Perspektif ini mengencang jelas bukan tanpa alasan. Terdapat, paling tidak, enam alasan. Pertama, akurasi hitung-hitungan masyarakat miskin yang secara kuantitatif tampak begitu berseberangan dengan kenyataan faktual lapangan. Kedua, paradigma ego sektoral antar institusi/sektor. Ketiga, model pengentasan kemiskinan yang condong berorientasi proyek. Keempat, tumpang tindih, diskriminasi berikut inkonsistensi kebijakan kemiskinan. Kelima, insinkronisasi antara perencaaan dan penganggaran. Dan keenam, disalokasi (salah sasar) dalam implementasi program. Alasan-alasan inilah yang pada tataran praksisnya kemudian menjadi sinergi “pengkambinghitaman” kemiskinan sebagai kapital kekuasaan.
Posisi keanam reason d’etry tersebut di atas setidaknya mengonfirmasi betapa urusan pengentasan kemiskinan tidak saja merupakan sebuah potret fenomena sosial yang problematis, tapi juga padat kepentingan (the interest games). Keenam kondisi itu juga merupakan beberan kritik betapa usaha-usaha pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan pemerintah sejauh ini hanyalah aksi tebar pesona belaka, lips services. Padahal, diakui bahwa usaha pengentasan kemiskinan seumur dengan keberadaan negara ini. Tak terhitung berapa banyak varian proyek kemisinan yang telah dilakukan. Tidak ada yang menghitung sudah seberapa besar anggaran -- negara dan utang -- yang dihabiskan untuk pengentasan kemiskinan. Seberapa signifikan hasil yang dicapai dari varian proyek kemiskinan dan besaran anggaran tersebut? Tak seorangpun yang secara otoritatif mampu menjelaskan pertanyaan ini.
Menyusul kesepakatan mondial, 189 negara anggota PBB, tentag Millenium Development Goals (MDGs), sebuah agenda pengentasan kemiskinan global, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium PBB September 2000, terbilang telah diterbitkan beberapa laporan yang mempersaksikan potret kemiskinan di dunia. PBB perwakilan Indonesia sendiri bekerjasama dengan pemerintah Indonesia pada 2007 menerbitkan laporan potret peta perkembangan kemiskinan Indonesia teraktual menurut “dacing” indikatoris MDGs mulai 1999 hingga 2007. Laporan ini, tak ayal, sontak menuai respon “minta ampun” kritis banyak kalangan NGO di Indonesia -- sebut saja INFID dan JARI sebagai contohnya -- sebab kualifikasi bobot laporannya yang termat sangat kontradiktif antara cita dan fakta. Ada gap yang terlalu menganga antara data laporan dan data lapangan.
INFID dalam laporan masyarakat sipil tentang pencapaian MDGs 2007 di 14 wilayah Indonesia; Sumatera Barat, Lampung, Bengkulu, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Maluku Tenggara menunjukkan bahwa hampir seluruh indikator capaian MDGs di tingkat wilayah sangat jauh berbeda dengan capaian di tingkat nasional seperti tergambar dalam laporan pemerintah. Sementara, JARI dalam laporan tahunan program mendorong dan memonitoring pencapaian MDGs melalui tata kelola pemerintahan yang baik (2007-2008) di Propinsi Sumatera Barat, Lampung, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan membeberkan fakta bahwa pemerintah lokal dan masyarakat sipilnya belum cukup kuat dalam pengumpulan data dan menganalisisnya. Selain itu, bahwa pencapaian MDGs hanya bisa terwujud manakala terjadi kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, swasta dan media. Tidak menutup kemungkinan daerah-daerah yang tidak menjadi konsentrasi INFID dan JARI juga terjadi di daerah lain dan jauh lebih parah lagi potret kemiskinannya.
Pada 2006, setahun sebelum laporan kedua lembaga NGO tersebut, telah juga terpublikasi juga sebuah laporan yang menyesakkan dada. Dalam laporan pencapaian MDG’s yang dibuat Asian Development Bank (ADB) dan UNESCAP tanggal 16 Oktober 2006 (The Millennium Delevopment, Report in Asia and Pacific 2006) menyebutkan bahwa Indonesia masuk dalam Kategori belum berhasil kalau atau hampir gagal dalam pencapaian MDG’s, bersama Bangladesh, Laos, Mongolia, Myammar, Pakistan, Papua Nuigini dan Pilipina. Sangat boleh jadi, laporan-laporan ini menandai penganuliran show force prestasi pemerintah dalam pengelolaan program pengentasan kemiskinan sejauh ini. Dan, bahwa laporan INDIF dan JARI secara sederhana dapat dipahami sebagai pemertegas laporan ADB dan ENESCAP.
