HIBRIDASI LOKALISME MALUKU
Keberhasilan proses pembatinan, rekontekstualisasi dan pelembagaan khazanah lokal dalam kehidupan moderen acapkali dikiblatkan pada negara-negara oriental seperti Singapura, Hongkong, Cina dan Jepang. Hongkong sepeninggal Inggris misalnya, tidak serta merta merubah orang-orang Hongkong menjadi manusia-manusia “barat” yang westernisme-antroposentrisme, tapi mereka tetap menjadi diri mereka sendiri, menjadi manusia-manusia yang berpendirian jelas sekaligus tegas diri di atas fondasi nilai-nilai dan tradisi-tradisi budaya yin dan yang sebagai sumber spiritualitas identitas.
Demikianpun Jepang, meski mereka memiliki kemajuan lua biasa dalam dunia teknologi
canggin, terutama otomotif, mereka tetap sangat apresiatif dan berkomitmen pada nilai-nilai dan tradisi-tradisi budaya mereka.
Nilai gambaru -- yang berati berjuang
untuk bertahan hidup sampai titik darah penghabisan -- misalnya, benar-benar
kentara sebagai semangat juang dan etos kerja ketika masyarakat Jepang
menghadapi benjana Nuklir Fukushima. Budaya malu sangat tampak ketika pejabat
publik di Jepang menyalahi moral dan peraturan. Si pejabat langsung mundur dari
Jabatan jika bertindak koruptif tanpa harus menunggu proses hukum. Nilai gambaru dan budaya malu benar-benar
menjadi karakter yang melembaga sebagai identitas. Kondisi yang kurang lebih sama juga mengemuka
di Singapura dan Cina.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita -- orang Maluku -- bisa melakukan proses transformasi sosial
seperti dicontohkan manusia Hongkong,
Jepang, Cina dan Singapura, yaitu hibridasi budaya? Pertanyaan ini harus
dijawab sekarang. Jawaban atas pertanyaan ini adalah kebutuhan mendesak kekinian yang menentukan ekspesi budaya masyarakat
Maluku dalam semesta kehidupan; politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, agama
dan seterusnya. Jawaban atas pertanyaan ini adalah kebutuhan reaktualisasi nilai-niali,
revitalisasi budaya dan rekontekstualisasi paradigma membangun Maluku.
Hibridasi budaya,
menciptakan budaya unggul atau belakangan lebih populer dengan istilah
glokalisasi, yaitu sebentuk usaha “menikahkan” nilai dan budaya lokalisme (spiritual-tradisional) dengan nilai globalisme
(rasional-moderen). Dengan kata lain, usaha hibridasi
budaya atau glokalisasi adalah sebuah ruang “negosiasi” budaya. Dimana, dalam
batas-batas tertentu, di satu sisi, sikap adaptasi berikut adoptasi terhadap nilai-nilai globalisme disadari sebagai fenomena yang niscaya,
tak terhindarkan dan mau tidak mau pasti dijalani oleh seluruh umat manusia di belahan bumi manapun. Pada saat yang bersamaan, pada sisi lain, dalam batas-batas tertentu pula, komitmen
terhadap nilai-nilai lokalisme juga disadari sebagai kebutuhan sosialogis dan klaim pelembagaan identitas budaya sekaligus perlindungan berikut jaminan
keberlanjutan eksistensinya.
Proses hibridasi budaya atau glokalisasi jelas
bukan sebuah perkara mudah, tetapi relatif teramat sangat kompleks. Proses ini memaksakan adanya ruang dialektika sebagai
arena kontestasi kritik budaya yang terbuka dan bertanggungjawab secara moral
dan intelektual. Konsekuensinya, tubrukan budaya (cross cultures) tak terhindarkan. Bahkan, tidak saja budaya, dalam
skala yang lebih besar, Samuel P.
