Belakangan
ini, ada poin menarik yang mengemuka dalam beberapa forum percakapan dengan
konsentrasi perdamaian di Kota Ambon. Seolah virus, poin menarik ini menyebar, menjangkiti
dan mempengaruhi ruang bawah sadar dan menguji ulang cara pandang tertentu
tentang pengelolaan perdamaian di Maluku. Bahkan, poin menarik ini tak pelak memicu
perdebatan seru dengan tensi dan eskalasi yang relatif tidak saja ambigu, tapi
juga terkadang cenderung bias. Namanya juga wacana, selalu terbuka bagi
kemungkinan ataupun ketidakmungkinan perubahan pada sebuah standing point of view. Jadi, wajar adanya.
Menikmati
percakapan dan berdebatan seru tersebut, paling tidak, penting digarisbawahi
bahwa mengemukanya poin menarik ini menginidkasikan betapa persoalan perdamaian
hingga sekarang masih menjadi concern
serius masyarakat Maluku. Tema perdamaian sudah bak detak jangtung, helaan
nafas kehidupan keseharian masyarakat Maluku. Dalam kalimat lain, percakapan
perdamaian tidak saja telah menjadi sebuah respon atas perkembangan dan kenyataan
dinamis dari fenomena sosial di Maluku yang punya pengalaman berkonflik (destructive) berikut pengelolaan untuk
penyelesaiannya secara baik dan benar (constructive),
tapi lebih dari pada itu, ia telah menjadi kebutuhan resolusi yang menjamin keberadaan
(existence) dan keberlajutan (sustainability) Maluku dan ke-Maluku-an (pro-existence) dalam semesta khazanah identitasnya.
Percakapan
seputar poin menarik ini bertambah daya pikatnya menyusul epicentrum kritiknya berada
pada status up to date kondisi peradamaian
di Maluku. Dalam sederet perdebatan, mengemuka kesepahaman bahwa status up to date kondisi perdamaian praktis mempengaruhi
dan sekaligus juga menentukan bangunan cara pandang (paradigm), formula capaian (outcomes),
kerangka strategi proses dan model pendekatan (approaches) pengelolaan perdamaian yang akan dipakai oleh stakeholders di Maluku dalam pengelolaan
pendamaian, terutama pemerintah, baik pusat maupun daerah. Sehingganya, status up to date kondisi perdamaian menjadi sangat
penting dan strategis untuk “dibungkus” segera.
Poin
menarik dimaksud adalah apakah status pengelolaan perdamaian di Maluku hari ini
(up to date) masih berada di level
pembangunan perdamaian atau sudah pada level “perawatan” perdamaian? Sepintas, pertanyaan
ini menujukkan perbedaan cukup signifikan antara keduanya. Level pertama (pembangunan),
perdamaian dipersepsikan sebagai berbagai usaha atau kerja-kerja pengelolaan
perdamaian yang dilakukan pada masa dimana konflik sedang berlangsung dan fase
transisi pasca konflik. Sedangkan, level kedua (perawatan), perdamaian
dipersepsikan sebagai berbagai usaha atau kerja-kerja pengelolaan perdamaian yang
dilakukan pada fase pasca transisi konflik dan dalam suasana kondusif.
Jika
persepsi ini digunakan, berarti status up
to date perdamaian di Maluku berada pada level kedua, yaitu perawatan
perdamaian. Asumsinya sederhana, konflik sudah tidak terjadi atau selesai dan
fase transisi dinilai sudah terlewati. Dan karenanya, pengelolaan perdamaian
juga patut adaptif atau seiring sejalan dengan status up to date-nya pemilahan dan pemilihan paradigm, outcomes,
strategi proses dan approaches yang
akan digunakan.