Persoalan kemiskinan sesungguhnya tidak perporos pada masyarakat yang distandarisasi miskin. Tidak ada alasan yang patut dirujuk guna memosisikan masyarakat yang dipersepsikan miskin sebagai faktor penyebab fenomena sekaligus persoalan kemiskinan. Fenomena masyarakat miskin dan persoalan kemiskinan lebih tepat dikategorikan sebagai korban/dampak dari sistem kekuasaan dan perilaku penguasa otoriter atau oligarki. Persoalan dan fenomena kemiskinan sejatinya disadari berakar pada persoalan mentalitas pengelola aset negara dan mandat rakyat, yaitu eksekutif (pemerintah) dan legislatif (wakil rakyat, DPR). Jika di sebuah wilayah angka masyarakat miskinya bertambah, maka dipastikan saja bahwa mentalitas eksekutif dan legislatif sedang bermasalah. Pemastian ini adalah sebentuk konsekuensi wajar saja mengingat pada “tangan” eksekutif dan legislatiflah semua kebijakan publik atau urusan hajat hidup orang banyak ditentukan. Pelecehan atas kepastian ini terang jasa adalah penghianatan atas mandat kedaulatan negara sekaligus rakyat.
Mentalitas pemiskinan adalah sebentuk cara berpikir, kecondogan sikap dan tindakan yang secara konservatif berorientasi mempertahankan status quo kekuasaan dengan menjadikan kemiskinan sebagai persoalan seolah-olah. Mentalitas semacam ini secara praksis selalu menjadikan persoalan kemiskinan sebagi obyek kepentingan memperkaya diri sendiri dan kelompok dengan jalan memanfaatkan fasilitas negara atau arena politik, merekayasa teori, pembohongan publik secara sistematis-struktural dan pemaksaan kebijakan oleh penguasa. Pada titik paling ekstrim “penampakan” mentalitas semacam ini biasanya menguak dalam “wajah” tidak saja oligarki kekuasaan dan oligarki nilai. Dalam mana, kekuasaan membuat irisan yang tegas melebar menjauhi nilai kebenaran. Nilai kebenaran hanya berfungsi jika dibutuhkan guna melanggengkan status quo kekuasaan.
Persoalan mentalitas pemiskinan juga adalah manifestasi “kegagalan jiwa” yang dalam terminologi psiko-sosial dikenal dengan istilah mental minimalis, yaitu hilangannya kepekaan dan kepedulian seseorang terhadap problem sosial (the missing of social rensponsibility). Bagi mereka yang mengidap penyakit “kegagalan jiwa” ini cenderung melihat persoalan-persoalan sosial dengan “kaca mata kuda” kepentingan. Segala urusan publik dipostulasi berdasarkan logika siapa atau kelompok mana mendapatkan apa dengan cara “suka-suka”. Sementara kenyataan masyarakat dipostulasi sebagai sapi perahan atau pelengkap penderita.
Penjinakan terhadap mentalitas pemiskinan hanya bisa dilakukan jika kekuatan-kekuatan civil society atau people power seperti media, NGO dan CSO misalnya, mampu bekerja indipenden dan fungsional melakukan pembacaan kritis secara sustainable di arena eksekutif dan legislatif guna menjamin kualitas proses pengelola aset negara dan mandat rakyat secara transparan dan akuntabel. Sebagai proses budaya, penjinakan ini membutuhkan kejelasan strategi budaya yang potensial mengkonstruksi suatu sistem yang berkeadilan sosial dan pada saat yang bersamaan berdaya cegah bagi bertumbuh dan berkembangnnya cara berpikir, sikap dan tindakan “berparas” mentalitas pemiskinan. Sekali lagi, masyarakat yang tercerdaskan dan media yang independen adalah dua syarat utama untuk mengemban misi pembacaan kritis ini.