Hungtinton menunjuk adanya tubrukan peradaban
(clash of civilizations). Ini
berarti, nilai-nilai dan tradisi-tradisi spiritual-tradisional Maluku tidak
saja bertubrukan dengan nilai-nilai-taradisi-tradisi rasional-moderen Eropa
misalnya, tapi juga dengan nilai-nilai, tradisi-tradisi dan peradaban lain yang juga memiliki basis
spiritual-tradisional seperti India, Persia, China, Afrika dan Amerika Latin.
Kontestasi kritik budaya adalah sebuah arena
pertarungan nilai. Dan, pertarungannya saat ini sudah memasuki fase peradangan
sangat akut. Instrumen globalisasi; informasi, komikasi dan transportasi, benar-benar
menjadi faktor yang tidak saja dominan tapi juga determinan, menyebabkan
kontestasi bergerak begitu cepat menembus batas-batas ruang dan waktu
konvensional. Apa yang bisa kita saksikan dari kontestasi ini adalah bahwa
identitas lokal dipertaruhkan dalam konteks yang lepas dari batas ruang dan
waktu.
Generasi baru, seperti generasi Y -- istilah ini
lebih populer di Malaysia dari pada di Indonesia – adalah anak-anak yang lahir di
tahun 80-an misalnya, dipastikan lebih mewakili identitas global dari pada pada
identitas lokal. Generasi Y hadir dengan sangat cekatan mengoptimasi fungsi
perangkat teknologi tinggi informatika (gadget).
Sebuah trend yang tampak sangat kontras dengan generasi orang tua mereka yang
kemungkinan “gaptek” (gagap teknologi) mengoperasikan gadget. Jika orang tua mereka masih membaca kitab suci berbahan
kertas, maka generasi Y sudah memanfaatkan
e-book untuk membaca kitab suci. Lebih serius, kritik atas cara pandang kitab
suci membuka pedebatan baru dalam cara melihat kitab suci. Jika sebelumnya,
kitab suci berbahan kertas sangat dijaga kebersihannya, maka generasi Y lebih
melihat kecanggihan dan optimalisasi fasilitas dan program baru gadget terkait kitab suci.
Kecepatan dan kemudahan generasi Y mengakses dunia
luar -- dengan gadget – memungkinkan
cara pandang, sikap dan penderian mereka berseberangan dengan nilai-nilai dan
tradisi-tradisi yang menjadi pilar konstruksi identitas generasi mereka
sebelumnya. Dalam sistem stratifikasi komunitas sosial tradisional, sistem
kepemerintahan feodal tradisional atau sistem pemerintahan raja-raja negeri
misalnya, belakangan mengalami pelemah legitimasi dari waktu ke waktu.
Nilai-nilai dan tradisi-tradisi yang dibawa globalisme seperi hak asasi manusia
dan demokrasi, secara perlahan beradaptasi -- secara sinergis -- dengan nilai-nilai
dan tradisi lokalisme. “Pernikahan” lokalisme dan globalisme seolah sudah direstui.
Atau, sungguh telah terjadi metamorfosis dari lokalisme menjadi globalisme.
Ironis! Jika yang terjadi adalah identitas Maluku hanyalah sebuah pseudo yang
tampak tegak di atas nilai-nilai dan tradisi-tradisi yang tercerabut atau --
meminjam istilah Cak Nur -- memfosil.
Adalah menarik mencoba “pisau” nalisa Petter L.
Berger untuk membedah arena kontestasi kritik budaya. Dalam The Sacred
Canopy, Berger menunjukkan bagaimana dialektika
bertumbuh dan berkembangnya sebuah masyarakat bekerja lewat proses eksternalisasi, oyektivasi dan internalisasi. Melalui
eksternalisasi, masyarakat menjadi kenyataan buatan manusia. Lewat
obyektivasi, masyarakat menjadi kenyataan
tersendiri yang berhadapan dengan manusia. Dengan internalisasi, manusia
menjadi kenyataan
bentukan masyarakat.
Berger secara tidak langsung seolah mengajak
masyarakat Maluku untuk menyadari bahwa nilai-nilai dan tradisi-tradisi yang menjelaskan
dan menegaskan identitas mereka adalah hasil dari sebuah proses bentukan
(dialektika). Sebab itu, keberadannya selalu berpotensi berubah dan dikembangkan.