Persepsi
ini jelas tidaklah salah. Kenyataan sosial yang tampak hari ini memang
membenarkan asumsi tersebut, bahwa perdamaian di Maluku sudah tercipta relatif baik
dan kondusif; aman terkendali. Iklim ini bahkan kemudian dikliam sebagai buah dari
dan manifestasi menguatnya kesadaran masyarakat Maluku atas betapa konflik memiliki
daya rusak luar biasa (destructive)
dan kebutuhan akan perdamaian (human
basic need). Interaksi dan sosialisasi antar komunitas berbeda agama dan
suku di ruang publik berlangsung baik. Searah itu, juga bertumbuh dan
berkembang komunitas-komunitas kreatif baru bergendre peace lovers di lingkaran profesi maupun anak muda. Beberapa konflik
atau kerusuhan sosial antar desa atau kampung yang terjadi dan memakan korban
jiwa dalam beberapa tahun terakhir dapat dikanalisasi sebagai tindakan melanggar
hukum, kejahatan atau kriminal sifatnya, bukan SARA. Dan yang paling anyar
adalah data BPS (2014) yang memosisikan Maluku sebagai daerah dengan indeks
kebahagiaan no. 2 tertinggi di Indonesia dan studi indeks kerukunan yang
dilansir Kementrian Agama (2016) yang menempatkan Maluku pada urutan ke-3
sebagai daerah paling toleran di Indonesia. Pendeknya, sedang terjadi fenomena
– yang oleh Fritjof Capra disebut sebagai – the
turning poin. Ada semacam, renaissance
Maluku.
Meski
begitu, tidaklah juga dapat digunakan persepsi tunggal (merawat perdamaian an sich) dalam memotret pengelolaan
perdamaian di Maluku. Dibutuhkan persepsi-persepsi lain untuk saling
melengkapi. Dan, persepsi pembangunan perdamaian adalah salah satunya. Persepsi
ini berasusmsi bahwa pengelolaan perdamaian adalah sebuah proses yang tidak
cukup dimengerti dengan merumuskan fase-fase; konflik, transisi dan pasca konflik. Konflik adalah sebuah
kompleksitas. Di dalamnya bersemayam semesta faktor kehidupan manusia (sosial,
ekonomi, hukum, politik dan seterusnya) yang saling terhubung, saling terkait
dan saling mempengaruhi secara signifikan dan membentuk sinergi. Maka dari itu,
konflik Maluku sampai hari ini masih menyisahkan dampak yang relatif juga signifikan
dan butuh kerja ekstra cerdas sekaligsu keras untuk menyelesaikannya.
Dalam
beberapa sesi percakapan, terkuak secara menganga problem segregasi mindset dalam cara pandang berbudaya dan
beragama. Kronisnya, segregasi mindset
ini dibenarkan tida saja terjadi di arena komunitas jelata (grass root), tapi juga di arena
komunitas kelas menengah (midle class)
dan pengambil keputusan (policy maker).
Disebut kronis, sebab komunitas kelas menengah dan pengambil kebijakan adalah
komunitas berpendidikan tinggi (high-educated
people). Selain itu, bahwa pewarisan khazanah local wisdom (Maluku) yang transformatif (ke-Maluku-an) juga masih
sangat problematik. Upaya perumusan dan penerapan kurikulum pendidikan orang
basudara (muatan lokal) berakhir nestapa dan mati suri setelah melewati masa
ujinya akibat ketiadaan political will
para pengambil kebijakan (eksekutif dan legislatif). Padahal, problem khazanah local wisdom atau kearifan lokal berikut
kebutuhan transformasi dan kontekstualisasinya adalah problem nilai yang
dibutuhkan sebagai “pagar” yang akan senantiasi menjaga kualitas berpikir,
bersikap dan bertindak sesorang dengan identitas beta Maluku.
Belum
lagi, bahwa proses regenerasi berikut alih generasi yang meniscayakan adanya
ayunan langkah perdanan untuk bertumbuh sebelum berkembang dan akhirnya menjadi
beta Maluku atau kotong Maluku membutuhkan kerja-kerja pembangunan. Ujungnya, setiap
warga Maluku dipantaskan sebagai peace
builder atau peace maker, paling
tidak, bagi dirinya. Seturut itu, indeks kebahagian dan kerukunan di Maluku
kemudian tidak lagi terkesan sekedar kontestasi angka-angka (kuantitas), tapi show force fakta sosial (kualitas).
