jutaan "panggung" itu jargon-jargon hingga manifesto digas berseliweran. Dan tak terhindarkan, kita kemudian ikutan terpapar dan akhirnya tampak begitu akrab dengan “virus” kata-kata yang viral semisal hoax, post truth, disrupsi, revolusi industri 4.0, dan masyarakat 5.0, new world order, yang berlari sangat kencang secara simultan dengan “virus” kata-kata yang juga viral seperti ke(tidak)adilan, transpatansi, akuntabiltas, demokrasi, HAM, otonomi desa, reformasi agraria, konflik, kekerasan, populisme beragama, politisasi identitas, diskriminasi, persekusi, tagut, takfir, jihad, khilafah, hijrah, eksklusifisme, konservatisme, fundemantalisme, terorisme, ekstrimisme, inklusivisme, modernisasi, sekularisasi, pluralisme, multikulturalisme dan nusantara.

Serunya, fenomena “virus” yang viral itu secara keseluruhan diartikulasi dengan "tone" yang demikian bebas, "liar" dan cenderung ekstrim, berikut diamplifikasi dengan volume yang resonansinya sangat berdaya menabrak sekaligus melabrak batas-batas kepantasan (kedaulatan) identitas diri: pribadi, komunitas, masyarakat, bangsa, pemerintah dan negara. Dan, seolah tanpa filter dalam mempertimbangan dampak signifikan yang sifatnya pejoratif dan destruktif yang mengancam eksistensi, jati diri dan identitas.

Dari "panggung-panggung" itu kubu-kubuan hadir mendeklarasikan diri dan lelompok masing-masing, memainkan dan menanamkan stigma, mencari simpati dan memborong empati, ciptakan prejudise dan mengembangkan stereotype, berikut meyakinkan claim of truth, calim of salvetion, kepada orang lain yang berbeda secara sepihak. Yang dalam tidak sedikit kasus yang terdata dan terdokumentasi membenarkan bahwa di arena “panggung-panggung” terendus sengatan “bau” kepentingan yang condong dipaksakan secara membabi buta (tidak waras).

“Panggung-panggung” itu secara networking, lingking, sircular dan reguler tiada henti membangun benteng “tirani diri”:  Who am I! Who you are! Who we are! Yang secara sengaja, terencana, sistematis dan massif diekspresikan dan diekspos dengan dalih dan dalil atas nama ini dan itu, aku dàn kamu, kami dan meraka. Dan bukan atas nama kita dan kekitaan.

Saya jadi teringat dengan sebuah pendekatan Martin Buber, yaitu I-it ("I and it"). Yang saya terjemahkan dan maknai dalam sebentuk pertanyaan untuk memperoleh gambaran penjelas tentang bagaimana seseorang (subyek) setelah mengalami rentang proses akhirnya punya kemampuan untuk secara baik dan benar memahami, menyadari, membangun, merumuskan, meyakini dan mengembanagkan sebuah cara pandang (epistem, world view, paradigma, postulat) terhadap realitas (obyek).

Tidak gampang memang untuk mempercakapkan sebuah cara pandang karena melibatkan kemacaman aspek kehidupan secara terintegrasi dan sinergis. Hadirnya teori-teori di balik isu integrasi agama dan ilmu pengetahuan yang berujung dengan gagasan tentang pentingnya dirumuskannya kerangka pendekatan dan metodologi dalam pengembangan pembelajaran multisidiplin, interdisiplin dan transdisiplin model Amin Abdullah, atau pengilmuan ajaran Islam versi Kuntowijoyo, atau sekularisasi ala Cak Nur dan pribumisasi Islam khas Gus Dur. Begitu juga dengan isu yang berada di balik UU Omni Buslaw, “pewajahan” Ibu Kota Negara (Nusantara), dan RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), ketiganya jika digeledah secara benar akan didapati keniscayaan misi integrasi dan sinergis itu dalam konteks pembangunan berbangsa dan bernegara. Sekali lagi, tidak gampang memang.

Dari mana kita harus mulai? Pertanyaan ini tidak bisa tidak dijawab sekarang. Sebab jawaban atas pertanyaan itu akan menjelaskan apakah identitas-identitas itu masih bernilai, berhaga, sehingga patut dihormati dan dijunjung setinggi-tingginya. Atau sebaliknya, sungguh identitas-identitas dimaksud tak kurang hanyalah sesuatu yang musprah (absurd) belaka. Sebab, yang tampak hanyalah kuasa-kuasa yang maujud dengan pesona paras pragmatisme, oportunisme, propaganda, agitasi dan oligarki.