Pertanyaannya, apakah proses tubrukan, kontestasi kritik dan dialektika -- nilai-nilai
dan tradisi-tradisi -- budaya bergerak on
track secara sporadis dan tanpa bentuk? Jelas tidak! Proses ini bergerak padat
rekayasa, sistematis dan terbuka. Nilai-nilai dan tradisi-tradisi, baik lokalisme
maupun globalisme, dalam konteks saling tubruk praktis mengalami tarik-menarik,
penyaringan, irisan pada penerimaannya atau malah mungkin tertolak total. Tidak
heran, jika kita kemudian menyaksikan secara benderang ada orang-orang menolak stratifikasi
sosial, feodalisme dan “raja-raja kecil” (lokalisme), ada yang menolak demokrasi
dan HAM (globalisme), dan ada juga yang dalam batas-batas tertentu menerima sekaligus
menolak lokalisme dan globalisme. Pemilihan raja-raja secara demokratis
misalnya, adalah salah satu contoh. Contoh menarik lain adalah proses
pelantikan Sahune Makote sebagai Raja Nua Nea (2012). Meski prosesi menggunkan protokoler
pemerintah; kenakan topi, baju, celana dan sepatu serba putih, tapi Sahune tetap
mengikat kaeng berang di kepalanya
sebagai potert identitas Noaulu.
Pilihan dan atau penolakan terhadap nilai-nilai dan
tradisi-tradisi lokalisme atau globalisme tertentu adalah konsekuensi seturut
perubahan dan perkembangan masyarakat. Semakin tinggi tingkat pengetahuan,
pemahaman, kesadaran dan apresiasi warga masyarakat terhadap nilai-nilai
substansial dan universal serta tradisi-tradisi kosmopolit , maka perubahan dan
perkembangan tak terhentikan. Pun sebaliknya, rendahnya tingkat pengetahuan,
pemahaman, kesadaran dan apresiasi terhadap nilai-nilai substansial dan
universal serta tradisi-tradisi kosmopolit oleh warga masyarakat akan berakibat
pada terjadi pelambanan perubahan dan perkembangan. Atau lebih parah lagi,
stagmansi atau kematian nilai dan tradisi tertentu.
Nilai-nilai substansial dan universal serta
tradisi-tradisi kosmopolit sesungguhnya terdapat dalam lokalisme dan
globalisme. Persoalan yang membedakan keduanya lebih pada instrumen artikulasinya
atau bahasa. Menghargai hak milik orang lain, menjaga keseimbangan alam, kejujuran,
taat pada aturan dan berembuk midalnya beberapa contoh lokalisme yang sudah
lama ada sebagai bagian dari jajaringan sistem kehidupan masyarakat Maluku. Lokalisme
ini sudah melembaga sebagai identitas masyarakat Maluku jauh sebelum
nalar-nalar hak asasi manusia dan demokrasi diperkenalkan.
Sungguh, Lokalitas yang tersebut di atas adalah
juga beberapa nilai dan tradisi yang diusung, selalu diperjuangkan dan terus
dikembangkan oleh globalisme. Bedanya, lokalisme dalam nalar globalisme
dipermak dalam “wajah” dan artikulasi hak asasi manusi dan demokrasi.
Semnetara, lokalisme ini di Maluku terartikulasi dalam berbagai macam bahasa
lokal yang menyebar di berbagai desa di Maluku.
Glokalisasi atau hibridasi budaya akan selalu menuntut
paksa masyarakat Maluku dengan tanpa syarat untuk harus berani bersikap terbuka
dan kritis terhadap nilai-nilai dan tradisi-tradisi, baik lokalisme maupun
globalisme. Kritik budaya dibutuhkan untuk membentuk sebuah identitas
glokalisme Maluku. Sebuah idenditas budaya yang dihibridasi sebagai kemustian
bagi masyarakat Maluku agar memiliki kemampuan yang memadai dan selalu siap beadaptasi
secara berkelanjutan dengan tiap perubahan dan perkembangan terjadi. Think locally and globally, but act glocally.