Dalam
pada itu, secara terbuka, jujur dan tulus penuh keberanian harus bisa diakui
bahwa status up to date pengelolaan
perdamian di Maluku membutuhkan keduanya, pembangunan perdamaian dan perawatan
perdamaian. Dalam konteks persoalan tertentu pembangunan perdamaian dibutuhkan
dan dalam konteks persoalan tertentu pula perawatan perdamaian dibutuhkan.
Keduanya tidak patut dihadapkan secara vis
a vis atau dipertentangkan secara kontra produktif. Tapi, keduanya harus
disandingkan dalam kepantasan sinergi harmoni.
Damai,
jelas berbeda dengan perdamaian. Tegasnya, damai bukan perdamaian. Damai adalah
sebuah cita ideal, sementara perdamaian adalah sebuah proses ke arah cita ideal
(damai). Namun, ini tidak lantas dengan enteng memungkinkan untuk dilakukan simplifikasi
atau generalisasi atas setiap capaian perdamaian. Tidak semua perdamaian yang
dilakukan berujung pada realisasi cita ideal. Dalam banyak kasus, perdamaian
dicapai dengan menggunakan nalar kompromi atau trasaksionalisme sebagai
konsekuensi logis dari pemufakatan bagi-bagi kepentingan. Tidak saja untuk
mereka yang berkonflik secara langsung (direct
conflict), tapi juga untuk mereka yang berjarak atau berada di luar konflik
(indirect conflict). Slogan “atur
damai” atau “ cari jalan damai” misalnya adalah model ending yang sudah jadi rahasia umum di arena politik, ekonomi dan
hukum. Itu sebab, perdamaian kerap tidak saja menawarkan win-win solution (menahan diri), tapi pada saat yang bersamaan juga
menawarkan lose-lose solution (mundur
selangkah). Ada problem “maju kena, mundur kena” di dalamnya.
Damai
sungguh menyiratkan rasa aman, nyaman, tentram, bersahaja, bijaksana, rendah
hati dan sarat akan hikmah. Dalam praksisnya, damai selalu menyuratkan
keterbukaan, murah senyum, canda tawanya bernas, kualitas kepekaan sosial
tinggi dan empati dengan penuh kejujuran, ketulusan dan keihlasan dalam setiap pikirian,
penyikapan dan tindakan. Pendek kata, manusia damai adalah sosok dengan
kualifikasi kepribadian hallmark of
personality, yaitu manusia yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.
Kehidupannya benar-benar benar dihibahkan dan diabdikan untuk kerja-kerja
pelayanan demi kemanusiaan, keadilan sosial dan kesejahteraan. Pribadi ini adalah
sosok yang amanah dan bertanggungjawab. Sosok yang kepribadiannya jauh dari
tamak, keserakahan dan kerakusan akan kuasa.
Maluku
hari ini membutuhkan sebuah arena yang memungkinkan pribadi-pribadi berkarakter
cita ideal, memiliki kompetensi pendamai (peace
builder, peace maker), dapat
bertumbuh, berkembang dan secara wajar menjadi sosok dengan identitas beta Maluku. Selanjutnya, dari situ akan
muncul dan menguat identitas katong
Maluku. Arena dimaksud adalah pendidikan. Hanya arena ini -- dalam makna
generiknya -- yang memungkinkan proses pembudayaan kesadaran damai dapat
melembaga sebagai mentalitas, yaitu karakter budaya damai.
Budaya
damai adalah sebuah cita ideal, kebutuhan dasar Maluku. Hanya budaya damai yang
mampu memberi garansi bagi keberadaan (existence)
dan keberlajutan (sustainability)
Maluku dan ke-Maluku-an (pro-existence)
dalam semesta khazanah identitasnya. Tanpa itu, Maluku sebagai sebuah semesta
identitas hanyalah fatamorgana belaka, pseudo Maluku. Dimana Maluku bukan lagi
Maluku, tapi maluku (beta malu).
Memang,
Maluku membutuhkan pembangunan perdamaian, juga perawatan perdamaian. Tapi,
lebih dari keduanya, Maluku membutuhkan budaya damai. Sebab, di situlah Maluku
benar-benar benar adalah Maluku, bukan maluku.
Penulis adalah inisiator
The Pala'apa Center (The PalaTer),
pemrihati masalah kebudayaan, keagamaan dan politik. Beralamat di
Tulehu.