"Panggung" kontestasi dengan ragam kepentingan akan terus bertumbuh, meningkat dan berkembang bak jamur di musim penghujan. Dan boleh jadi di antara kita adalah subyeknya, obyeknya atau subyek sekaligus obyeknya. Saya, kamu, kami dan mereka, secara sadar atau tidak dimungkinkan menjadi subyek, obyek atau subyek sekaligus obyek. Ironisnya, di antata saya, kamu, kami dan mereka, kerap mempertontonkan kenikmatan semu dalam ruang oposisi biner, vis avis.

Lantas, dimana dan bagaimana posisi kita? Yaitu, kekitaan kita sebagai diri beridentitas sejati dalam ruang pribadi, komunitas, masyarakat, bangsa dan negara itu. Pertanyaan ini teramat sangat penting diajukan karena kita dan kekitaan adalah elemen bernilai sangat sunstansial, fundamental, urgen sekaligus strategis untuk menjelaskan dan menegaskan sebuah identas sejati. Jawaban penjelas dam penegas tentang kita dam kekitaan dalam konteks ini adalah kebutuhan. Sebab, di arena jutaan “panggung" itulah identitas-identitas kita dan kekitaan dipertaruhkan tanpa kenal "zero sum game".

Sekali lagi, dari mana kita harus mulai? Ajaran agama-agama (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Konghuchu, Bahai, dll) sesungguhnya dengan sangat jelas (eksplisit) telah mengingatkan untuk taat asas menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama (ciptaan) di atas semua represetasi identitas yang kita punya. Ajaran agama juga telah mengajak untuk sedapat mungkin menyadari dan memanfaatkan tiap detik waktu yang tersedia demi mengoptimasi kepentingan fungsional kita sebagai manusia yang bermanfaat itu. Sehingga, kita bisa menjadi manusia yang sungguh benar-benar benar bermanfaat bagi pengukuhan dan peneguhan (identitas) diri: pribadi, komunitas, masyarakat, bangsa, pemerinta dan negara dalam "gendre" sesungguhnya, dalam makna sejatinya.

Pertanyaan Ali di atas, jika disoal lebih dalam, akan menawarkan ruang yang potensial menerbangkan imajinasi -- dalam nalar Benedict Anderson -- dengan bebas, merambah misteri horizon, mencari, merengkuh hikmah dan menyatanya secara praksis dalam formula-formula hidup yang menghidupkan bagi kehidupan semesta bersesama (rahmatan lil alamin). Inilah imajinasi yang saya sebut berhologram -- terma Muhammad Iqbal -- yaitu profetik. Yang saya maknai, bahwa imajinasi punya "daya paksa" kepada siapa saja untuk menjadi sosok yang bermanfaat. Bahwa imajinasi tidal bisa tidak "dibumikan". Dalam kalimat berbeda, menjadi khalifah dengan performance ulul albab berarti memainkan peran dan tabggungjawab "membumikan" atau meruang dan mewaktulan imajinasi. Pendeknya, dari imajinasi tata keadaban dan peradaban menemukan probabilitasnya, manusia dan kemanusiaan mendapat takaran nilai harkat dan martabatnya.

Dalam konteks itu, imajinasi tentang Indonesia sebagai negara-bangsa dengan khazanah pluralitas sekaligus multikulturalitas sosial yang dipunyai sepàtutnya dapat diterjemahkan, dimaknai dan "dibumikan" demi menciptakan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam semesta ruang hidup dan kehidupannya, secara hikmat kebijaksanaan.

Kutipan surat dari ayat al-Quran di atas menegaska betapa pentingnya bangsa Indonesia untuk merumuskan peta jalan (road map) yang jelas, visible, terukur, bertarget dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual. Sebuah peta jalan yang berbasis keyakinan berbangsa dan bernagara yang kuat, bertabur kerja-kerja kebaikan untuk pemenuhan hak dan menyadari bahwa kesabaran adalah kunci perjuangan mewujudkan pesan baldatun thayyibatu marabun ghafur, yang mungkin oleh Soekarno diformulasi dalam jargon sinergis Trisakti sebagai negara-bangsa Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara berbudaya.

Bangsa Indonesia dalam kurun waktu 23 tahun ke depan akan merayakan capaian usia satu abad bernegara, usia emas (The Goldeg Age), pada 17 Agustus 2045. Tentu, sebagai bangsa yang besar, mimpi dan optimisme untuk menjadi bangsa dan negara yang dihargai, dihormati,  diperhitungkan dan dibanggakan pada usia itu adalah kebutuhan. Tinggal, bagaimana kebutuhan itu secara terbuka diterjemahkan kedalam sebuah peta jalan yang jelas, visible, terukur, targeted dan dapat dipertanggungjawabkan.     

--------------------------------------

Penulis: Zainal Arifin Sandia (Kee Enal) adalah pegita Yayasan Sombar Negeri Maluku (YSNM), volunteer ARMC IAIN Ambon Bidang Advokasi dan Penelitian dan pendiri The Core of  Palaapa (The Copa) Tulehu.